Setelah makan malam itu, Marvin pamit ke luar negeri untuk beberapa hari. Katanya ada urusan mendadak. Sekarang sudah satu minggu berlalu tetapi Marvin belum ada kabar untuk pulang.
Ah, sialnya, Zelda terlalu bodoh. Dia baru tahu jika Pamannya ini–adik angkat dari ayahnya ini merupakan CEO pemilik perusahaan brand fashion terbesar di negara ini dan Asia. ZelMard'Fashion atau lebih akrab dengan sebutan ZelMard, itu nama perusahaan dan brandnya–sebuah merek yang selalu Zelda impikan bisa ia beli dan pakai.Pantas saja Zelda merasa tak asing dengan nama Marvin. Ternyata dia adalah …-Marvin Abelard, CEO perusahaan ZelMard yang katanya dingin dan anti pada wanita, alias tak tersentuh.Dan rumah ini--rumah yang sering Zelda serta kedua sahabatnya bahas setiap kali lewat dari sini. Sangking besar dan mewahnya. Lalu sekarang,, Zelda tinggal di sini. Dia masih tak percaya ini!Zelda beruntung apa bagaimana? Mendadak dia punya Paman yang merupakan seorang Miliarder. Zelda ingin kabur karena merasa minder dengan kekayaan Marvin, tetapi Zelda manusia tak tahu diri.'Kapan lagi aku jadi Nona-Nona orang kaya, Cuk, kalau aku kabur dari sini?' gumam Zelda, berjalan santai di bawah derasnya rintikan hujan.Dia baru pulang dari cafe dekat kampus, habis melakukan perkumpulan dengan anak satu organisasi. Mereka membahas mengenai kegiatan organisasi serta keberlangsungan organisasi ketika anak semester tujuh melaksanakan penelitian serta magang. Yah, Zelda sudah memasuki semester tujuh dan sebentar lagi akan melaksanakan tugas akhir dari kampus.Zelda sekarang lebih baik, walau kerap kali dia merasa hampa dan rindu mendalam pada kedua orang tuanya. Namun, perlahan Zelda menerima kenyataan dan mulai berdamai dengan hidupnya sendiri."Enak juga tinggal dengan Paman miliarder. Makan tinggal disiapkan, jajanan banyak, bioskop ada di rumah, pagi dibangunin Mbak-Mbak di sana, ke kampus diantar. Uang jajan mengalir deras. Dan paling penting, apapun yang aku minta selalu Paman Marvin berikan. Wah, besok-besok aku minta saham perusahaannya saja kali yah, siapa tahu dikasih," monolog Zelda, berjalan riang dibawah derasnya hujan. Dia sedang dalam mood yang baik, karena itu Zelda memilih berjalan kaki untuk pulang ke rumah. Tenang, dia jalan kaki dari depan gang rumahnya saja. Bukan dari cafe.Sampainya di rumah, para maid membelalak dan terlihat cemas. Namun, Zelda sama sekali tak peduli. Dia berjalan terus menuju ke kamarnya–kamar pertama kali Zelda datang kemari.Namun, ketika dia akan masuk, seorang maid mencegat tangan Zelda. "Tuan Marvin---"Zelda langsung memotong perkataan maid tersebut. "Marah? Cik, tenang saja kali, Mbak. Paman kan tidak di sini, caranya dia marah gimana?! Dan dia juga tak tahu kan kalau aku main hujan-hujanan?! Jadi aman.""Tapi …-""Udah, Mbak. Aku kedinginan, aku mau ganti baju," jawab Zelda riang, berjalan dengan melompat kecil menuju kamarnya.Sampainya di sana, Zelda buru-buru masuk ke kamar mandi–ingin mengambil handuk dan sekaligus mandi.Namun--Deg deg degSeorang pria tengah berendam di bath up, duduk dan spontan menegakkan punggungnya kala melihat Zelda masuk. Tatapan pria itu berbeda, seperti seekor harimau lapar melihat mangsa. Mendadak jua, napasnya memburu– seperti tak sabar untuk menerkam.Zelda beberapa detik mematung, syok bercampur gugup. Apa dia salah masuk kamar? Tidak mungkin! Di lantai ini hanya ada satu kamar dan ada gelang Zelda yang tertinggal jua