Mulut Daffa terkunci dengan rapat. Sementara mata sedikit melemah. Haluan yang sama? Apakah mereka berada di tingkat keserakahan yang sama?Mitha tersenyum melihat sorot kebimbangan di mata Daffa. "Bagaimana?""Kamu mau membawa wanita itu pergi kan? Dan kalau bisa jangan kembali ke sisi Erland."Pandangan Daffa terangkat dan bibir menertawakan sang istri pelan. Namun, ekspresi yang bisa dilihat oleh Mitha itu jelas membuat emosi memuncak."Apa maksudmu tertawa seperti itu! Yang aku butuhkan adalah jawabanmu! Daffa kembali!"Saat mata Daffa melirik, seorang polisi muda langsung mendekat dan menendang jeruji besi. Sampai membuat Mitha tertegun dan mundur dengan perlahan. Meski pandangan mulai menatap tajam."Kamu tidak tahu siapa aku? Berani sekali bertindak kasar!""Berisik!"Mitha sepenuhnya tertegun, namun pandangan berusaha untuk tidak berhenti menatap tajam. Nyali wanita itu mulai menciut, saat polisi berniat membuka sel tahanan."Aku akan diam, puas?"Sementara di dalam mobil. Daf
Napas Aruna menjadi sesak. Saat sorot lampu mobil itu masih menyala, namun pengemudi berhasil menginjak rem. Sehingga truk itu berhenti sebelum menyenggol tubuh.Sayangnya, keterkejutan serta rasa lelah. Menjadikan Aruna tersungkur ke aspal dan nampak tak sadarkan diri. "Kenapa kamu tidak mengemudi dengan benar?""Aku sudah benar. Tapi, wanita itu yang menyebrang dengan asal!"Kedua pria itu mulai berhenti berdebat, kemudian keluar dari mobil. Menghampiri Aruna yang baru saja dikerubungi banyak orang. Pengemudi truk itu membawa Aruna ke sebuah mobil yang bersedia mengantar ke rumah sakit.Selama perjalanan, terlihat sosok Erland berlari ke jalanan. Semula berniat menyebrang, namun terhalang oleh pengendara yang ramai setelah hampir terjadi kecelakaan. Erland kembali terlambat, takdir belum bersedia mempertemukan mereka berdua.***"Ini di mana?"Mata Aruna mulai terbuka perlahan. Dengan tangan menyentuh kepala, terasa pening namun tak begitu menyakitkan. Suara Aruna yang terdengar b
Erland memasuki mobil dengan mata yang muram. Dia sengaja membuka kaca dan tangan menyender di sana. Mata menatap langit yang begitu cerah ditemani matahari.Lantas, mulut merasa telah kehilangan minat untuk merokok. Namun, dia tetap paksa mengisi paru-paru. Hal menyesakkan akan teringat, jika dia melepasnya."Langit yang kita tatap mungkin sama, tapi keberadaan kamu ...."Erland melempar puntung rokok keluar dengan emosi. Lantas, menyenderkan punggung pada kursi dan memejamkan mata. Dia semakin kesal, mengingat jejak terakhir dari Aruna yang terekam CCTV.Aruna yang berlari melewati sebuah toko dengan bertelanjang kaki. Dan keberadaan Aruna terputus di sana, karena tak ada tempat lain yang memiliki CCTV."Aku bahkan bisa menjelajahi samudera untuk menemukanmu, sungguh bulshit! Bahkan di mana kamu berada pun aku tidak tahu!"***Aruna menatap matahari yang sedikit jinak. Lantas, helaan napas terdengar darinya. Hanya ingin kembali pada suami sendiri saja, susahnya seperti minta bintang
Pandangan Erland seolah terperangkap pada botol alkohol. Dia kembali menggoyangkannya, lantas berniat menyesap alkohol yang masih tersisa. Namun, semua keinginan itu tak berhasil terwujud. Setelah tangan Daffa memberanikan diri menahan kelakuan Erland."Lepas," pinta Erland pelan."Tidak," tegas Daffa."Tuan harus mencari nyonya."Daffa jelas tak rela melihat Erland menyerah seperti ini. Padahal pria itu sudah membuat keputusan paling sulit, melepas Aruna untuk sang tuan."Apa Tuan ingin nyonya lebih dulu ditemukan oleh Yuda?"Erland menyeringai. "Dia ada dalam genggaman aku, mampukah dia menemukannya?""Lalu bagaimana kalau orang yang ditemui nyonya justru menarik perhatiannya? Kemudian mereka hidup bahagia bersama."Erland menatap Daffa dengan kesal. Padahal dia hanya rehat sejenak, karena sedikit frustrasi kehilangan Aruna dan tak mampu menemukan. Rupanya mencari orang yang hidup lebih sulit ketimbang melupakan orang mati."Cari Aruna," meski kesal tapi Erland bangkit dari duduk d
Mentari merangkak malu-malu, mengintip Erland yang tengah memejamkan mata dengan tubuh menyender pada kursi. Sementara tangan dia menggenggam foto Aruna yang tersenyum."Tuan."Ketukan pada pintu, membuat mata Erland terbuka sejenak. Namun, kepanikan melanda. Terburu dia berlari dan membuka pintu."Apakah Aruna kembali?"Mata Erland menatap Sonya dengan pandangan penuh harapan. Namun, kepala pengurus ini membisu dengan tatapan sendu."Saya ingin mengingatkan Anda untuk makan, ini sudah saatnya sarapan."Mendengar hal yang sangat tidak menarik baginya. Erland mendengkus dan menutup pintu kembali dengan kasar."Jangan ganggu aku, kembalilah bekerja.""Tuan. Tolong isi perut Anda, sejak semalam Anda tidak memakan apa pun," Sonya berusaha membujuk."Nanti saja," sahut Erland lemas."Bunga! Bunga milik nyonya layu."Tapi, begitu mendengar bunga kesukaan Aruna yang dikatakan layu. Dia berbalik dan membuka pintu, bukan hanya itu. Erland juga langsung beranjak keluar dan menuruni anak tangga.
