"Aruna."Tangan Aruna baru saja dicekal oleh Erland. Bahkan dengan hati-hati membantu Aruna kembali duduk di sofa yang rasa batu ini. Aruna menghindari tatapan Erland sekarang."Sepertinya ada kesalahpahaman ya, Aruna," sindir Erland.Aruna terpaksa menoleh ke arah suaminya. Tertawa sejenak, kemudian langsung diam. Kebohongannya terbongkar sudah."Tidak mau cerita?" tagih Erland, jelas memintanya meluruskan masalah."Sebenarnya," jeda Aruna untuk menatap suaminya yang mengangguk."Aku diculik oleh seseorang, aku berhasil kabur dan ditemukan oleh Aryo saat pingsan."Keluarga Yati nampak terheran dengan cerita Aruna. Padahal kan Aryo yang hampir menabrak Aruna. Namun, Aruna yang tahu sifat suami sendiri memilih menyembunyikan fakta itu."Aku hanya kesal karena tidak dicari, maka dari itu aku berbohong dan tidak ingin pulang," lanjutnya.Sementara Erland membisu. Dia mencerna maksud dari ucapan Aruna. Rupanya bukan karena tidak dicari, melainkan ada anak yang tumbuh di rahim. Membuat Aru
Malam yang begitu terang dengan disinari bulan purnama. Suara bising penuh tawa dan keceriaan itu menghuni pedesaan Bandung. Semua itu jelas karena makan bersama yang Erland buat."Nah, ini tidak pedas."Erland meletakkan piring berisi daging dan seafood yang telah dipotong di hadapan Aruna. Bibirnya mengulas senyum, lantas menggeser tubuh saat Erland ingin duduk di sisinya."Bagaimana? Enak tidak?"Kepala Aruna mengangguk. "Enak."Jemari Erland merambat dan berakhir di pinggangnya. Mata Aruna melirik apa yang suaminya ini lakukan. "Nanti ada yang lihat," protesnya pelan."Tidak ada. Lagi pula hanya begini saja, tidak ada cium atau bikin anak kan," bisik Erland.Aruna mendadak malu dan melirik waspada pada warga. "Menjauhlah. Kumpul sana dengan para pria."Erland menatap wajahnya yang sedikit bersemu. Meski malam hari, tapi dia bisa melihat cukup jelas. Rasanya Erland tak mampu menahan diri untuk tidak mencium bibir Aruna yang bergerak karena mengunyah."Aku di sini menjaga istri, me
Daffa melongo sejenak, mendengar ucapan dari Erland. Namun, pria tersebut mulai memaklumi. Erland yang licik tentunya bisa melakukan apa saja demi mendapatkan Aruna."Bagaimana bisa Anda mengelabui Yuda begitu mudah, Tuan? Yuda tentunya tahu kalau itu tepung."Erland menyeringai. Sembari berjalan beriringan dengan Daffa, mata dia menatap sang sekretaris yang tak mampu memecahkan rencana penipuan dari Erland."Bukankah kamu sangat tidak tahan dengan aroma lembab dan jamur itu?""Benar Tuan."Lantas, Daffa memikirkan Yuda yang berbulan-bulan dikurung di sana. Hanya mendapat secuil mentari dari cela langit-langit rumah. Yuda pasti muak berada di sana.Mata Erland menjadi serius. "Jika kamu mendapat tepung di tempat itu, apa kamu akan tahu dengan hanya mencium aromanya?"Daffa mulai mengerti, Erland menghela napas melihat reaksi sang sekretaris. Yuda baru tahu saat lidah merasakan bubuk itu adalah tepung, bukan obat terlarang."Jadi, Anda berniat menceraikan nyonya dengan Yuda?"Erland te
Erland yang semula berniat menaiki tubuh Aruna. Berakhir dengan helaan napas panjang dan hanya bisa berdiam di posisi terlentang. Bahkan Erland menutupi dahi dengan tangan."Kamu sungguh ingin?" tanya Aruna pelan."Masih perlu ditanyakan?"Mata Aruna merangkak ke bawah. Lantas bibir tersenyum karena menyaksikan sesuatu yang sedikit bangkit di bawah sana. Aruna menyentuh dada suaminya dengan gerakan meraba.Segera Erland turunkan tangan yang menutupi sebagian wajah. Mata melirik ke arah Aruna dengan tertegun."Sayang. Tidak boleh seperti ini."Aruna mendekat dan berbisik di telinga Erland, "boleh kok. Aku kan istrimu, apalagi kamar ini sepertinya cukup untuk meredam suara kita."Begitu mendengar ucapannya. Erland terburu menuruni ranjang, mata Aruna mengawasi suaminya yang mengunci pintu dengan pelan. Kemudian baru mendekati dirinya.Aruna tersenyum dengan tangan sudah mengundang suami. Erland terkekeh melihat dirinya yang juga mau disentuh. "Kamu lagi hamil, mau di atas atau bawah?"
