Zelda terbangun dan tiba-tiba dia sudah berada dalam kamar mewah dengan ranjang campuran gold dan hitam. Aroma pekat yang maskulin dan segar menguar dalam kamar tersebut, membuat Zelda sedikit takut dan bertanya-tanya ini kamar siapa. Ditambah Marvin tak ada di sana, Zelda semakin waspada.
Zelda buru-buru bangkit dari ranjang tersebut, keluar dari kamar luas itu untuk mencari-cari Marvin."Ya Tuhan!!" pekik Zelda pelan, syok dan kagum ketika keluar dari kamar dan menemukan ruang luas– semua perabotan tertata rapi dan terkesan klasik tetapi modern. Tak ada ruangan satupun di sana, hanya ada kamar tempat Zelda tidur tadi dan sebuah pintu unik yang Zelda tebak adalah lift.Ada tangga jua di sana, dan Zelda memilih menggunakan tangga untuk turun ke bawah–mencari-cari di mana Marvin berada. Sejujurnya Zelda takut dan khawatir jika dia telah dijual oleh pria itu.Entahlah! Rumah ini sangat mewah, dan siapa tahu ini rumah om-om yang telah membelinya. Atau ini sebuah kasino?'Tapi Paman juga om-om. Cik, aku harus mencari Paman intinya.' batin Zelda, berjalan dengan air muka muram bercampur sedikit takut. Ada banyak penjaga di rumah ini–setidaknya di setiap pintu dan pembatas ruang. 'Badan mereka kekar dan sehat semua, wajahnya galak semua. Hais.' batin Zelda, memperhatikan dua bodyguard yang menjaga di pangkal tangga."Permisi, Pa …-" Belum sempat Zelda bertanya pada pria berseragam serba hitam tersebut, tiba-tiba saja seseorang mengagetkan Zelda dari belakang tubuhnya– membuat Zelda tergelonjak kaget dan reflek menabrak dada bidang seseorang tersebut."Kau sedang apa, Amore?" Suara bariton yang berat dan seksi berhasil mengagetkan Zelda."Hah?" kagetnya, spontan mundur dan menabrak dada bidang orang tersebut. "Maaf, Paman," cicit Zelda pelan sembari menjauh dari Marvin. Zelda canggung dan kikuk pada Marvin, terlebih tatapan pria ini selalu menghunus tajam ke arahnya. Dan-- Marvin masih orang asing bukan?"Kau sedang apa?" tanya Marvin, mengulangi kalimatnya–menatap keponakannya tersebut dengan tatapan yang menghunus tajam."Aku--aku mencari Paman," jawab Zelda, berusaha untuk tidak gugup walau kenyataannya suaranya tetap terdengar gugup. 'Hais, kenapa aku gugup begini? Perasaan aku tak pernah se gugup ini saat berhadapan dengan orang. Apa jangan-jangan dia ini siluman ampibi?'"Kau merindukanku, Amore?" Marvin tersenyum tipis, mengacak surai di pucuk kepala Zelda dengan pelan, dan sebelum perempuan ini sempat protes Marvin langsung menarik Zelda dari sana.Dia menbawa Zelda ke ruang makan, sejak dia menbawa Zelda ke rumah ini Zelda belum makan. Tentu saja! Zelda tertidur sudah delapan jam. Shit! Anak ini ternyata tidurnya lama. Atau-- mungkin faktor kehilangan.Yah, orang tua Zelda baru meninggal seminggu yang lalu. Dari pengawasannya secara diam-diam, anak ini tak pernah tidur. Pernah! Tetapi baru beberapa menit langsung terbangun, waspada pada Om dan tantenya.Ketika Zack dan Indah meninggal (orang tua Zelda), Marvin masih berada di luar negeri. Karena itu dia tidak ada saat Zelda membutuhkan topangan."Tidak, Paman." Zelda menggelengkan kepala, duduk di sebuah kursi meja makan setelah dipersilahkan oleh Marvin. 