Tangan Erland sejenak berhenti meraba. Mata saling pandang dengan Aruna, lantas Erland mengulas senyum dan kembali melanjutkan kegiatan meraba. Jemari merasakan kenyalnya dada sang istri."Dengan lembut? Itu maksudmu. Baiklah, selama kamu juga tidak menolak.""Memangnya kapan aku menolak?" tanya Aruna membuat Erland menyeringai."Benar. Istriku yang satu ini, mana mungkin menolak kenikmatan."Erland mencium bibirnya jauh lebih lembut dan Aruna pun membalas tanpa menggigit sama sekali. Aruna biarkan tangan Erland yang melepaskan bajunya. "Apa kamu juga seperti ini pada Yuda?" bisik Erland sembari menggigit kecil lehernya."Sebagai istri, sebelum suami minta pun akan diberikan," sahutnya.Erland tersenyum sinis. "Omong kosong, itu hanya karena kamu yang mesum, bukan sebagai kewajiban."Aruna memukul membuat Erland sedikit kesal. Hingga meraih tangannya dan digenggam, meski tak kasar. "Aku paling benci dengan pukulanmu, Aruna.""Kenapa? Belum pernah ada wanita yang memukulmu?" tanya Ar
"Selamat pagi Mama," sapa Aruna dengan wajah yang canggung.Erland kembali menarik tubuhnya. "Apa yang sedang kamu lakukan?""Aku hanya menyapa," sahutnya membuat Nina menatap takjub."Apa kalian sudah sarapan? Mama membawakan beberapa buah."Mata Aruna pun menatap melalui jendela. Sopir yang dibawa oleh Nina, mulai mengeluarkan buah dari bagasi dan berjalan mendekat. Hanya dengan lirikan dari Erland, pembantu berjalan terburu untuk mengunci pintu rumah. Memberi batas bagi sopir untuk masuk ke rumah. "Erland!" sebut Nina sedikit kesal secara terang-terangan."Padahal mama hanya ingin memberikan buah, kamu tetap tidak menerima?" protes Nina.Erland kembali menyembunyikan Irene. "Anda pikir kami kekurangan? Hanya buah saja, aku bisa membelinya sendiri.""Jadi tidak usah repot-repot dan silakan kembali."Erland membawa Aruna berjalan pergi ke dalam rumah. Nina mengepalkan tangan, melihat Aruna yang hanya diam dan mengikuti Erland, sama seperti dulu."Apa kamu masih membenci mama karena
Tapi, Erland jauh lebih kaget saat sang ayah mertua malah menemukan mereka. Erland berharap pintu lift segera tertutup. Sayangnya, Aruna malah meletakkan kakinya di tengah pintu lift hingga tak jadi tertutup.Erland langsung menemukan penyebabnya dan mendelik marah. "Apa yang sedang kamu lakukan?""Aku ingin bertemu dengan ayahku, tidak boleh?"Erland kesal dan terpaksa membawa Aruna keluar dari lift. Karena sudah ketahuan juga. Mata ayah Irene menatap lekat wajah Aruna yang benar-benar mirip."Irene--"Pria setengah baya itu berhenti bicara sendiri dengan mata mulai memandang sendu ke arah Erland. Ada rasa heran juga di sana, membuat dia menghela napas."Sayang, kamu ikut dengan Daffa ke ruang kerjaku dulu," pinta Erland tanpa memanggil Irene mau pun Aruna.Meski mata Aruna masih menatap penasaran ke arah ayah Irene. Pria yang tampan meski sudah termakan usia. Daffa menunjuk jalan ke arahnya, membuat Aruna terpaksa memutus pandangan dan berjalan mengikut
Erland dengan hati-hati meletakkan tangan pada paha Aruna. Selagi mata dia memperhatikan ekspresi Aruna yang baru saja menyeringai."Kamu bilang kegiatan ranjang itu sebuah pekerjaan yang kamu gaji?" "Bukankah begitu?" tanya Erland dengan bibir sudah mengecup lehernya.Aruna langsung mendorong kepala Erland dengan tangan. Mata Erland memandang posisi Aruna yang membelakangi, tapi masih bisa mencapai kepala dia."Sayang," keluh Erland.Aruna langsung diam, merasa kalau Erland sepenuhnya masih menganggap dirinya adalah Irene. Sementara diamnya Aruna, dianggap sambutan bagi Erland. Hingga kembali ingin memberikan kecupan di lehernya.Tapi, Erland menatap heran. Atas Aruna yang baru saja berdiri, menciptakan kekosongan serta kehangatan yang sirna. "Aruna, kenapa?"Kenapa? Aruna sendiri tidak tahu. Ada apa dengannya kali ini. Perasaan tak terima karena Erland selalu terbayang oleh sosok Irene. "Apa aku sungguh akan bekerja di perusahaan ayahnya Irene?" tanya Aruna masih dengan posisi be
