“Aku mau cuti kuliah,” ujarnya langsung.Justin sedikit tersentak mendengar permintaan Hana. Tapi kembali berusaha untuk tetap tenang. mengamit kedua tangan dia, kemudian mencium dengan lembut.“Kamu bicara begini, atas dasar apa?”“Ya, atas dasar keinginanku sendiri lah, Je.”“Aku masih ingat, loh ... saat kamu bilang nggak mau berhenti kuliah, apapun yang terjadi. Dan aku setuju akan hal itu, asalkan kamu bisa jaga diri dan kandunganmu. Tiba tiba kamu berubah pikiran seperti ini, jadi wajar kan jika aku mempertanyakan itu semua?”Oke, Hana paham atas perkataan Justin. Ya, memang dari awal ia berpikir dan bersikeras ingin tetap lanjut kuliah, appaun yang terjadi. Meskipun saat tahu dirinya hamil pun, masih ekkeuh untuk kuliah karena enggak terlalu mengganggu aktifitasnya.“Sekarang aku berubah pikiran,” ungkapnya.“Penyebabnya?”“Tadinya ku pikir bisa melakukan semua tugasku sebagai seorang istri, sebagai wanita hamil dan sebagai seorang mahasisiwi secara berbarengan. Tapi makin ke s
Beberapa hari tanpa adanya Tian karena hanya berfokus pada tugas tugas kuliah, duh rasanya saat semua itu berakhir seakan terbesit sebuah cahaya yang menghampirinya di kegelapan. Saat jam menunjukkan pukul 7 malam ... lebih tepatnya saat ia sedang nonton TV di kamar, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. “Rhe ...” “Iya, Ma,” sahutnya saat tahu kalau itu adalah mamanya. Segera beranjak dari tempat tidur dan bergegas membuka pintu. Mendapati wanita paruh baya yang sudah berdiri di depan pintu kamar. “Ya, Ma?” “Lagi ngapain?” “Nonton.” “Ada Tian di bawah.” “Hah?” Dahi Risa berkerut saat melihat ekspressi Rhea saat tahu kalau Tian datang. Bukan apa apa hanya sedikit kaget ketika dia datang malam, bukan siang hari seperti perkataannya tadi malam. “Kenapa? Kamu nggak suka Tian datang?” Rhea tersenyum berat. Enggak suka kata mamanya. Justru ia berharap bisa bersama Tian terus. “Sana, turun,” suruh Risa. Tanpa komentar, ia turun menuju lantai bawah ... menemui Tian yang ber
“Ini salah satu hotel milik Justin ... keren, kan.”Keren katanya? Ayolah ... tetap saja kalau sudah mendengar kata ‘hotel’ membuat pikiran pikiran melenceng itu langsung menghantui otaknya. Sudah tahu otaknya rada gercep ke arah begitu, alah mengajaknya ber-travelling ke hotel.Keduanya melangkah memasuki pintu utama. Yap ... benar kata Tian barusan. Tempat ini memang benar-benar keren. Bagian loby bawahnya saja sudah seperti berada di pertambangan kristal. Semuanya mewah.“Pasti Hana sama Om Justin nangkring di sini,” gumamnya berpikir.“Justin nggak suka tempat-tempat seperti ini. Dia lebih suka ketenangan di kamarnya,” sahut Tian.Padahal ia hanya bergumam pelan, tetap saja cowok ini mendengar.Semenjak turun dari mobil, Tian terus menggenggam tangannya ... membuat dirinya dibuat mengekor ke mana langkah kaki cowok ini melangkah.Dua orang laki-laki menghampiri keduanya yang tengah berjalan.“Bagaimana?” tanya Tian.“Semua yang Anda inginkan, sudah kami persiapkan,” ujar salah sat
Sontak, Tian yang tadinya sudah berharap banyak, langsung kaget. Bayangkan ... saat dia yang diharapkan menerima, justru memberikan sebuah penolakan. Berasa jantung seperti sedang dihantam benda tumpul.Jadi, hubungan apa yang selama ini ia jalani dengan Rhea? Kalau dia saja tak berharap untuk lanjut. Hanya ia yang berharap terlalu jauh.Menatap ke arah Rhea yang masih berdiri dihadapannya. Tangannya gemetar, wajahnya memerah ... bahkan benda kecil berbentuk lingkaran dengan permata kecil itu ia genggam erat di tangannya. Tian bangun dari posisinya.“Apa itu jawabanmu?”Rhea mengangguk. “Aku nggak bisa ...” Semakin mendekat pada Tian dan mencium bibir cowok itu sekilas. “Aku nggak bisa menolakmu,” lanjutnya.Apa dia sedang mempermainkan dirinya? Atau, apa dirinya yang salah dengar? Tidak, bahkan ciuman barusan benar-benar terasa.“Jangan mempermainkanku semenyakitkan ini.”“Ku terima kamu jadi pendampingku,” ungkap Rhea dengan senyuman manis mengiringi perkataannya.Mendengar itu,
