Share

Chapter 5

Benar apa kata Ree, baru saja menginjakkan kaki ke rumahnya, bukan sambutan hangat yang didapat Nessa, melainkan usiran. Sakit, padahal satu-satunya keluarga yang dipunya Nessa adalah ibu tirinya. 

"Kenapa pulang lagi? Tugasku sudah selesai, kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Dengan menjual tubuhmu, aku tidak repot-repot bekerja berat sekarang."

Tetes air mata mengalir tanpa permisi di pipi Nessa, kejam. Padahal semasa ayahnya masih hidup, tak pernah sekali pun ibu tirinya membencinya, tapi sekarang lihatlah? Wanita itu hanya menganggap Nessa sebagai mesin uang berjalan yang digunakan untuk membiayai hidup Rianti. 

"Anda sungguh manusia?" hardik Ree. 

Meskipun dia bukan pria suci, setidaknya sampai hari ini Ree masih punya harga diri. Tentunya dia cukup punya hati melindungi Nessa dari benalu seperti ibunya. 

"Toh sekarang dia hidup dengan anda kan, Tuan? Sekarang nikmati saja tubuhnya sepuas-puasnya. Dan silakan, keluar dari rumah saya sekarang."

Seandainya memukul wanita bukan kesalahan, sudah pasti Ree tak pikir panjang untuk melakukannya. Sayangnya, otaknya masih cukup cerdas untuk memilih pergi dan meninggalkan rumah Rianti, wanita yang tak punya hati sudah memperdagangkan anak tirinya secara lelang. 

Nessa masih tidak habis pikir, kurang baik apa coba? Padahal semasa hidupnya, dulu Nessa sering membantu perekonomian, tak pernah menyusahkan ibu tirinya. 

Pelan-pelan, Ree merengkuh tubuh Nessa, membiarkan wanita itu mengeluarkan rasa sesak di dada. "Kita pulang saja."

Nessa mengangguk. Dia sudah tidak bisa percaya dengan siapa pun. Keluarga, teman, kenalan, semuanya seakan memandangnya wanita hina. Wanita yang rela hidup bahagia dengan menjual diri. 

Sakit, Nessa merasa hidup makin tak adil. 

Fokus menyetir, Ree sesekali menatap Nessa yang hanya membuang muka ke arah jendela. "Sepertinya kalian tidak dekat, tapi kamu menyayangi ibu kamu."

"Dia pernah jadi orang yang merawat ayah. Dan aku berterima kasih akan hal itu."

"Ayahmu pasti bangga karena kamu tumbuh sebaik ini, Nessa."

Entahlah, apakah Nessa akan bangga dengan dirinya sekarang? Numpang di hidup orang, kehormatannya terenggut, seakan tujuan hidup makin redup. 

Baginya, Nessa pernah punya mimpi sederhana. Hanya mewujudkan cita-cita almarhumah ibu kandungnya tentang mendirikan toko kue. 

Sesampainya di rumah mewah Ree, pria itu pamit untuk ke kantor karena ada rapat yang tidak bisa ditunda. "Are you okay? Aku harus pergi."

"Pergilah."

"Aneh, haha. Baru kali ini ada yang mengusirku dari rumah sendiri."

Nessa tersenyum kecut, membuat Ree cukup lega. Setidaknya pria itu tahu, Nessa akan baik-baik saja meskipun saat ini terluka. 

Melihat pria itu kembali memutar mobil dan pergi, barulah Nessa masuk ke rumah mewah milik Ree. Tak ada yang dilakukan di sini. Meskipun Ree kaya, rasanya tak mungkin Nessa menggantungkan hidupnya pada pria yang memang bukan siapa-siapa baginya. 

"Non, tadi dari mana?"

"Ah, baru keluar sebentar. Tapi sepertinya tuan Ree pergi lagi, Bi."

"Dia memang sesibuk itu, Non. Tapi menurut bibi, semenjak ada kamu, Tuan jadi betah di rumah. Bibi jadi yakin kalau Non Nessa ini calon istrinya Tuan."

Nessa tersenyum lagi, hanya menanggapi guyonan bibi dengan kedipan mata tulus. Tak tahu pasti karena perubahan hati siapa yang tahu? 

