"Nyonya baru tak sadarkan diri!"Suara Sonya masih terdengar kuat dan kaki yang mulai lelah itu berhenti berlari. Karena mobil yang dikemudikan oleh Erland berputar balik.Tanpa mendengar penjelasan apa pun dari Sonya. Begitu memasuki pekarangan rumah, Erland langsung keluar mobil dan berlari ke arah rumah. Sonya meraup napas rakus setelah memastikan sang tuan akan membawa nyonya baru ke rumah sakit."Irene!"Suara teriakan Erland yang dipenuhi kecemasan itu mengisi beberapa ruangan di rumah luas tersebut. Juga suara yang mampu menyingkirkan para pembantu, semula berkerumun untuk memindahkan tubuh sang majikan dari lantai."Irene," sebut Erland menjadi sedikit pelan.Setelah tangan berhasil meraih kepala Aruna. Bola mata Erland begitu tak fokus, menatap wajah sang istri yang terlihat damai dalam keadaan tak sadarkan diri."Bawakan identitas Irene di dalam kamar dan segera susul ke rumah sakit," titah Erland dengan tangan mengangkat tubuh Aruna."Baik Tuan."Selama melangkah pergi dari
"Apa keluarga Irene kaya?"Erland tertawa mendengar pertanyaan dari sang istri. Sedangkan, Aruna langsung mengerutkan dahi. Perlahan matanya mulai menatap marah karena tersinggung."Ada bagian yang lucu dari pertanyaanku?"Mata Erland menatap Aruna lekat. "Jika kamu mengincar harta, tetap tinggallah di rumahku dan nikmati kekayaan milikku.""Tidak perlu, aku merasa terbebani. Bukan istrimu tapi seenak jidat menikmati harta milikmu," celetuknya.Erland menarik napas. Dia telah mempersiapkan segalanya, ketika ingatan Aruna kembali. Tapi, tak mengira kalau hari itu tiba begitu cepat.Jemari Erland mengeluarkan ponsel dan melempar ke arah ranjang. Aruna sendiri menatap lama ponsel suaminya yang mendarat di sebelah kakinya. Pikirannya bertanya-tanya, apa maksud dari Erland."Lihatlah."Aruna pun memberanikan diri mengambil ponsel. Lantas, mulai menatap serius sampai dahi mengerut. "Apa ini?" tanya Aruna melihat foto surat pernikahan."Aruna dan Erland telah resmi menikah, dengan bukti itu
"Aku tanya sekali lagi," ujar Erland karena melihat Aruna bimbang."Kamu tidak takut bertemu Yuda, jika aku memberi kamu kebebasan?" Mata Aruna menatap suaminya lekat. "Lantas bagaimana denganmu? Apa kamu akan membiarkan aku bertemu dengan Yuda?"Pertanyaan yang sangat bagus bagi Erland, sampai bibir menyeringai. "Tentu saja tidak. Mana mungkin aku biarkan pengganti Irene kabur dari hidupku."Pengganti? Aruna membisu. Entah kenapa, hatinya sedikit kesal mendengar kenyataan bahwa dirinya tidak lebih dari seorang pengganti. "Kalau begitu, aku tidak perlu cemas," sahutnya karena butuh kebebasan."Tapi, apa kamu lupa Aruna. Bahwa aku bukanlah iblis yang terus berada di sekitarmu," singgung Erland."Jika sampai bertemu, bukankah itu sangat merepotkan?" tanya Erland.Aruna tahu, pria ini hanya berniat menyurutkan semangatnya untuk menjalani kehidupan seperti manusia lainnya. Keluar rumah ketika ada keperluan."Sekarang identitasku adalah Irene, dia tidak akan berani macam-macam," ujarnya
"Aku berada di sisimu, karena kamu menikahi aku secara paksa. Dan aku tetap di sisimu untuk bersembunyi," ujar Aruna.Lantas, Aruna menegaskan. "Jadi, aku bukan pengganti. Ingat itu."Erland menyeringai mendengarkan ucapan dari Aruna. Memang, tak ada manusia satu pun yang ingin dijadikan pengganti. Termasuk Aruna sendiri."Jalan," perintah Aruna dengan lirikan mata, ketika lampu lalu lintas telah hijau kembali.Erland menatap ke depan dengan ekspresi datar. Mengemudi bersama pengendara lain kembali. Aruna kerap melirik ke arah Erland yang hanya diam saja."Jadi, aku hanya harus berpura tetap jadi Irene saja kan?""Kamu akan bekerja sama saat aku bertemu dengan Yuda, iya kan?" tanya Aruna lagi karena Erland tak menyahut.Begitu mendengar ucapannya. Erland menoleh dengan mata menatap marah. Membuat Aruna segera melirik ke depan dengan jemari mencengkram bajunya."Kamu masih ada rencana untuk bertemu dengannya?" tegur Erland.Aruna langsung menghela napas. "Aku bicara kalau bertemu.""Ka