'Wajahnya lempeng, auranya dark, dan berbicara seperti di musim salju alias dingin. Tapi dia sedikit manis. Apa ini yang dikatakan tsundere? Tapi Tsundere tidak punya panggilan manis. Mungkin Paman Marvin memang spesies ampibi. Dua alam.'"Jadi kenapa kau mencariku?" Marvin duduk di kursi ujung meja, masih bersebelahan dengan Zelda. Sebelum dia pergi, mungkin dia bisa menemani anak kecil ini untuk makan.Anak kecil? Tidak, Zelda sudah berusia dua puluh satu tahun. Zelda bukan lagi anak kecil. Namun, mungkin karena sangat merindukan sosok ini, bagi Marvin Zelda tetaplah bayi mungil kecil kesayangannya.Ah, mulai sekarang Zelda adalah kesayangannya. Baby girl-nya sudah kembali, Marvin sudah menemukannya serta memilikinya lagi."Umm … ini rumah Paman?" tanya Zelda hati-hati dan pelan. Takut pertanyaannya tersebut menyinggung Marvin."Humm.""O--oh." Zelda beroh dia, masih gugup pada pria ini. Mungkin karena masih kaget jika dia punya paman. Terlebih …-Tampan! Zelda baru menyadarinya. Marvin sangat tampan, berkarisma dan mempesona. Pamannya ini punya alis tebal, mata yang selalu menghunus tajam, hidung mancung, bibir pas dan seksi, rahang kokoh dan pipi tirus. Ah, tidak ada cela sama sekali. Dia tampan dan sempurna, mungkin cacat di ekspresi saja. Bagi Zelda wajahnya lempeng, dan ditambah sorot matanya yang tajam, pamannya ini terlihat seperti pria dingin yang baru terbangun dari peti mayat."Paman, aku sangat berterimakasih karena Paman datang diwaktu yang tepat. Saat mereka mengusirku dan aku tidak tahu harus kemana, paman datang dan membawa ku kemari.""It's okay, Mi Amore," singkat Marvin.Harusnya itu kalimat manis, tetapi entah kenapa kesannya malah horor bagi Zelda. Hais, jika bukan adik dari ayahnya, Zelda akan protes karena terus-terusan dipanggil Amore oleh pria ini. Namun, dia juga tidak berani protes–wajah Marvin memang tampan tetapi terkesan galak dan dingin. Zelda masih segan dengan pria ini."Tetapi … tenang saja, Paman. Aku tidak akan menyusahkanmu dan keluargamu. Maksudku, mungkin Paman menerimaku secara tulus karena aku anak dari Kakak Paman Marvin. Tapi, tidak menutup kemungkinan kan istri dan anak Paman tidak suka aku di sini. Jadi … secepatnya aku akan pergi dari sini. Aku sebenarnya tidak tinggal dengan Mama dan Ayah, aku kuliah dan mereka membeliku rumah yang dekat dengan kampus karena universitas-ku jauh dari rumah. Aku bisa tinggal di sana, Paman.""Sudah?" Marvin menaikkan sebelah alis. "Makanlah," lanjutnya ketika para maid menyajikan makan malam untuk Zelda."Maksud Paman?" tanya Zelda dengan nada pelan, menatap Marvin aneh. Apanya yang sudah?"Kau tidak akan kemana-mana. Ini rumahmu dan kau satu-satunya keluargaku," ucap Marvin. "Mengerti?" lanjutnya.Zelda mengerjab-erjab. "Aku keluarga Paman satu-satunya? Loh, istri dan anak Paman kemana?""Di depanku."Zelda spontan menoleh ke arah tatapan Marvin, dia menoleh ke belakangnya dan sebelahnya. "Di mana?""Aku bercanda.""Oh." Zalda memangut-mangut. 'Nadanya cuek sekali. Apa dia kesal yah aku menanyakan pasal istri? Astaga, jangan-jangan Paman masih single! Kasihannya!!'Setelah makan malam itu, Marvin pamit ke luar negeri untuk beberapa hari. Katanya ada urusan mendadak. Sekarang sudah satu minggu berlalu tetapi Marvin belum ada kabar untuk pulang.Ah, sialnya, Zelda terlalu bodoh. Dia baru tahu jika Pamannya ini–adik angkat dari ayahnya ini merupakan CEO pemilik perusahaan brand fashion terbesar di negara ini dan Asia. ZelMard'Fashion atau lebih akrab dengan sebutan ZelMard, itu nama perusahaan dan brandnya–sebuah merek yang selalu Zelda impikan bisa ia beli dan pakai. Pantas saja Zelda merasa tak asing dengan nama Marvin. Ternyata dia adalah …-Marvin Abelard, CEO perusahaan ZelMard yang katanya dingin dan anti pada wanita, alias tak tersentuh. Dan rumah ini--rumah yang sering Zelda serta kedua sahabatnya bahas setiap kali lewat dari sini. Sangking besar dan mewahnya. Lalu sekarang,, Zelda tinggal di sini. Dia masih tak percaya ini! Zelda beruntung apa bagaimana? Mendadak dia punya Paman yang merupakan seorang Miliarder. Zelda ingin kabur karena