di atas meja wastafel. Ta--tapi kenapa Marvin di--di sini?"Aku--aku salah masuk," gugup Zelda dengan gelagatan. Dia bergerak mundur saat Marvin tiba-tiba berdiri dari bath up–itu membuat tubuh Zelda menegang dan serasa membeku secar tiba-tiba. Marvin berjalan ke arah Zelda, keadaannya sepenuhnya naked. Zelda sangat takut, terlebih ketika Marvin tak mengatakan apapun dan terus menatap Zelda dengan tajam. Sadar jika pria itu seperti berbeda, Zelda bergegas keluar dari sana. Dia berhasil kabur dari kamar mandi dan tengah berniat untuk kabur dari kamar ini. Namun, ketika sudah dekat dengan pintu, tubuhnya ditarik oleh Marvin. Pria itu menyentaknya dan menariknya dengan enteng ke arah ranjang.Demi Tuhan, Zelda memberontak. Namun, tenaga pria ini seperti berkali-kali lipat darinya. Zelda tidak bisa melawan dan kabur.Bug'Marvin membanting Zelda ke ranjang. Kemudian dengan cepat menindih Zelda. Seperti orang kerasukan, dengan kasar Marvin melepaskan pakaian Zelda yang basah."Pa--Paman, a--aku Zelda. Aku Zelda …," jerit Zelda, berusaha menyadarkan Marvin yang terlihat seperti terpengaruh oleh sesuatu. "Paman, to--tolong … tolong! Aku--- aku keponakanmu, aku Zelda … tolong …."Zelda terus menjerit dan berteriak, terus memberontak ketika pria ini menodai tubuhnya. Tangan pria ini dengan kasar meremas miliknya dan mengigit kuat pundak Zelda juga–menandai gadis itu sebagai miliknya!"Argkkk …," jerit Zelda kesakitan, saat sesuatu di bawah sana menerobos masuk dengan paksa. "Sa--sakit, sakit … berhenti, Paman. Hiks … tolong berhenti!" Zelda terus meracau dan memberontak, segala usaha ia lakukan agar pria ini berhenti melakukan 'itu padanya.Meskipun tak ada harapan lagi, tetapi Zelda tak ingin pasrah. Dia tidak mau! Sayangnya, semakin Zelda memberontak dan menolak, maka Marvin semakin kasar dan brutal."Pa--Paman Marvin, aku Zelda! Hiks … sakit. Berhenti! Kumohon berhenti! Paman!" pekik Zelda, suaranya mulai meredup dan tangisannya semakin nyata. "Aku Zel …-"Ucapan Zelda berhenti, dengan kasar pria ini meraup bibirnya–melumatnya secara tak sabaran, tak peduli jika bibir Zelda terluka serta berdarah.'Aku ingin mati saja, Tuhan. Aku ingin mati! Pria ini bukan malaikat pelindungku, dia pria bejad! Hiks … Tuhan, tolong bantu aku! Aku ingin mati saja!'Dalam keadaan menangis, Zelda buru-buru keluar dari rumah tersebut. Tak ada yang tahu, karena dia keluar saat masih jam tiga dini hari. Ada banyak penjaga, tetapi Zelda tetap berhasil kabur.Dia lewat tembok belakang agar aman dari penjaga di depan gerbang. "Jika aku tahu kejadiannya akan begini, aku tak akan sudi tinggal dengannya?! Pura-pura baik ternyata dia punya niatan buruk padaku," monolog Zelda sembari menangis sesenggukan. Awalnya, dia merasa jika mimpi buruknya telah berakhir. Marvin sangat peduli dan baik padanya. Tetapi … Marvin tak lebih dari seorang pria bejad berkedok malaikat. Dia iblis yang nyata!"Aku yang salah. Hiks … harusnya aku tidak mudah percaya padanya. Dia itu orang asing, cuma adik angkat Ayah, dia dan aku bukan keluarganya. Hiks … hiks …." Zelda menangis sesenggukan, berhenti dan terdiam sebuah jembatan. Tak ada orang di sini, hanya Zelda. Matanya terus menatap ke bawah–memperhatikan arus air yang deras. Entah kenapa, Zelda merasa jika sungai di bawah
