"Ben, aku mau mengundurkan diri."Pagi ini Ranti langsung saja menemui Beni, dia adalah seorang perawat yang sebelumnya memilihnya menjadi asisten Niko.Setelah kejadian kemarin, hari ini dia pun memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai asisten Niko.Ranti benar-benar tak ingin bertemu apa lagi terlibat pekerjaan dengan Niko.Hingga keputusan tepat adalah keluar dari pekerjaannya.Dia bisa mencari tempat kerja lainya setelah ini, asalkan tidak bersama dengan Niko.Beni yang mendengar sedikit terkejut, dan dia juga tak tahu jika Ranti adalah istri sah Niko.Karena saat pernikahan Niko kemarin hari dia tak bisa datang, sebab Ibunya sedang sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit."Mengundurkan diri? Kenapa? Kamu itu bukannya mau cari pengalaman?" tanya Beni yang penasaran."Nggak, aku mau cari kerja di tempat lain aja," jawab Ranti dengan yakin."Kenapa?""Aku tidak ingin bertemu dan terlibat dalam hal apapun dengan, dia," membayangkan wajah Niko saja Ranti tidak ingin, apa lagi bert
"Dokter Niko, ada pasien gawat darurat," kata Beni yang masuk untuk memanggil Niko.Niko yang ingin berbicara kembali dengan Ranti setelah Gina pergi pun terpaksa harus mengurungkan niatnya.Sedangkan Ranti hanya diam saja sambil melipat kedua tangannya di dada, dia seperti tak ingin terlibat dalam urusan Niko."Iya, saya akan ke sana," kata Niko.Kemudian Beni pun segera pergi."Ranti, urusan pekerjaan harus dilakukan dengan baik. Bukankah kamu sudah tahu seperti apa tugas kita sebagai tenaga kesehatan yang harus profesional dalam keadaan apapun?" tanya Niko, sekaligus mengingatkan Ranti.Ranti tahu dengan hal tersebut, tapi apakah dia bisa bekerja dengan Niko?Itulah yang membuatnya kesal.Coba saja dia bekerja dengan orang lain, mungkin keadaannya akan lebih baik dari ini."Baik, pekerjaan adalah pekerjaan, kamu juga jangan membahas masalah kita di sini, kamu tetap seperti sebelum pernikahan kita terjadi!" tegas Ranti."Iya," Niko pun mengangguk, "cepat, ikut aku!" Niko pun mencoba
"Ranti!" panggil Niko.Akan tetapi Ranti tak mendengar lagi suara Niko yang memanggilnya, sepeda motor yang ditumpanginya sudah melesat jauh.Ranti pulang bersama dengan Beni, karena sudah berjanji untuk pulang bersama.Membuat Niko pun merasa kesal, dia sudah berusaha untuk menyusul Ranti saat pekerjaannya selesai.Namun, ternyata tidak membuahkan hasil.Hingga kini Niko langsung menuju kediaman mertuanya, karena dia tahu pasti Ranti pulang ke rumah Bundanya."Niko, kamu sendiri? Ranti, di mana?" tanya Tias yang tidak melihat putrinya Ranti.Niko pun bingung dengan pertanyaan Tias, karena Ranti sudah pulang lebih awal."Apa, Ranti belum sampai di rumah, Bunda?" tanya Niko kembali."Belum, memangnya kalian tidak pulang bersama? Kalian kan, kerjanya bersama terus," kata Tias yang benar-benar bingung.Hingga tak lama berselang Ranti dan juga Beni pun tiba."Sampai jumpa besok," Ranti pun melambaikan tangan setelah turun dari sepeda motor milik Beni.Setelah itu Beni pun segera pergi, di
Kedua tangan Ranti yang menggantung mulai terkepal erat, dia tak dapat menahan rasa kesal terhadap lelaki menjengkelkannya di hadapannya itu."Kau itu, sangat menguji kesabaran ku! Sampai-sampai, Bunda, pun seperti itu!" omel Ranti.Sedangkan Niko memilih diam saja, sebab percuma juga berdebat dengan Ranti.Kemudian Ranti pun melihat handuk miliknya yang melingkar di pinggang Niko."Ini handukku!" Ranti pun menunjuk handuk tersebut dengan berapi-api, "ini handuk kesayangan ku! Kenapa kau lancang sekali memakainya?" Ingin sekali Ranti mencekik leher Niko karena berani memakai handuknya, ini sangat menjengkelkan.Selama ini tak pernah ada yang memakai handuk kesayangannya itu, selain dirinya. Karena, Ranti memang tak mengijinkan sama sekali.Tapi lihatlah pria itu, sungguh sangat tidak sopan."Aku hanya meminjamnya," jawab Niko dengan santainya.Tanpa amarah sama sekali, sampai saat ini pun tidak ingin berdebat juga dengan Ranti."Meminjam? Kau itu mencuri! Memakai tanpa ijin! Mana ada