Mata Erland menjadi serius. "Aruna."Kecurigaan dia terhadap Aruna begitu besar. Wanita itu pernah tertangkap memasuki ruang penyimpanan ini. Erland mulai keluar ruangan dan berjalan cepat ke arah kamar yang dihuni Aruna.Erland berniat menegur sekaligus bertanya, perihal catatan itu. Tapi, semua kata yang telah dirangkai dalam hati, seketika hilang sudah. Begitu menemukan Aruna berdiri di depan kamar dengan dress seksi."Apa yang kamu kenakan?"Aruna menoleh, dapat Erland lihat belahan dada yang hampir terekspos itu. Juga paha yang keluar dari dress dengan bagian bawah terbelah begitu panjang. Erland hampir saja tergoda pada daging yang masih terbungkus itu."Gaun malam. Bukankah kamu mengajak makan malam? Aku mendengarnya dari pembantu."Erland mendengkus. Meski hanya wajah saja yang mirip, tapi sifat sangat berbeda dengan Irene. Tetap saja, Erland tak rela Aruna dilihat oleh banyak pria dengan pandangan minat."Ganti pakaian."Aruna yang bergeming di tempat, dengan tangan memegang
Sementara Erland melirik ponsel yang bergetar. Dia mendapat pesan dari satpam di depan rumah yang mengenai sosok Yuda. Terburu Erland berdiri dari kursi dan menatap sebuah mobil yang mulai meninggalkan kediaman."Hebat sekali kamu, Aruna."Mata Aruna terangkat dan menatap Erland yang masih menunjukkan punggung. Aruna sedikit tak mengerti dengan maksud dari Erland. Lagi pula, entah itu bentuk pujian atau sindiran, Aruna sendiri belum tahu."Kamu seperti parfum yang wangi menggoda, hingga mendatangkan pria lain ke rumah," sindir Erland.Aruna mulai mengerti siapa yang datang. Jadi, dengan tubuh yang bangkit sembarangan, membuat kaki kursi bersentuhan kasar dengan lantai dan menciptakan suara berisik. Erland melirik dingin ke arah Aruna yang sudah berdiri di sebelah."Senang? Dijenguk oleh suami pertamamu itu."Atas sindiran yang ditemani amarah ini. Kepala Aruna menoleh dengan cepat, lantas berdecak kesal."Aku bukannya senang, aku hanya memastikan apakah dia sungguh datang ke sini," ke
Aruna menunjuk wajah Yuda dengan jarinya. "Aku mengenalnya, kamu bisa melepaskan dia."Mata Aruna menatap ke arah Ajun yang masih tak mau berpindah dari tubuh Yuda. Melihat Aruna yang menyipitkan mata, namun tetap tak membuat Ajun menurut."Apa kamu belum pernah digantung di depan balkon?" sindir Aruna."Maaf Nyonya Irene."Ajun mulai bangkit dan melepaskan Yuda yang duduk di lantai dengan meringis. Aruna menatap Yuda amat lekat. Ia ingin menghindar, namun pria ini telah tahu keberadaannya. Aruna hanya bisa menghadapi Yuda dengan tetap berpura sebagai Irene."Apa kamu baik-baik saja?"Atensi Yuda teralihkan pada Aruna yang bertanya dengan ramah. Mata bertatapan cukup lama, namun Aruna langsung menatap ke arah Ajun."Masih tidak meminta maaf," tegurnya.Ajun langsung menunduk. "Maafkan saya Pak, saya tidak tahu kalau Anda kenalan Nyonya Irene.""Dia bukan Irene," sahut Yuda begitu cepat.Aruna tersenyum. "Kalau bukan Irene, lantas aku siapa? Kamu seenaknya mengubah nama orang."Lantas,
Tangan Erland sejenak berhenti meraba. Mata saling pandang dengan Aruna, lantas Erland mengulas senyum dan kembali melanjutkan kegiatan meraba. Jemari merasakan kenyalnya dada sang istri."Dengan lembut? Itu maksudmu. Baiklah, selama kamu juga tidak menolak.""Memangnya kapan aku menolak?" tanya Aruna membuat Erland menyeringai."Benar. Istriku yang satu ini, mana mungkin menolak kenikmatan."Erland mencium bibirnya jauh lebih lembut dan Aruna pun membalas tanpa menggigit sama sekali. Aruna biarkan tangan Erland yang melepaskan bajunya. "Apa kamu juga seperti ini pada Yuda?" bisik Erland sembari menggigit kecil lehernya."Sebagai istri, sebelum suami minta pun akan diberikan," sahutnya.Erland tersenyum sinis. "Omong kosong, itu hanya karena kamu yang mesum, bukan sebagai kewajiban."Aruna memukul membuat Erland sedikit kesal. Hingga meraih tangannya dan digenggam, meski tak kasar. "Aku paling benci dengan pukulanmu, Aruna.""Kenapa? Belum pernah ada wanita yang memukulmu?" tanya Ar