Toilet di sekolah ini ada banyak, Arkana sengaja memutar jalan menuju toilet yang jauh dan jarang dikunjungi siswa dan siswi di sana hanya agar bisa mencari Zara di setiap sudut sekolah.Setiap lantai ia sisir, indera pendengaran dan penglihatannya menajam untuk mencari sosok Zara.Tapi Zara tidak ditemukan di manapun hingga akhirnya langkah Arkana terhenti di anak tangga menuju rooftop.Ia urung melanjutkan niatnya menuju toilet dekat rooftop. Arkana memutar tubuh untuk kembali ke lantai bawah namun langkahnya berhenti ketika baru dua anak tangga yang ia pijaki.Arkana mendengar suara gedoran pintu, meski samar tapi ia yakin bila itu berasal dari toilet dekat pintu menuju rooftop.Arkana mempercepat langkah menaiki tangga dan suara gedoran pintu diselingi isak tangis seorang gadis semakin kencang.“Kak Nadiaaa, buka ... hiks ... hiks ... hiks.” Suara Zara terdengar jelas dari dalam toilet wanita.Tanpa enggan Arkana masuk ke sana dan menemukan sebuah ember di depan pintu bilik toile
“Tadi malem anak Bunda pulang jam berapa?” Aura bertanya di sela sarapan pagi bersama kedua putranya.“Kai pulang jam delapan,” jawab Kai santai.“Kana juga.” Arkana berdusta.“Abang Kana sekarang sering bohong sama Bunda.” Arkana tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putih bersihnya dengan tangan menggaruk kepala di bagian belakang.Tuduhan sang bunda dikeluarkan dengan nada datar bahkan cenderung lembut tapi dampaknya bisa membuat Arkana tidak enak hati.“Ke rumah Zara dulu, Bun ... biasa anak muda.” Akhirnya Arkana menjawab jujur meski tidak menjelaskan jam berapa ia sampai ke rumah.“Oh ....” Sang bunda menanggapi.“Tapi di suruh pulang terus sama Zara, katanya kasian Bunda enggak ada temen ... padahal Kana pengen nginep di sana.” “Hush!! Digerebek Pak RT entar,” tegur Aura sambil mengacungkan jarinya.Arkana tergelak sementara Kai merotasi matanya jengah.“Jadi kalian udah sepakat, akan menikah setelah bundanya Zara sadar dari koma?” Arkana langsung terdiam mendengar pertan
Cup.Zara terlonjak saat sebuah kecupan mendarat di pipinya.Ia tau siapa tersangkanya tapi yang Zara khawatirkan adalah tanggapan Aura setelah melihat bagaimana vulgarnya hubungan mereka.Zara sangat menjaga penilaian keluarga Gunadhya atas dirinya terutama kedua orangtua Arkana.“Kak Aaaaar,” protes Zara sambil menepuk tangan Arkana yang melingkari pinggangnya.Pria itu tergelak, melepaskan pelukannya dari Zara dan beralih mengecup pipi sang bunda.“Sekarang bunda nomor dua ya, Bang ...,” sindir Aura memperlihatkan wajah pura-pura sedih.“Enggak donk, Bunda tetep nomor satu.” Arkana menyanggah. “Lo enggak apa-apa jadi nomor dua ‘kan sayang?” Arkana memperlihat wajah jenaka dengan menaik turunkan kedua alisnya.“Satu setengah deh,” tawar Arkana karena Zara tidak menjawab.Zara mendengkus sebal menanggapi kekasih messummnya.“Udah dapet yang cocok?” tanya Arkana.Saat ini mereka sedang berada di toko perhiasan untuk mencari cincin pernikahan Zara dan Arkana.Tidak perlu bertanya secar
Kaki Zara terasa lemas saat menyusuri lorong menuju ruang rawat di mana Maya telah dipindahkan dari ICU.Ia masih tidak percaya bahwa sang bunda akhirnya sadarkan diri.Do’anya dikabulkan Tuhan Yang Maha Esa, ternyata mungkin memang benar Arkana lah jodohnya.Zara bersandar pada Arkana yang merangkul pundaknya, pria itu begitu semangat melangkah panjang sementara Zara terseok menyamai langkah Arkana.Keduanya berhenti di depan pintu ruangan rawat inap yang baru saja diinfokan oleh pihak rumah sakit kepada Arkana melalui sambungan telepon ketika mereka dalam perjalanan.Arkana yang membuka pintu ruangan itu, Bunga dan Maya yang ada di dalam sana seketika menoleh menatap mereka.“Bundaaaa!” Zara berseru sambil berlari bersamaan dengan air matanya yang luruh.“Zaraaaa,” balas Maya serak, ia masih belum bisa banyak bergerak.Zara menangis dalam pelukan Maya dan suasana haru itu sanggup menggetarkan hati Arkana juga Bunga.“Jangan nangis, malu sama Nak Arkana.” Susah payah Maya berucap unt