"Aku meminta maaf, Amore," ucap Marvin dengan nada serak dan rendah, setelah dia mengganti pakaian dan begitu juga dengan Zelda. "Aku bukan keponakan kandungmu, karena itu kan, kau melecehkanku?" cicit Zelda, menatap takut bercampur gugup pada Marvin. Semuanya membaik akhir-akhir ini, tetapi karena kejadian 'itu, semua kembali buruk dan kelam. Andai waktu bisa diputar. Sungguh! Zelda tak ingin ikut dengan Marvin. "Amore, tidak begitu." Marvin duduk di depan Zelda– di mana Zelda terduduk merenung di atas ranjang, memeluk lutut dengan air mata yang terus berjatuhan melintasi pipi. "Aku melakukan kesalahan padamu, dan aku meminta maaf," ucap Marvin dengan lembut dan tulus, mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata Zelda. "Aku tulus ingin menjagamu, kau satu-satunya keluargaku. Hanya kau dan aku, Amore," ucap Marvin lagi. Dalam hati dia mengumpat dan menggeram marah. Sialan! Itu disebabkan oleh wanita jalang tadi. Ketika dia pulang, Zelda tak ada di rumah. Dia terus menunggu na
Akibat paksaan dan rayuan iblis bernama Marvin Abelard, sekarang Zelda sah menjadi istri pria itu. Mereka menikah di rumah mewah ini, dilaksanakan secara tertutup– sengaja dirahasiakan karena perbedaan usia mereka yang lumayan jauh serta alasan tertentu lainnya. Zelda masih fokus pada pendidikannya, dan Marvin tak ingin pendidikan Zelda terganggu karena status mereka sebagai suami istri. Percayalah! Marvin punya banyak musuh, baik yang terang-terangan atau tersembunyi. Setidaknya tunggu sampai Zelda menyelesaikan pendidikannya lebih dulu, baru Marvin mempublish istrinya tersebut. "Baru pertama kalinya aku memakai gaun, dan … ini gaun pernikahanku," gumam Zelda pelan, berdiri di depan cermin sembari menatap pantulan dirinya yang tengah mengenakan gaun tersebut. Gaun ini lengan panjang dan bagian dada tertutup, sangat sopan namun tidak mengurangi kecantikannya sama sekali. "Gaun yang bagus," gumamnya lagi sembari mengangguk-anggukkan kepala. Zelda kuliah di salah satu universitas swa
"Kok bisa yah kita ke sana?" tanya Zelda, menggaruk kepala karena tak paham kenapa dia bisa melaksanakan Praktek Kerja Profesi di perusahaan itu. Setelah pernikahannya dengan Marvin, Zelda memilih libur kuliah selama tiga hari– dia memanfaatkan itu untuk healing dan ziarah kubur ke makam orang tuanya. Sedangkan Marvin, setelah malam pengantin mereka, pria itu pamit pergi ke luar kota. Ada urusan mendadak dan kepentingan. Zelda tidak masalah dan tak kepo juga pada apa urusan serta kepentingan suaminya tersebut. Shit! Sampai sekarang dia masih belum bisa menerima pernikahannya dengan Marvin. Di matanya Marvin tetaplah seorang paman. Dia tahu jika pria itu sudah menyentuhnya– pertanda jika hubungan mereka sudah layaknya seperti suami istri pada umumnya. Namun, tetap saja Zelda sulit menerimanya. Seperti …- guru. Meskipun sudah lulus dari sekolah tersebut, jika bertemu dengan sang guru, tetap saja bukan, di mata kita dia adalah seorang guru yang notabe-nya harus kita hormati. Nah, begi
"Jadi Paman yang menukar tempat Praktek Kerjaku?"Marvin dengan santai menganggukkan kepala, dia tersenyum namun itu malah mengerikan di mata Zelda–membuat Zelda meneguk saliva secara kasar dan paksa, gugup bercampur merinding menatap senyuman mengerikan suaminya. Ah, maksud Zelda pamannya. Ditambah tatapan Marvin yang selalu tajam, itu semakin membuat Zelda khawatir dan takut. 'Bagian matanya yang hitam sangat misterius. Aku seperti menyelami samudera ketika melihatnya.'"U--untuk apa Paman melakukannya?" tanya Zelda, masih menoleh gugup dan canggung ke arah Marvin. Pria ini tak sedikitpun membiarkan Zelda pindah, padahal sejujurnya Zelda risih duduk di atas pangkuan Marvin. "Mengawasi istriku." Marvin berkata dingin, menyenderkan dagu di atas pundak Zelda–secara santai dan tanpa beban sedikitpun, tak tahu saja jika Zelda risih dengannya. Dia tahu sebenarnya, tetapi Marvin memilih untuk tak peduli. Zelda sudah menjadi miliknya seutuhnya, dan sudah sepantasnya tubuh Zelda terbiasa d