"Saya mengira kalau Anda akan menerima tawaran Yuda."Daffa menyinggung begitu mereka tiba di depan mobil. Mata Aruna memandang ke arah Yuda yang baru saja mengendarai mobil, keluar dari area perusahaan milik Erland. Wajah pria itu jelas sangat terluka dan marah oleh ucapan Aruna."Aku tidak sebodoh itu, kembali pada kenangan buruk," sahutnya sembari menurunkan pandangan."Apa Anda tidak memiliki solusi atas permasalahan sendiri?"Aruna mengerutkan dahi mendengarnya. "Solusi dan permasalahan? Kamu bicara perihal apa."Daffa menarik napas. "Memangnya ada hal lain? Selain hubungan rumit di antara Anda, Yuda dan tuan Erland."Mata Aruna menatap Daffa yang terkadang. Terlihat merindukan sosok Irene melalui dirinya, juga begitu ingin menghapus Aruna dari kehidupan Erland. Aruna menyeringai, ia tak bisa menyimpulkan mana sifat Daffa yang asli."Kamu pikir, yang aku hadapi adalah ujian matematika? Cukup bermodal rumus dan kertas coret untuk menyelesaikannya?" sindir Aruna."Yuda tidak sesede
"Mimpi saja sana."Aruna menyeletuk begitu mendengar ucapan Erland mengenai bikin anak. Suaminya yang berjalan ke kamar mandi pun berhenti sejenak, hanya untuk menyumbang suara tawa pada berisiknya televisi. Mata Aruna memastikan Erland sepenuhnya telah masuk ke dalam sana. Suara gemericik air serta aroma sabun dapat Aruna rasakan semua itu."Kamu sengaja membiarkan pintunya terbuka, tidak takut nyamuk masuk ke sana?" singgung Aruna.Dahinya mengerut, karena tak mendengar sahutan sedikit pun dari suaminya. Aruna memutuskan untuk bangun dari duduknya dan mendekat ke sana, mungkin menyender pada dinding sebelah pintu. Bukan untuk menerobos masuk, lantas ikut campur dalam kegiatan mandi suaminya."Aku mengundangmu masuk ke sini, Aruna."Suara di tengah air yang menimpa lantai, masih bisa Aruna dengar. Hingga pantatnya pun menghuni kursi rias lagi, karena mengobrol dengan jarak terbentang pun rupanya masih bisa dilakukan."Aku tidak tertarik."Dan itu percakapan terakhir di antara mereka
"Aruna kamu marah?"Kaki Erland langsung berhenti berlari. Mematung meski dihampiri olehnya yang masih membawa bantal. Bahkan wajah yang ditampar dengan bantal pun, Erland tak bergerak sama sekali."Ayo pukul aku sepuas kamu, Sayang.""Tanpa kamu suruh pun, aku akan melakukannya!" seru Aruna.Pemukulan sepihak dengan bantal ini mulai terhenti. Karena Aruna mulai merasa lelah. Erland memeluk pinggangnya, mengundang mata Aruna untuk menatap suaminya."Kamu berhak mencintai suami sendiri, Aruna," ujar Erland.Namun, Aruna tak yakin. Kata itu boleh dirinya lontarkan. Sebab, Erland tak akan mungkin jatuh cinta pada istri sendiri, selain Irene orangnya.Bibirnya mengulas senyum terpaksa. "Benar."Erland mencium bibirnya lembut. Dengan tangan yang kembali melucuti pakaian, bahkan sudah meraba di berbagai tempat. Aruna pun hanya membiarkan dan menikmati sentuhan dari suaminya.***"Kamu bilang apa Mas barusan?"Istri kedua dari Faisal menunjukkan raut wajah yang tak setuju. Apalagi pembahasan
"Irene, apa yang kamu bicarakan?" tanya Faisal dengan pelan.Mata Aruna melirik ayah Irene. "Aku ingin posisi direktur."Mendengar permintaan darinya. Faisal mengulas senyum, namun tak menyahut sama sekali. Hal itu membuat Aruna menatap dengan kesal. "Kamu harus belajar dahulu. Bekerja di bidang iklan tidaklah mudah, jika kamu sudah beradaptasi dengan pekerjaanmu. Ayah pasti akan ...."Ucapan Faisal menjadi semakin pelan saja, bahkan sepenuhnya berhenti. Karena tangan Aruna yang menarik kursi dengan kasar, sehingga suara yang ditimbulkan sangat nyaring. Seluruh mata karyawan melirik dengan wajah terkejut mereka.Faisal menatap dengan marah. Biasanya pria itu melampiaskan amarah secara langsung. Namun, melihat Aruna yang menatap ke arah lain dengan wajah tertekuk. Rupanya membuat Faisal menemukan lawan yang sebanding."Apa gunanya anak CEO, kalau dapat jabatan harus merangkak juga," gumam Aruna pelan, namun masih bisa didengar oleh Faisal dan Erland.***"Bukannya Tuan seharusnya di k