Share

Chapter 6

Baru kali ini kedatangannya tak dihiraukan. Bianca murka dan langsung angkat kaki, tak biasanya Ree semarah ini. Meskipun menolak, pria itu tak pernah bersikap kasar. Apalagi media bilang, Ree makin sibuk dengan segala usahanya. Bukan seperti Ree yang ia kenal, sejak menjadi teman partnernya di ranjang, Bianca tahu bagaimana kelemahan pria itu makanya ia bisa membuat Ree menggilainya. Nyatanya sekarang kegilaan Ree menyurut. Jangankan menyentuh Bianca, melihat wanita di hadapannya saja membuatnya bosan.

“Lebih baik anda keluar dari ruangan ini, Nona. Daripada Tuan makin menjadi-jadi.”

Menyebalkan! Bianca berjalan dan menjauh dari ruangan Ree, lihat saja nanti, ia akan bisa menaklukkan pria itu lagi. Mungkin sekarang mood Ree sedang memburuk.

Grace menunduk, memberikan ruang privasi bagi tuannya. Meskipun tahu wanita mana saja yang sering ke sini dan memuaskan nafsu atasannya, Grace sama sekali tak pernah ikut campur. Ia tahu Ree adalah pria yang kesepian. Meskipun memiliki segalanya, tahta, rupa, jabatan, tapi tetap saja, Ree yang ia kenal belum pernah tersenyum karena bahagia.

Semuanya palsu. Bahkan, Grace yakin kalau pria itu tidak memiliki siklus tidur yang baik.

“Pak Viktor mengabari kalau perjalanan bisnis anda akan diundur minggu depan, Tuan.”

“Oh ya?”

Sejauh ini, Ree sangat menghargai kinerja Grace. Wanita yang bisa saja ia goda, tapi Ree tahu, Grace banyak membantunya dan tak pantas dilukai. Justru, berkat Grace, Ree bisa meminimalisir emosinya.

Kepergian seorang wanita bernama Jasmine membuatnya kalang kabut. Dunianya membeku pun dengan perasaannya. Banyaknya wanita yang ia tiduri hanyalah sampah dan tidak berguna. Begitulah Ree memandang semua wanita yang mendatanginya dengan tawaran berakhir di ranjang.

Grace menampilkan layar tab-nya, menunjukkan pesan dari Viktor, kenalan baik sekaligus raja bisnis. “Haruskah saya membalasnya?”

“Katakan saja aku bersedia, Grace. Untuk rapat besok, diundur sekitar jam makan siang. Aku mau pulang dulu.”

“Siap, Tuan. Akan saya kabari semua pegawai yang akan menghadiri rapat besok. Selamat jalan.”

Grace membukakan pintu untuk tuannya dan mengabari satpam untuk menyambut Ree. Ia memang memiliki jabatan yang tinggi, tapi sampai sekarang, Ree hanya tahu bekerja dan bercinta saja. Meskipun ia tak benar-benar bisa mencintai lagi. Nama Jasmine seakan terpatri, sedangkan wanita itu tak berkabar juga. Pernah mencari, tentu saja, tapi Jasmine begitu marah dan berulang kali melayangkan kata cerai.

“Kita pulang ke rumah, Pak.”

“Baik, Tuan.”

Ree memijat keningnya, memejamkan mata sejenak. Ia bahkan lupa kalau ada seseorang yang tinggal di rumahnya. Meskipun mereka baru mengenal, tapi Ree punya insting yang baik soal Nessa.

Ya, wanita itulah yang membuatnya merasakan debaran setelah sekian lama. Meskipun hanya kesenangan sesaat, tapi Ree tahu kalau semua itu karena Nessa. Wajah polos Nessa membuatnya tak tega, apalagi ia tahu kalau ibu tiri Nessa punya pikiran hina yang menjual tubuh anaknya.

Daripada Nessa diburu dan dijadikan tumbal, bukankah lebih baik Nessa hidup bersamanya? Mungkin nanti ia bisa memberinya pekerjaan. Ya, bisa saja bukan?

Sampai di rumah, Ree merebahkan lagi tubuhnya di sofa panjang. Ia memanggil bibi Rosa, tapi tidak ada sahutan. Aneh, ini bahkan bukan jam tidur pembantunya, tapi ke mana wanita tua itu?

“Ehem. Sudah pulang rupanya. Aku dapat pesan dari Bibi Rosa, dadakan sih. Tadi beliau pamit pulang sebentar karena anaknya sakit, jadi beliau tidak ada di sini.”

“Siapa yang mengantarnya?”

