Erland yang semula berniat menaiki tubuh Aruna. Berakhir dengan helaan napas panjang dan hanya bisa berdiam di posisi terlentang. Bahkan Erland menutupi dahi dengan tangan."Kamu sungguh ingin?" tanya Aruna pelan."Masih perlu ditanyakan?"Mata Aruna merangkak ke bawah. Lantas bibir tersenyum karena menyaksikan sesuatu yang sedikit bangkit di bawah sana. Aruna menyentuh dada suaminya dengan gerakan meraba.Segera Erland turunkan tangan yang menutupi sebagian wajah. Mata melirik ke arah Aruna dengan tertegun."Sayang. Tidak boleh seperti ini."Aruna mendekat dan berbisik di telinga Erland, "boleh kok. Aku kan istrimu, apalagi kamar ini sepertinya cukup untuk meredam suara kita."Begitu mendengar ucapannya. Erland terburu menuruni ranjang, mata Aruna mengawasi suaminya yang mengunci pintu dengan pelan. Kemudian baru mendekati dirinya.Aruna tersenyum dengan tangan sudah mengundang suami. Erland terkekeh melihat dirinya yang juga mau disentuh. "Kamu lagi hamil, mau di atas atau bawah?"
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Dengan Aruna yang kerap merebahkan tubuhnya di mobil, menjadikan Erland sebagai bantal. Akhirnya mereka telah tiba di Jakarta.Tepatnya kediaman milik Erland. Aruna dibuat terpukau oleh ruang tamu di bagian sudutnya. Vas berisi bunga masih ada di sana, bahkan raknya pun terlihat berwarna dan masih baru."Bagaimana bisa bunganya masih ada?" tanyanya dengan takjub.Erland meraih pinggangnya dan tersenyum. "Suamimu menggantinya setiap minggu, bukankah aku harus dapat hadiah?""Apa yang kamu inginkan?" tanya Aruna ikut tersenyum."Bikin anak lebih sering," bisik Erland membuat Aruna malu-malu.Bicara hal yang sedikit tabu di dalam rumah ini, Aruna merasa ada kecanggungan. Apalagi sudah lama tidak tinggal di sini.Aruna melihat Sonya yang berjalan mendekat, tapi bersama puluhan pembantu yang tidak bisa Aruna kenali wajahnya. Hal itu membuat Aruna segera menatap suaminya."Selamat datang, Nyonya Aruna," sebut Sonya yang diikuti semua pembantu.
Selama berada di dalam mobil. Erland menatap gedung-gedung perusahaan lain yang terlewati. Dia terdiam dengan banyak pemikiran.Baru kali tersebut, dia merasa tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Padahal biasanya Erland mampu melakukannya tanpa peduli dengan risiko."Aku juga tidak ingin hancur dan membuat Aruna sengsara," gumam Erland sembari menarik napas.Daffa melirik dari spion. Mendapati sang atasan yang terlihat bimbang."Ayah mertua menolak ide Anda, Tuan?" Daffa mulai memberanikan diri bertanya.Tatapan Erland tertuju pada Daffa. "Ya, dia menolak."Padahal pria itu tahu, Erland adalah orang yang tak peduli pendapat orang lain. Tapi, kali ini malah berdiskusi dahulu dengan Faisal, selaku ayah kandung dari Aruna juga Irene.Erland menyeringai. "Mungkin jalan satu-satunya, hanya dengan menyingkirkan penghalangnya maka masalah selesai kan."Mendengar ucapan Erland, Daffa tertegun. "Tuan, tidak akan melakukan hal itu kan?""Entahlah."Mata Erland memandang keluar lagi, kali
Wajah Aruna langsung bersemu karena malu begitu mendengar ucapan suaminya. Mata Aruna melirik sana-sini, rupanya mereka sudah fokus dengan makanan."Bagaimana kalau ada yang dengar?" bisiknya."Tidak ada Sayang."Lantas, Erland menuntun Aruna untuk duduk di kursi yang telah ditata. "Kamu juga harus makan.""Iya."Erland memperhatikan Aruna dengan serius. Sang istri yang pilih-pilih makanan, tidak seperti biasanya. Semakin dilihat, akhirnya Erland bertanya."Sayang, apa ada yang ingin kamu makan?"Pandangan Aruna terangkat. Ini adalah makanan yang biasa dirinya konsumsi. Tapi, Aruna sedikit tidak bisa mencernanya."Aku hanya mual dengan beberapa lauk ini, aku tidak ingin makanan yang lain," bisiknya.Erland memperhatikan lauk yang Aruna pisahkan. Semuanya adalah jenis sayuran dan telur. Tersisa hanya daging dan tempe saja."Mulai sekarang katakan apa saja yang bisa kamu makan ya, yang bikin mual juga dicatat."Aruna langsung tersenyum. "Baiklah."Tanpa mereka berdua sadari, ada mata ya