Hati Nessa memang sudah lama move on dari pria yang mungkin saja sudah bahagia dengan pasangannya. Dulu sekali, saat ayahnya masih hidup, Nessa pernah menjalin hubungan dengan pria yang bekerja sebagai reporter majalah, Gilang. 

Pria itu menjanjikan akan menikahinya. Tapi, begitu hidup Nessa berubah melarat, Gilang pun berubah seakan tak punya perasaan apa-apa terhadapnya. Memang benar kata pepatah, harta dan cinta kadang membuat pemiliknya tak bisa memilih di antara keduanya. 

"Non kenapa melamun?"

"Enggak, Bi. Oh ya, tuan Ree suka makanan apa ya? Aku mau membuatkan sesuatu buat dia. Biasanya dia pulang jam berapa?"

"Belum tahu pasti sih, biasanya malahan gak pulang. Kalau makanan kesukaan apa ya? Rica-rica ayam sama mangut lele, Non. Gak terlalu pedes. Tapi Non Nessa beneran mau masak buat tuan? Kan bibi juga bisa."

"Bibi libur dulu, lagian kan udah lama aku gak jelajah dapur. Kangen, Bi."

Baiklah, bibi mengalah. Ada senyum puas di wajahnya. Karena tak tahu kehidupan pribadi majikannya, kadang dia ingin Ree menikah dan berkeluarga.

Baginya, Nessa sangat mumpuni menjadi kandidat calon istri Ree Ananta. 

***

Usai rapat berakhir, Ree lega. Ia bisa beristirahat sebentar di ruangannya, sepulang dari kantor nanti, mungkin ada baiknya Ree membelikan ponsel untuk Nessa. Wanita itu sama sekali tak penasaran dengan aktivitas Ree, entahlah. Apa yang di rasakan Ree sekarang? 

Semenjak adanya Nessa, pikirannya jadi kalut. Entah rasa kasihan, atau simpati. Nyatanya, Ree jadi ingin tahu apa saja yang sedang dilakukan oleh wanita itu di rumahnya. 

Brraak! 

"Non, saya sudah bilang. Pak Ree sedang tidak bisa diganggu."

Tiba-tiba saja, pintu ruang kerjanya terbuka. Ada Grace dan wanita yang pernah tidur dengannya satu malam. Lagi dan lagi, wanita itu seakan meminta waktu Ree supaya membagi dan menanggapinya. 

"Maaf, Pak. Saya sudah berusaha kerasa agar nona ini tidak masuk."

"Tidak apa-apa, Grace. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu."

Grace menutup pintu, sekali lagi menatap wanita yang memakai dress seperti kekurangan bahan. Dada diumbar, paha dipamerkan. Jaman sekarang kok makin meresahkan ya? 

"Apa kamu juga tidur dengan sekretarismu tadi, Ree? Dia lumayan, saksi dan sepertinya tipemu. Tapi tidak ada apa-apa yang dibanding aku."

Namanya Bianca, wanita malam yang sedang pensiun dadakan. Incarannya saat ini adalah Ree, pria kaya yang belum menikah. Bahkan, seandainya Ree sudah beristri sekali pun, Bianca akan terus menempelinya seperti lintah darat. 

"Apa maumu kali ini?"

"Kamu. Aku mau kamu, Ree. Seperti malam itu, kita saling menginginkan bukan?"

Tanpa malu-malu, Bianca mengelus bahu Ree, jujur, biasanya Ree akan terangsang. Bianca bukan jalang sembarang jalang, butuh diskusi panjang agar bisa seranjang dengan Bianca. 

Dulu saja, Ree harus menunggu hingga Bianca menyanggupinya untuk menjadi bedfriend. Tapi sekarang, Ree tidak minat membalas sentuhan-sentuhan Bianca. Bahkan terkesan jijik. Ree yang dulu bukanlah Ree yang sekarang. 

Tidak mendapat respon, harga diri Bianca terluka. "Ada apa denganmu?"

"Kamu membuatku muak. Keluarlah."

"Apa? Kamu bercanda?"

"Haruskah kupanggil satpam?"

Bianca mencebik, menyambar tasnya dan lari secepat mungkin dari hadapan Ree. Tatapan kecewa jelas terpatri di wajahnya. 

Ya, Ree berubah dan hanya memikirkan seseorang saja, Nessa. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ivan Noviardi
ya lanjut Thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status