“Jadi, kamu melihat sendiri saat Baron membunuh ayah kamu?” Maya bertanya kembali meski Zara telah menceritakan semua kronologisnya.Zara menganggukan kepala. “Sayang ya, Bunda enggak sadar ... kalau sadar, Bunda juga mau nembak kepala si Baron itu karena udah ngambil ayah dari Bunda.” Maya menahan tangisnya saat berucap demikian, sorot matanya kosong menatap ke depan.Zara tersenyum simpul menanggapi ucapan Maya yang ia anggap sebagai kelakar.Tangan Zara mengangsurkan potongan buah pir terakhir ke depan mulut sang bunda dan beliau membuka mulutnya menerima buah pir tersebut.Maya bangun tepat setelah Arkana pergi ke kantor.Sekarang Maya telah mandi dan baru selesai sarapan, tubuhnya terasa sedikit bugar.“Tapi, Kak Arkana mengatur semuanya agar meninggalnya ayah karena kecelakaan ... jadi kita bertiga mengalami kecelakaan dan ayah menjadi korban yang tidak selamat.” “Kenapa begitu? Mereka enggak akan tau kalau semua ini karena Jordi.” Maya tampak tidak terima.“Karena mereka akan
“Kita masih tinggal di sini, Ra? Bukannya ini rumah dinas?” Maya bertanya saat memasuki rumah, langkahnya terhenti tepat di ruang makan karena di sana ia sering kali bercanda dengan almarhum suaminya.Maya sudah diperbolehkan pulang setelah hampir satu minggu melakukan pemulihan di rumah sakit.“Sebetulnya ini rumah Kak Arkana, Bun ... mobil, asisten rumah tangga beserta supir—semuanya punya Kak Arkana.” Maya menoleh dengan raut wajah bingung, beliau menuntut penjelasan Zara karena setaunya ini adalah rumah dinas yang dipinjamkan perusahaan di mana mendiang suaminya bekerja.“Kak Arkana meminta temannya memasukan ayah agar bekerja di sana dan dia yang memfasilitasi semua ini untuk kita, Bun.” “Ya ampun, Nak Arkana ... sampai segitunya cinta sama kamu,” gumam Maya.“Bu, saya sudah masak makanan untuk makan siang.” Asisten rumah tangga bernama Fitri yang seumur dengan Maya itu memberitau.“Terimakasih,” balas Maya dengan senyuman.“Kita makan dulu ya Bun.” Zara membantu sang bunda be
Ting ... Tong ... Bel pintu rumah yang ditempati Zara dan ibunya berbunyi, mereka saling melempar pandang mempertanyakan tamu siapa yang berkunjung selarut ini.“Biar saya yang buka, Bu ....” Zara kemudian berdiri, menggantikan sang asisten rumah tangga yang seharusnya membukakan pintu.Ceklek.Pandangan mata Zara tertuju pada pria jangkung yang sedang tersenyum lebar berdiri di depan, dengan ekspresi malas—ia langsung menutup pintu tersebut.“Yang ... sayang, kok di tutup lagi?” Arkana mengesah di luar sana sambil mengetukkan buku jarinya pada daun pintu.Tumben pria itu mengetuk pintu, biasanya Arkana akan langsung masuk dan menghampirinya di mana pun ia berada di rumah ini.Tapi bukan itu yang membuat Zara menutup pintu melainkan kekesalannya yang sudah tidak bisa ditawar lagi pada Arkana.“Zara ... ada apa? Kenapa Nak Arkana enggak dibukakan pintu?” tegur Maya, berjalan mendekat dibantu ibu Fitri-sang asisten rumah tangga.“Ra ... sayang, buka donk!” Arkana berseru dari luar san
“Ciee ... ada yang mau nikah sama musuhnya, nih.” Tristan menggoda Arkana yang baru saja tiba.“Enggak nyangka ya, benci jadi cinta ...,” ledek Bima menimpali.“Makanya jangan terlalu benci nanti cinta deh.” Choky ikut-ikutan bersuara sementara Andrea dan Nadia hanya tersenyum menanggapi ketiga sahabat prianya menggoda Arkana.Tidak perlu bertanya dari mana mereka mengetahui rencana pernikahan Arkana dengan Zara karena sudah pasti Nadia lah biang keroknya.Beberapa waktu lalu Arkana dan Nadia bertemu di mall ketika membeli cincin kawin bersama Zara dan Aura.Dengan santainya Aura mengabarkan bila putranya akan menikah dengan Zara dan mengundang Nadia dalam pesta tersebut.Saat ini mereka semua sedang berkumpul atas arahan Tristan di Night Club milik Arkana. Arkana yang menentukan tempat karena ia nyaman selama berada di daerah kekuasaannya sendiri, bila harus mabuk ada Darius yang akan mengantarnya pulang dan banyak orang-orangnya yang melindungiPara sahabat semasa SMA Arkana tidak