Dalam keadaan menangis, Zelda buru-buru keluar dari rumah tersebut. Tak ada yang tahu, karena dia keluar saat masih jam tiga dini hari. Ada banyak penjaga, tetapi Zelda tetap berhasil kabur.Dia lewat tembok belakang agar aman dari penjaga di depan gerbang. "Jika aku tahu kejadiannya akan begini, aku tak akan sudi tinggal dengannya?! Pura-pura baik ternyata dia punya niatan buruk padaku," monolog Zelda sembari menangis sesenggukan. Awalnya, dia merasa jika mimpi buruknya telah berakhir. Marvin sangat peduli dan baik padanya. Tetapi … Marvin tak lebih dari seorang pria bejad berkedok malaikat. Dia iblis yang nyata!"Aku yang salah. Hiks … harusnya aku tidak mudah percaya padanya. Dia itu orang asing, cuma adik angkat Ayah, dia dan aku bukan keluarganya. Hiks … hiks …." Zelda menangis sesenggukan, berhenti dan terdiam sebuah jembatan. Tak ada orang di sini, hanya Zelda. Matanya terus menatap ke bawah–memperhatikan arus air yang deras. Entah kenapa, Zelda merasa jika sungai di bawah
"Aku meminta maaf, Amore," ucap Marvin dengan nada serak dan rendah, setelah dia mengganti pakaian dan begitu juga dengan Zelda. "Aku bukan keponakan kandungmu, karena itu kan, kau melecehkanku?" cicit Zelda, menatap takut bercampur gugup pada Marvin. Semuanya membaik akhir-akhir ini, tetapi karena kejadian 'itu, semua kembali buruk dan kelam. Andai waktu bisa diputar. Sungguh! Zelda tak ingin ikut dengan Marvin. "Amore, tidak begitu." Marvin duduk di depan Zelda– di mana Zelda terduduk merenung di atas ranjang, memeluk lutut dengan air mata yang terus berjatuhan melintasi pipi. "Aku melakukan kesalahan padamu, dan aku meminta maaf," ucap Marvin dengan lembut dan tulus, mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata Zelda. "Aku tulus ingin menjagamu, kau satu-satunya keluargaku. Hanya kau dan aku, Amore," ucap Marvin lagi. Dalam hati dia mengumpat dan menggeram marah. Sialan! Itu disebabkan oleh wanita jalang tadi. Ketika dia pulang, Zelda tak ada di rumah. Dia terus menunggu na
Akibat paksaan dan rayuan iblis bernama Marvin Abelard, sekarang Zelda sah menjadi istri pria itu. Mereka menikah di rumah mewah ini, dilaksanakan secara tertutup– sengaja dirahasiakan karena perbedaan usia mereka yang lumayan jauh serta alasan tertentu lainnya. Zelda masih fokus pada pendidikannya, dan Marvin tak ingin pendidikan Zelda terganggu karena status mereka sebagai suami istri. Percayalah! Marvin punya banyak musuh, baik yang terang-terangan atau tersembunyi. Setidaknya tunggu sampai Zelda menyelesaikan pendidikannya lebih dulu, baru Marvin mempublish istrinya tersebut. "Baru pertama kalinya aku memakai gaun, dan … ini gaun pernikahanku," gumam Zelda pelan, berdiri di depan cermin sembari menatap pantulan dirinya yang tengah mengenakan gaun tersebut. Gaun ini lengan panjang dan bagian dada tertutup, sangat sopan namun tidak mengurangi kecantikannya sama sekali. "Gaun yang bagus," gumamnya lagi sembari mengangguk-anggukkan kepala. Zelda kuliah di salah satu universitas swa