Pagi hari yang biasanya ia hanya bermalas-malasan, kini malah sumringah seperti sedang stress. Semoga saja ia tak benar-benar stress. Bagaimana tidak, kejadian semalam membuatnya tak baik-baik saja. Bahkan hanya sekadra memicingkan mata saat tidur, membuat sosok Tian seakan bergentayangan di pelupuk matanya.“Ehem,” dehem Risa membuyarkan lamunan putrinya yang sedari tadi senyum-senyum nggak jelas.“Mama.” Ia arahkan pandangannya pada mamanya yang duduk di sampingnya.“Aduh, yang semalam dilamar,” sindir Risa.Dahi Rhea berkerut saat mendengar perkataan mamanya.“Loh, kok Mama tahu? Aku belum cerita apa-apa, kan, sama Mama Papa,” herannya.Semalam saja ia pulang sudah jam 10’an, itupun langsung masuk kamar saat sampai di rumah dan tak membiarkan Tian untuk hanya sekadar mampir. Tapi sekarang mamanya tahu apa yang terjadi padanya semalam.“Jangan bilang kalau Om Tian yang bilang sama Mama,” tebaknya.Risa tersenyum. “Lebih tepatnya, dia lebih dulu melamar kamu pada Mama dan Papa,” ter
Setelah menemui Hana, Rhea dan Tian keluar dari ruangan itu.“Temenin aku makan, yuk,” ajaknya langsung merangkul Rhea dan pergi dari sana.“Om, aku ke sini mau cek keadaan Hana, bukan mau nemenin kamu makan, loh,” komentar Rhea.“Dia nggak apa-apa ... kamu udah cek barusan, kan. Lagian, ada Justin. Dan dokter juga udah bilang kalau Hana udah boleh pulang. Kamu yakin nggak mau nemenin aku makan? Perutku lapar, aku belum sarapana,” jelas Tian memeperlihatkan wajah sedihnya karena kelaparan.“Ngenes sekali dirimu,” ledek Rhea yang akhirnya mau menemani Tian.Keduanya masuk mobil, mencari suatu tempat untuk bisa menikmati makanan. Tapi dalam perjalanan, Rhea dibuat bingung.“Om, ini bukan ke arah rumahmu,” komentar Rhea. Ia tak lupa ingatan, hingga melupakan alamat rumah kekasihnya sendiri.“Masak untukku, bisa?”“Lagi laper banget, kan? Yakali mau menungguku masak dulu.”Tian membelokkan arah mobilnya pada sebuah supermarket. Kemudian berhenti di parkiran.“Aku mau makan masakanmu,” uja
Hana hanya bisa diam dan pasrah di tempat tidur saat dokter memintanya untuk istirahat beberapa jam di rumah sakit. Padahal tadinya sudah boleh pulang, cuman yang namanya Justin, dia malah mengatakan lihat kondisi istrinya beberapa jam ke depan. Kalau dirinya baik baik saja, barulah pulang.Sungguh, rasanya benar-benar membosankan ... dtambah lagi dengan sikap Justin yang menurutnya benar-benar berlebihan. Bahkan ia saja tak dibiarkan bangun. Sekalian saja dia melarangnya bergerak. “Je, haruskah kamu menjagaku seperti ini? Aku kan nggak kenapa-kenapa. Padahal dokter juga sudah memastikan kondisiku dan kehamilanku baik baik saja, kamu malah pake minta tunggu beberapa jam ke depan. Aku bosan loh di sini,” gerutunya pada Justin.Menyebalkan, tidak? Sepanjang itu ia memberikan penjelasan, dan Justin malah hanya menerbarkan senyuman manis padanya. Apa ada kalimat lucu dari rentetan ucapannya barusan?“Justin, aku lagi bicara loh.”“Aku hanya mendengarnya, tapi nggak berniat berkomentar,”
Tian mengantarkan Rhea kembali pulang ke rumah. Sayangnya masih berstatus pacar, kalau tidak, tentu saja akan membuat harinya lebih meyenangkan. Ini saja seharian dia bersamanya, seolah tak mengijinkan dia pulang.Tian membukakan pintu mobil untuk Rhea turun. Saat hendak berlalu begitu saja, Tian tiba-tiba menyambar tangannya ... membuat langkahnya terhenti. “Om mau masuk?” tanya Rhe.“Tentu saja,” jawab Tian malah mendahului Rhea masuk ke dalam rumah.Rhea bingung ... ini rumahnya atau rumah Tian, sih? Kenapa justru dia yang malah masuk duluan. Nggak ada akhlak ini om-om. Padahal niat hati cuman basa basi untuk menawarkan mampir, tapi dia justru antusias banget.Sampai di ruang tengah, terlihat Risa datang dari arah dapur.“Wah, ada calon mantu,” seloroh wanita paruh baya itu menghampiri Tian dengan putrinya yang mengekor.Rhea seakan ingin memeluk erat mamanya ... kenapa juga harus menggunakan panggilan ‘calon mantu’, sih. Ntar kalau sudah sebar undangan, nggak apalah pake panggil