Nessa berjalan di depan Ree dan duduk, bersikap seperti biasa. Karena mulai sekarang, satu-satunya orang yang bisa ia percayai adalah Ree Ananta.

“Pak supir, sudah sampai juga kok, barusan aku dapat kabar.”

Ree mengangguk dan menyambar jasnya. Ia kaget saat Nessa menyentuhnya, sebenarnya menyentuh jasnya. Menawarkan untuk dicuci karena Bibi Rosa tidak ada.

“Aku biasa pergi ke penatu. Kau tak usah repot-repot melayaniku. Istirahat saja.”

“Anu..?”

“Ya?”

Ree berdiri, menunggu wanita di hadapannya menyelesaikan kalimatnya. Wanita ini begitu tulus, baik, polos dan tak pernah punya niat yang macam-macam.

“Aku menyiapkan makanan untukmu. Bukan sesuatu yang mewah sih, tapi aku hanya menemukan beberapa bahan di dapur. Maaf kalau aku lancang.”

Melihat Nessa mengucek ujung dressnya, Ree tahu kalau Nessa pasti sangat berhati-hati. Takut kalau kelancangannya membuatnya marah. Tapi, Ree justru tersenyum. Ia memang tak memiliki mood yang baik, tapi pria it bukanlah manusia yang melimpahkan kemarahan pada manusia yang lain.

“Aku akan memakannya. Kau sendiri sudah makan?”

Nessa mengangguk. Tapi, ajakan Ree tak bisa ia tolak, pria itu sudah terlanjur menarik tangannya dan akhirnya mereka berada di meja makan, duduk berhadapan.

Sudah lama Ree tidak makan bersama. Apalagi ini di rumah mereka, dulu sekali, Ree sering makan bersama Jasmine. Ya, meskipun istrinya tak benar-benar menyentuh dapur, tapi setidaknya ia bisa merasakan kehangatan di rumahnya sendiri.

“Kelihatannya enak. Kau pasti sering memasak bukan?”

“Iya. Aku sudah melakukannya sejak lulus SMP, hidup penuh kekurangan harus serba bisa kan? Aku bahkan sudah biasa makan dengan garam.”

Ah, ayolah. Ree bukan ingin membandingkan bagaimana hidup Nessa dulu. Ia hanya bercanda, tapi wanita itu terlalu serius menanggapinya. Akhirnya Ree tidak punya pilihan lain selain mengambil nasi, mencampurkan sayur dan juga lauk yang dibuat Nessa.

Dari mana Nessa tahu kalau Ree suka rica-rica ayam? Ia menyuapi mulutnya sendiri. Enak. Gurih. Hampir mirip dengan masakan Bibi Rosa, setidaknya Ree tak akan kelaparan karena ia memang jarang makan teratur.

“Kau juga makan.”

“Melihatmu makan dengan baik, aku sudah ikutan kenyang. Habiskan ya?”

Ree mengangguk, seakan terintimidasi perintah Nessa. Padahal, Bibi Rosa saja tak pernah memintanya melakukan sesuatu. Sampai suapan terakhir, barulah Ree sadar mulutnya bersendawa, tanda ia sangat menikmati masakan Nessa.

“Thanks, Nessa. Tapi, kau tak perlu memasak lagi untukku. Aku bisa memesan sesuatu di luar. Atau kalau kau bosan, kita bisa makan bersama.”

“Bisa saja di luar tidak higenis. Yeah, meskipun aku sangat tahu pilihan restoranmu pasti kelas atas, koki pilihan. Tapi, aku lebih suka membuatnya sendiri. Jadi, bagaimana kalau aku yang membuatkan sarapan dan makan malam untukmu?”

Mata Ree menyipit. Nessa memperlihatkan keberaniannya, meskipun masih dengan tatapan lemah lembut. “Ini perjanjian?”

“Lebih persisnya adalah tawaran. Sebagai wujud rasa terima kasihku karena sudah membiarkan aku hidup enak di sini. Aku bahkan tidak berbuat banyak, hanya memasak. Bukan sesuatu yang sulit bukan? Bahkan, kamu bisa mengganti menu. Asal jangan makanan Eropa dan Paris. Aku sama sekali tidak tahu bumbu-bumbu dan bahannya, mungkin aku bisa belajar.”

Penjelasan Nessa membuat Ree refleks tertawa. Ia seperti mendatangi kedai makan, gratis. “Baiklah. Akan kupikirkan besok. Night, Nessa. Aku ke kamar dulu.”

“Night too, Ree.”

Keduanya sama-sama beranjak. Melakukan aktivitas masing-masing.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status