"Kamu tidak waras ya? Siapa yang miskin!"Mendengar seruan dari Aruna yang tersinggung. Berhasil menciptakan sebuah senyuman di bibir Erland. Dia mendapatkan dunianya kembali."Aku yang miskin," sahut Erland mengalah."Tidak waras," keluh Aruna lebih pelan, namun masih membuat Erland tersenyum.Pandangan Aruna sejenak menatap ke arah anak buah suaminya yang makan. Hatinya terenyuh, kenapa? Pria ini harus mencarinya. Sosok wanita yang hamil anak pria lain. Aruna tak yakin bisa bicara jujur.Kehadiran pria ini di depan matanya. Telah menciptakan sifat serakah dalam diri Aruna. Rasa ingin memiliki yang tak terobati.Jam pulang karyawan telah tiba. Semua pegawai bersiap berganti pakaian dan mengambil tas mereka di loker, termasuk Aruna juga. Membuat Ridwan memanfaatkan kesempatan itu untuk mendekati Erland."Bisa bicara empat mata di luar?"Pandangan Erland terhenti pada ponsel. Lantas tertuju pada Ridwan. Mengingat pria ini bos cafe Sior, telah menerima Aruna bekerja, dia harus bersikap
"Aruna."Tangan Aruna baru saja dicekal oleh Erland. Bahkan dengan hati-hati membantu Aruna kembali duduk di sofa yang rasa batu ini. Aruna menghindari tatapan Erland sekarang."Sepertinya ada kesalahpahaman ya, Aruna," sindir Erland.Aruna terpaksa menoleh ke arah suaminya. Tertawa sejenak, kemudian langsung diam. Kebohongannya terbongkar sudah."Tidak mau cerita?" tagih Erland, jelas memintanya meluruskan masalah."Sebenarnya," jeda Aruna untuk menatap suaminya yang mengangguk."Aku diculik oleh seseorang, aku berhasil kabur dan ditemukan oleh Aryo saat pingsan."Keluarga Yati nampak terheran dengan cerita Aruna. Padahal kan Aryo yang hampir menabrak Aruna. Namun, Aruna yang tahu sifat suami sendiri memilih menyembunyikan fakta itu."Aku hanya kesal karena tidak dicari, maka dari itu aku berbohong dan tidak ingin pulang," lanjutnya.Sementara Erland membisu. Dia mencerna maksud dari ucapan Aruna. Rupanya bukan karena tidak dicari, melainkan ada anak yang tumbuh di rahim. Membuat Aru
Malam yang begitu terang dengan disinari bulan purnama. Suara bising penuh tawa dan keceriaan itu menghuni pedesaan Bandung. Semua itu jelas karena makan bersama yang Erland buat."Nah, ini tidak pedas."Erland meletakkan piring berisi daging dan seafood yang telah dipotong di hadapan Aruna. Bibirnya mengulas senyum, lantas menggeser tubuh saat Erland ingin duduk di sisinya."Bagaimana? Enak tidak?"Kepala Aruna mengangguk. "Enak."Jemari Erland merambat dan berakhir di pinggangnya. Mata Aruna melirik apa yang suaminya ini lakukan. "Nanti ada yang lihat," protesnya pelan."Tidak ada. Lagi pula hanya begini saja, tidak ada cium atau bikin anak kan," bisik Erland.Aruna mendadak malu dan melirik waspada pada warga. "Menjauhlah. Kumpul sana dengan para pria."Erland menatap wajahnya yang sedikit bersemu. Meski malam hari, tapi dia bisa melihat cukup jelas. Rasanya Erland tak mampu menahan diri untuk tidak mencium bibir Aruna yang bergerak karena mengunyah."Aku di sini menjaga istri, me