Sekarang, aku melarang Dinta untuk keluar rumah tanpa pengawasan darikuu maupun anggota keluarga yang lain. Saat dirinya bertanya, kami hanya menjawab bahwa ada orang yang mau menculik.
Bapak memintaku untuk tidak mengatakan alasan sebenarnya karena takut pikiran anak itu akan terganggu. Hati Danti pasti akan terluka jika tahu ayahnya ingin mengorbankan dirinya untuk orang lain.
Sebuah panggilan telepon dari nomor baru masuk ke gawaiku. Hati ini sedikit was-was. Aku tidak akan meladeni keluarga Mas Agam lagi. Mulai sekarang, aku tidak akan memberi celah mereka untuk mendekat ke kehidupanku. Kuabaikan saja dering telepon yang berbunyi. Jika penting pasti memberikan pesan. Aku lanjut membenahi kesalahan data dapodik siswa.
Sampai rumah, aku memeriksa gawai kembali. Sebuah pesan masuk dari nomor tadi.
[Nia, ini Anti.]
Dahiku mengernyit. Mau apa dia? Di atas pesan itu, ada lagi pesan dari nomor yang sama. Agak ragu, tapi akhirnya aku buka juga.
“Bukannya membela teman saya, tapi seburuk dan sesalah apa pun Anti terhadap Anda, dia sudah berani meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Jika memang belum bisa melupakan, itu hal yang wajar. Namun, itu tadi, pasti ada hikmah di balik sakit dan terlukanya hati yang Mbak Nia alami.”Kupandang wajah teduh wanita yang menemani Anti kemari. Sepertinya, ia sengaja diminta membantu untuk berbicara denganku. Seketika, seperti mendapat ilham untuk memberi jawaban pada Anti lewat perempuan yang usianya—kutaksir—sama dengannya. Kulempar senyum pada mereka berdua dan mengambil napas panjang.“Betul sekali, Mbak. Jika bukan karena peristiwa dengan Anti, perceraianku dengan Mas Agam pasti dipersulit. Dengan bercerai dari Mas Agam, aku juga terlepas dari bayang-bayang pernikahan tanpa kebahagiaan.” Aku beralih pada Anti. “Dan aku akan berusaha memaafkan kamu, tapi tidak untuk melupakan. Karena, kalaupun rasa sakit ini bisa disembuhkan, pas
Aku menghela napas panjang untuk menghilangkan sesak di dada. Bagaimanapun, apa yang diceritakan Anti, mengingatkanku pada masa menyakitkan itu.“Aku harus bagaiman, Nia? Beri aku saran.” Dulu, Anti mengatakan dirinya adalah wanita kesayangan Agam. Namun, kini terlihat lemah di hadapanku.Netraku bersitatap dengan teman Anti. Perempuan yang memakai seragam itu mengedikkan bahu sambil menggeleng, pertanda dia pun bingung harus bicara apa.“Aku tidak bisa memberikan saran apa pun sama kamu, Anti. Apa yang menimpa dirimu, itu sudah menjadi risiko dari perbuatan kamu sendiri. Ambil pelajaran di dalamnya, itu yang bisa aku sarankan.”Aku berucap dengan penuh kelembutan. Sementara Anti diam, mendengarkan dengan kepala tertunduk.“Kamu sia-siakan suami yang sangat menyayangimu demi lelaki yang belum tentu bisa membahagiakan kamu. Apa yang Allah beri, adalah yang terbaik. Selama pasangan kita tidak pernah bohong masalah keuang
“Cerita saja, Bu, jangan dipendam sendiri. Siapa tahu, kami bisa memberikan solusi pada masalah Bu Nia. Manusia diberikan kekuatan serta kelemahan, sesuai porsi masing-masing. Jika sudah tidak sanggup untuk mengatasi masalah yang dihadapi, itu artinya harus meminta pendapat maupun saran orang lain. Terkadang, petunjuk dari Tuhan, melalui petuah yang disampaikan oleh orang terdekat kita.”Sepertinya, wanita paruh baya itu cukup paham dengan yang dirasakan hati ini. Selama ini, aku tidak pernah menceritakan masalah pribadiku pada siapa pun di lingkungan kerja.Kuhela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.Dengan terpaksa, kuceritakan apa yang saat ini tengah menjadi beban dalam hati dan pikiran. Segala hal, tanpa kututpi satu pun. Beliau mengangguk paham, sesekali menarik napas berat. Selama aku bercerita, pemimpin di sekolahku ini sama sekali tidak menyela. Beliau memang terkenal sebagai pribadi yang sopan.“Mereka tida