Dengan ragu, dia membuka mulut dan menerima suapan dari pamannya. Ketika makanan itu sudah masuk dalam mulutnya, Zelda spontan menutup mulut dengan tangan–dia takut mual dan memuntahkannya. Namun ….Zelda seketika terdiam, fokus mengunyah makanan dalam mulut sembari memikirkan sesuatu. 'Kenapa tidak rasa rumput yah? Ini …- enak.' batin Zelda. "Kenapa?" Zelda yang masih bingung sontak menoleh ke arah pamannya, di mana dia dengan suka rela membuka mulut dan menerima suapan kedua dari Marvin. "Ini … sayur apa, Paman?" tanya Zelda sembari menatap sayur di mangkuk. Warnanya hijau dan mirip dengan rumput daun lebar. "Mirip dengan Amaranthus spinosus," celutuk Zelda sembari mengamati sayur dalam mangkuk cantik dan antik tersebut. "Humm. Amaranthus tetapi bukan kelas spinosus," jelas Marvin, menatap lamat pada sang istri–di mana kedua pipi Zelda terlihat tembem karena diisi oleh makana dalam mulut. Oh, shit! Di mata Marvin, ini sangat menggemaskan. Terlebih mata Zelda bulat, bulu matanya
Sekitar tengah sembilan malam, Zelda pulang ke rumah sang Paman. Tentunya setelah dia menghabiskan waktu bersama teman-temannya, nongkrong untuk menghilangkan stress ala mahasiswa angkatan akhir. Sejujurnya, Zelda merasa sedikit takut karena ini sudah malam dan dia baru pulang. Dia takut berhadapan dengan Marvin, di mana pamannya tersebut akan memarahinya habis-habisan. Namun, rasa ke khawatiran Zelda tersebut seketika lenyap saat tak melihat mobil yang biasa Marvin pakai terparkir di tempatnya. Karena mungkin Marvin sering mengenakan mobil hitam mewah tersebut, dia punya parkiran khusus yang bisa dipantau dari luar–seperti yang Zelda lakukan sekarang. Dan … mobil sang Paman belum ada di sana. Artinya, pamannya belum pulang. "Yes yes yes …!" Zelda memekik senang, menaikkan tangan yang dikepal lalu menarik tangan dengan semangat sembari melangkah riang masuk dalam rumah mewah tersebut. "Atau jangan-jangan Paman ke luar kota lagi," monolog Zelda sembari berjalan riang, menaiki tangg
Namun sebelum dia beranjak sedikitpun, tangan Marvin lebih dulu mengalung di pinggang Zelda; melingkar di sana dengan erat dan sangat posesif. "Pa--Paman …-" Cup'Belum selesai Zelda melanjutkan perkataannya, bibir pria itu lebih dulu menempel di atas bibirnya. Zelda membelalak kaget, beberapa detik tak bisa menguasai diri dengan hanya terdiam dan mematung. Jantungnya berdebar kencang, rasanya akan pecah di dalam sana. Bibir Marvin perlahan bergerak, menyapu dan melumat bibir lembut dan manis Zelda. Awalnya hanya lumatan dengan ritme pelan dan penuh penghayatan, namun beberapa detik setelah itu lumatan Marvin berubah kasar, menuntut dan juga rakus. Jantung Zelda semakin kacau dalam sana, wajahnya memucat dan matanya membulat sempurna. Dia tahu dia pernah melakukan ini, bahkan lebih dengan Marvin. Namun, tetap saja Zelda tidak bisa menguasai diri–dia tetap terkejut dan risih dengan semua ini. "Eungmmm," racau Zelda, memejamkan mata sembari mendorong kuat dada bidang sang paman. Bu