"Kok bisa yah kita ke sana?" tanya Zelda, menggaruk kepala karena tak paham kenapa dia bisa melaksanakan Praktek Kerja Profesi di perusahaan itu. Setelah pernikahannya dengan Marvin, Zelda memilih libur kuliah selama tiga hari– dia memanfaatkan itu untuk healing dan ziarah kubur ke makam orang tuanya. Sedangkan Marvin, setelah malam pengantin mereka, pria itu pamit pergi ke luar kota. Ada urusan mendadak dan kepentingan. Zelda tidak masalah dan tak kepo juga pada apa urusan serta kepentingan suaminya tersebut. Shit! Sampai sekarang dia masih belum bisa menerima pernikahannya dengan Marvin. Di matanya Marvin tetaplah seorang paman. Dia tahu jika pria itu sudah menyentuhnya– pertanda jika hubungan mereka sudah layaknya seperti suami istri pada umumnya. Namun, tetap saja Zelda sulit menerimanya. Seperti …- guru. Meskipun sudah lulus dari sekolah tersebut, jika bertemu dengan sang guru, tetap saja bukan, di mata kita dia adalah seorang guru yang notabe-nya harus kita hormati. Nah, begi
"Jadi Paman yang menukar tempat Praktek Kerjaku?"Marvin dengan santai menganggukkan kepala, dia tersenyum namun itu malah mengerikan di mata Zelda–membuat Zelda meneguk saliva secara kasar dan paksa, gugup bercampur merinding menatap senyuman mengerikan suaminya. Ah, maksud Zelda pamannya. Ditambah tatapan Marvin yang selalu tajam, itu semakin membuat Zelda khawatir dan takut. 'Bagian matanya yang hitam sangat misterius. Aku seperti menyelami samudera ketika melihatnya.'"U--untuk apa Paman melakukannya?" tanya Zelda, masih menoleh gugup dan canggung ke arah Marvin. Pria ini tak sedikitpun membiarkan Zelda pindah, padahal sejujurnya Zelda risih duduk di atas pangkuan Marvin. "Mengawasi istriku." Marvin berkata dingin, menyenderkan dagu di atas pundak Zelda–secara santai dan tanpa beban sedikitpun, tak tahu saja jika Zelda risih dengannya. Dia tahu sebenarnya, tetapi Marvin memilih untuk tak peduli. Zelda sudah menjadi miliknya seutuhnya, dan sudah sepantasnya tubuh Zelda terbiasa d
Dengan ragu, dia membuka mulut dan menerima suapan dari pamannya. Ketika makanan itu sudah masuk dalam mulutnya, Zelda spontan menutup mulut dengan tangan–dia takut mual dan memuntahkannya. Namun ….Zelda seketika terdiam, fokus mengunyah makanan dalam mulut sembari memikirkan sesuatu. 'Kenapa tidak rasa rumput yah? Ini …- enak.' batin Zelda. "Kenapa?" Zelda yang masih bingung sontak menoleh ke arah pamannya, di mana dia dengan suka rela membuka mulut dan menerima suapan kedua dari Marvin. "Ini … sayur apa, Paman?" tanya Zelda sembari menatap sayur di mangkuk. Warnanya hijau dan mirip dengan rumput daun lebar. "Mirip dengan Amaranthus spinosus," celutuk Zelda sembari mengamati sayur dalam mangkuk cantik dan antik tersebut. "Humm. Amaranthus tetapi bukan kelas spinosus," jelas Marvin, menatap lamat pada sang istri–di mana kedua pipi Zelda terlihat tembem karena diisi oleh makana dalam mulut. Oh, shit! Di mata Marvin, ini sangat menggemaskan. Terlebih mata Zelda bulat, bulu matanya
Sekitar tengah sembilan malam, Zelda pulang ke rumah sang Paman. Tentunya setelah dia menghabiskan waktu bersama teman-temannya, nongkrong untuk menghilangkan stress ala mahasiswa angkatan akhir. Sejujurnya, Zelda merasa sedikit takut karena ini sudah malam dan dia baru pulang. Dia takut berhadapan dengan Marvin, di mana pamannya tersebut akan memarahinya habis-habisan. Namun, rasa ke khawatiran Zelda tersebut seketika lenyap saat tak melihat mobil yang biasa Marvin pakai terparkir di tempatnya. Karena mungkin Marvin sering mengenakan mobil hitam mewah tersebut, dia punya parkiran khusus yang bisa dipantau dari luar–seperti yang Zelda lakukan sekarang. Dan … mobil sang Paman belum ada di sana. Artinya, pamannya belum pulang. "Yes yes yes …!" Zelda memekik senang, menaikkan tangan yang dikepal lalu menarik tangan dengan semangat sembari melangkah riang masuk dalam rumah mewah tersebut. "Atau jangan-jangan Paman ke luar kota lagi," monolog Zelda sembari berjalan riang, menaiki tangg