Agam terlihat ketakutan. “Aku tidak akan mengambil ginjal Dinta. Asalkan kamu mau kasih uang bagian mobil dan pabrik. Itu semua kamu beli waktu masih jadi istriku.”Percaya diri sekali, dia.“Atau, kamu rujuki sama aku? Toh, sampai sekarang, kamu tidak laku-laku.”Aku mau membalas ucapan penghinaan itu, tapi dia langsung melanjutkan bicaranya.“Gak usah ngegas, Nia. Takdirmu memang harus hidup bersamaku. Aku janji, akan berubah menjadi suami yang selalu ada untuk kamu dan anak-anak.”Kutanggapi ucapannya itu dengan senyum sinis.“Wes, rujuk saja. Biar tidak jadi masalah terus menerus. Mbah sangat merestui kalian kembali bersama.”“Kan, yang selalu membuat masalah itu keluarga Mas Agam, Mbah. Bukan saya. Mendingan saya jadi janda seumur hidup, daripada balik sama dia!” jawabku, mengejek.Mereka terlihat malu dengan ucapanku barusan.“Udah, gitu aja perminta
Dengan alasan ingin ke belakang, aku memilih untuk beringsut mundur. Aku berjalan menuju ke halaman samping. Aku iseng mencari angin, berjalan menuju sebuah mushola kecil yang terletak di samping kanan rumah.Diri ini enggan masuk ke rumah kembali dan memilih duduk di teras mushola yang sangat bersih dan asri. Di dekat mushola terdapat beberapa tanaman. Semilir angin berhasil membuatku mengantuk. Kelopak mataku semakin berat. Aku menyandarkan tubuh pada dinding mushola, dan semakin nikmat terbuai kantuk.Sebuah dehaman mengangetkan serta membangunkanku. Betapa kagetnya aku saat melihat seseorang telah duduk beberapa meter dari tubuhku. Beliau adalah ustaz serta pemilik rumah ini.“Maaf, Ustaz. Saya lancang tidur di sini. Tadi, saya merasa lelah dan mengantuk.”Pria di sampingku jauh itu tersenyum. Senyum yang meneduhkan. Seraut wajah manis nan sejuk terbingkai di hadapan. Aku menunduk. Antara malu, juga salah tingkah.“Tidak apa-a
AgamRiddhollahi fi ridhol walidain. Rida Allah terletak pada rida kedua orang tua.Hadits Nabi itulah yang menjadi pedoman hidupku selama ini. Apa pun yang aku lakukan, harus sesuai dengan rida orang tuaku. Bapak dan Ibu bagaikan raja dan ratu dalam hati ini. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi mereka berdua, sekalipun itu istri dan kedua anakku.Jasa ibu sangatlah besar dalam hidupku. Bertahun-tahun beliau rela merantau ke negeri orang demi menghidupi anak-anaknya. Aku berjanji, bila diriku sukses, maka seluruh uang akan kuserahkan pada ibu. Sebagai balas budi atas pengorbanan yang dilakukan beliau selama ini.Saat aku masih duduk di bangku SMA, ibu pulang dari luar negeri dengan keadaan memprihatinkan. Tubuhnya kurus karena jarang diberi makan oleh majikan. Hingga seluruh keluarga besar menangisi hal itu.Menurut cerita ibu, beliau sering mengais makanan dari tong sampah selama di sana. Bila melakukan kesalahan sedikit, selalu disiram
Tiga tahun setelah aku menikah, Iyan memperistri seorang wanita yang sangat cantik. Dia adalah menantu idaman keluargaku. Cantik dan pandai bersolek. Tak hanya Mbak Eka serta orang tuaku, diriku juga sangat bangga dengan kecantikan Rani. Seringkali, aku memuji-muji dia di depan Nia. Istriku hanya akan diam sambil menunduk.“Iyan itu memang tak ada bandingannya. Tidak ada yang bisa mengalahkan kecantikan Rani. Bapak dan ibu pasti sangat bangga menantunya menjadi pujaan semua orang. Pandai bersolek pula,” ucapku, dengan penuh semangat. “Kamu tahu, Dek? Dia menjadi kesayangan dan kebanggaan kami semua.”Selepas pertunangan sampai menjelang pernikahan, aku selalu mengungkapkan kekagumanku akan calon adik iparku. Bila sudah begitu, Nia akan menunduk dengan sudut nertra yanv terlihat basah. Ah, mungkin ikut terharu dengan anugerah yang Allah berikan pada keluarga besarku.Setelah menikah, Rani benar-benar menjadi menantu kesayangan ibu. A
“Baiklah, bila memang kalian menyuruhku meninggalkan Nia, akau akan melakukannya. Apa yang orang tua perintahkan, itulah yang terbaik untukku. Dan itu, adalah rida Allah,” ujarku memantapkan niat.“Kamu memang kebanggaaan kami, Gam. Tidak sia-sia ibu berjuang menyekolahkan hingga kamu menjadi PNS. Kamulah tumpuan hidup keluarga ini. Ibu hanya ingin, setelah ini, hidup kita akan bahagia. Tuntun adikmu agar dia bisa menjadi orang sukses.”“Pasti, Bu. Aku akan mengorbankan apa pun demi kalian.”Begitulah diriku, tidak akan ada yang pernah mengalahkan kasih sayang ini terhadap mereka, orang-orang yang paling berharga. Terlebih Aira, si kecil yang menjadi ratu dalam keluargaku. Apa pun permintaannya, hati ini begitu tidak tega bila tidak menuruti. Wajahnya yang cantik—mewarisi sang ibu—semakin menambah bangga kami terhadapnya.Pakde berjanji, akan menggantikan derita ayahmu saat kecil, dengan membahagiakan