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Dengan Aruna yang kerap merebahkan tubuhnya di mobil, menjadikan Erland sebagai bantal. Akhirnya mereka telah tiba di Jakarta.Tepatnya kediaman milik Erland. Aruna dibuat terpukau oleh ruang tamu di bagian sudutnya. Vas berisi bunga masih ada di sana, bahkan raknya pun terlihat berwarna dan masih baru."Bagaimana bisa bunganya masih ada?" tanyanya dengan takjub.Erland meraih pinggangnya dan tersenyum. "Suamimu menggantinya setiap minggu, bukankah aku harus dapat hadiah?""Apa yang kamu inginkan?" tanya Aruna ikut tersenyum."Bikin anak lebih sering," bisik Erland membuat Aruna malu-malu.Bicara hal yang sedikit tabu di dalam rumah ini, Aruna merasa ada kecanggungan. Apalagi sudah lama tidak tinggal di sini.Aruna melihat Sonya yang berjalan mendekat, tapi bersama puluhan pembantu yang tidak bisa Aruna kenali wajahnya. Hal itu membuat Aruna segera menatap suaminya."Selamat datang, Nyonya Aruna," sebut Sonya yang diikuti semua pembantu.
Selama berada di dalam mobil. Erland menatap gedung-gedung perusahaan lain yang terlewati. Dia terdiam dengan banyak pemikiran.Baru kali tersebut, dia merasa tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Padahal biasanya Erland mampu melakukannya tanpa peduli dengan risiko."Aku juga tidak ingin hancur dan membuat Aruna sengsara," gumam Erland sembari menarik napas.Daffa melirik dari spion. Mendapati sang atasan yang terlihat bimbang."Ayah mertua menolak ide Anda, Tuan?" Daffa mulai memberanikan diri bertanya.Tatapan Erland tertuju pada Daffa. "Ya, dia menolak."Padahal pria itu tahu, Erland adalah orang yang tak peduli pendapat orang lain. Tapi, kali ini malah berdiskusi dahulu dengan Faisal, selaku ayah kandung dari Aruna juga Irene.Erland menyeringai. "Mungkin jalan satu-satunya, hanya dengan menyingkirkan penghalangnya maka masalah selesai kan."Mendengar ucapan Erland, Daffa tertegun. "Tuan, tidak akan melakukan hal itu kan?""Entahlah."Mata Erland memandang keluar lagi, kali
Wajah Aruna langsung bersemu karena malu begitu mendengar ucapan suaminya. Mata Aruna melirik sana-sini, rupanya mereka sudah fokus dengan makanan."Bagaimana kalau ada yang dengar?" bisiknya."Tidak ada Sayang."Lantas, Erland menuntun Aruna untuk duduk di kursi yang telah ditata. "Kamu juga harus makan.""Iya."Erland memperhatikan Aruna dengan serius. Sang istri yang pilih-pilih makanan, tidak seperti biasanya. Semakin dilihat, akhirnya Erland bertanya."Sayang, apa ada yang ingin kamu makan?"Pandangan Aruna terangkat. Ini adalah makanan yang biasa dirinya konsumsi. Tapi, Aruna sedikit tidak bisa mencernanya."Aku hanya mual dengan beberapa lauk ini, aku tidak ingin makanan yang lain," bisiknya.Erland memperhatikan lauk yang Aruna pisahkan. Semuanya adalah jenis sayuran dan telur. Tersisa hanya daging dan tempe saja."Mulai sekarang katakan apa saja yang bisa kamu makan ya, yang bikin mual juga dicatat."Aruna langsung tersenyum. "Baiklah."Tanpa mereka berdua sadari, ada mata ya
Melihat Erland yang terlihat marah dengan tangan menyobek kertas itu. Aruna mulai mencurigai sesuatu. Kemudian berjalan mendekati suaminya yang terburu mengulas senyum padanya.Aruna semakin yakin, ada yang suaminya sembunyikan."Erland," sebut Aruna."Iya Sayang."Mata Aruna yang tertuju pada tangan menyimpan sobekan kertas. Membuat Erland langsung meraih pinggang Aruna."Bukankah kamu ingin mengantar aku kerja, Sayang? Aku ingin segera berangkat.""Apa yang pria tadi lempar?""Hanya batu," sahut Erland."Ada kertasnya tadi, aku lihat jelas."Tangan Erland yang berisi kertas membuka pintu mobil langsung dicegah oleh Aruna. Erland terburu meraih tangannya."Sayang, jika kamu seperti ini aku akan terlambat," ujar Erland terdengar terburu."Perlihatkan padaku pesan yang pria itu lempar.""Tidak ada, hanya kertas kosong.""Mustahil, cepat berikan padaku," pinta Aruna dengan keras kepala.Erland meraih kedua tangannya. Aruna bisa rasakan sobekan kertas yang menyapa permukaan kulitnya. Nam