Melihat Erland yang terlihat marah dengan tangan menyobek kertas itu. Aruna mulai mencurigai sesuatu. Kemudian berjalan mendekati suaminya yang terburu mengulas senyum padanya.Aruna semakin yakin, ada yang suaminya sembunyikan."Erland," sebut Aruna."Iya Sayang."Mata Aruna yang tertuju pada tangan menyimpan sobekan kertas. Membuat Erland langsung meraih pinggang Aruna."Bukankah kamu ingin mengantar aku kerja, Sayang? Aku ingin segera berangkat.""Apa yang pria tadi lempar?""Hanya batu," sahut Erland."Ada kertasnya tadi, aku lihat jelas."Tangan Erland yang berisi kertas membuka pintu mobil langsung dicegah oleh Aruna. Erland terburu meraih tangannya."Sayang, jika kamu seperti ini aku akan terlambat," ujar Erland terdengar terburu."Perlihatkan padaku pesan yang pria itu lempar.""Tidak ada, hanya kertas kosong.""Mustahil, cepat berikan padaku," pinta Aruna dengan keras kepala.Erland meraih kedua tangannya. Aruna bisa rasakan sobekan kertas yang menyapa permukaan kulitnya. Nam
Mata Aruna sedikit menatap Mitha dengan tertegun. Bahkan tangan Aruna sekarang mendadak dingin. Namun, Aruna berusaha mengendalikan rasa gugup serta takutnya ini.Dari mana wanita ini tahu? Itulah yang Aruna pikirkan. Namun, bibirnya menyeringai membuat Mitha yang semula merasa di atas angin. Mulai menatap heran ke arah Aruna."Apa yang mau kamu beri tahu? Anakku?"Aruna melipat tangan di dada. "Katakan pada Erland selaku ayahnya, untuk apa kamu libatkan Yuda."Mitha menertawakan keberanian Aruna mengklaim anak yang dikandung milik Erland. "Usia kandunganmu sangat tidak sesuai, Aruna. Kamu mau berpura sampai kapan?"Aruna menyeringai. "Aku hanya diculik, tidak dihamili. Kenapa kamu begitu yakin kalau ini bukan anak Erland?"Mata Mitha menatap Aruna yang tak gentar sama sekali dengan kesal. "Aku pastikan dunia akan tahu, kalau kamu menipu Erland. Lihat bagaimana Erland akan melindungi kamu, saat keluarga besarnya menyerangmu, Irene palsu."Mendengar ancaman itu, Aruna tak merasa takut.
Melihat jemari Erland yang berada di atas bibir. Aruna segera menolehkan kepalanya sana-sini. Erland pikir, Aruna bakal menolak karena kesibukan karyawan cafe. Tapi, mata Erland sempat terbelalak kaget karena bibir dikecup oleh Aruna."Sudah disuap," ujar Aruna kembali duduk.Jemari Erland menyentuh permukaan bibir sendiri, lantas tersenyum lebih lebar. Mendadak menciptakan rasa malu dalam diri Aruna. Bukan malu karena berbuat salah, tapi ada getaran yang mengatakan cinta di hatinya."Kamu ke sini untuk menjemput aku kan? Sebentar lagi cafe tutup," singgung Aruna berusaha mencari topik lain."Memang. Tapi, aku ingin berkencan dulu sebelum pulang."Mendengar rencana suaminya. Aruna langsung menatap lembayung sore yang sebentar lagi akan membanggakan diri atas keindahan di langit. "Aku sedang hamil, kamu lupa?""Aku tidak amnesia, Sayang." Jemari Aruna kembali dimainkan, terutama jari manisnya."Ya terus kenapa mengajak pergi saat mau maghrib, bahkan malam hari?"Dahi Aruna sampai men
Faisal langsung tertawa, bahkan tangan sampai bertepuk dan menimbulkan bunyi. "Benar sekali, aku punya keturunan dari Irene."Lantas, tawa itu terhenti dan berganti menjadi senyuman penuh kemenangan. "Kemudian, kamu akan memberi ayah cucu lagi kan? Cucu asli dari kalian berdua."Tangan Erland mengepal. "Tentu saja. Cukup sekali saja aku kecolongan, akan aku potong burung yang berani singgah di tubuh Irene.""Tidak. Bahkan sebelum dekat pun, sudah aku singkirkan."Sorot mata Erland begitu serius. Sampai membuat Faisal merasa lucu sendiri. Jika sampai Daffa kembali mendapat keberanian seperti dulu. Sudah pasti Erland akan menghabisi sekretaris dengan tangan sendiri.Namun, pandangan Erland tertuju pada bayangan di bawah pintu yang terlihat. Hal itu mengundang Faisal untuk menatap juga."Sepertinya masih ada satu tikus yang belum Ayah kandang ya?" sindir Erland sembari menyeringai.Helaan napas terdengar dari mulut Faisal, begitu menyadari siapa yang menguping diam-diam itu. Artinya, ora