"Kamu itu banyak bohongnya! Cepat pergi!""Aku serius. Dan, aku juga butuh istirahat," Niko pun segera masuk ke dalam selimut, dia tak ingin pergi dari sana.Karena ternyata menggoda Ranti cukup menyenangkan, lihat saja wanita itu dengan wajah kesalnya bisa membuat Niko terhibur.Apa lagi saat lelahnya dalam bekerja, tentunya dia butuh sedikit hiburan.Tapi Niko memang sedang butuh istirahat, karena dia cukup kelelahan.Belum lagi saat dirinya memutuskan untuk menerima perjodohan Widia saat itu, seketika malam-malam Niko terasa berat.Dia bahkan tak pernah bisa tidur dengan nyenyak, sedangkan diwaktu siang hari pun dia terus menyibukkan diri dengan bekerja.Hingga saat ini dirinya merasa sangat lelah, lelah hati, pikiran dan juga badan."Pergi! Kamu pulang sana, aku mau istirahat juga!"Ranti terus saja berusaha untuk mengusir Niko, tetapi sulit sekali. Karena, pria itu masih dengan kerasnya pendiriannya.Membuat Ranti pun bingung harus bagaimana, dia pun segera keluar dari kamarnya.
Ranti pun mengisi jarum suntik dengan obat, membuat Niko yang melihatnya pun bergidik ngerti.Niko memang seorang dokter, dia sudah biasa menggunakan jarum suntik untuk pasien-pasiennya, bahkan dia juga sudah terbiasa dengan benda tajam lainya.Mengingat dia juga sudah tak diragukan lagi dimeja operasi.Akan tetapi sebenarnya Niko sendiri takut di suntik.Begitu juga dengan saat ini, saat melihat Ranti berjalan ke arahnya dengan memegang jarum suntik sungguh membuatnya merasa ketakutan.Sejak kecil dia memang takut di suntik, tapi saat sudah besar malah berkeinginan menjadi dokter.Dia pikir dengan begitu maka dia tak akan takut di suntik lagi, namun kenyataannya sampai detik ini pun dia masih takut di suntik.Dan dia hanya mau menyuntik pasiennya saja, tidak untuk dirinya sendiri."Ranti, tolong jangan di suntik, aku sudah sembuh. Atau bagaimana kalau kau saja yang aku suntik, tapi pakai jarum suntik keramat," kata Niko berusaha untuk bernegosiasi dengan Ranti."Jarum suntik keramat?
"Kamu ngapain ke kamar, Bunda?""Mau tidur, soalnya di kamar, Ranti, ada, Dokter Niko."Ranti pun merebahkan diri di atas ranjang milik sang Bunda.Dia benar-benar butuh istirahat, sebenarnya tempat istirahat terbaik adalah kamarnya sendiri.Namun, mau bagaimana lagi. Karena di kamar itu ada Niko.Jadi pilihan tepatnya adalah istirahat di kamar Tias.Akan tetapi sepertinya Tias bingung dengan putrinya tersebut."Kok, di kamar, Bunda? Kamu, 'kan, punya kamar.""Kan, Ranti udah bilang. Di kamar, Ranti ada, Dokter Niko.""Terus kenapa?"Ranti merasa kesal dengan pertahanan Tias, padahal tak perlu lagi di jelaskan. Karena seharusnya Tias tentunya mengerti."Bunda, di kamar, Ranti, ada, Dokter Niko. Terus apa mungkin, Ranti juga tidur di sana?""Kenapa tidak?" "Dia laki-laki, Bunda," terang Ranti lagi."Bunda, tahu. Dan, Bunda juga nggak pernah bilang, kalau dia perempuan," jawab Tias."Ya, udah. Kalau begitu, ngapain, Bunda masih tanya."Tias pun segera menarik tangan Ranti, "Bangun, kel
Suara ponsel Ranti pun terdengar, membuatnya pun menghentikan aksinya yang tengah memukuli Niko.Kemudian dengan segera menjawab panggilan tersebut.Tapi, dia masih menatap Niko dengan begitu tajam. Rasa kesal pada pria yang berstatus sebagai suaminya itu belum juga bisa mereda dengan begitu mudahnya."Halo, Ben," jawab Ranti sambil meletakkan ponselnya pada telinganya."Aku jemput, nggak?" tanya Beni dari balik sambungan telepon, karena kemarin hari Ranti sendiri yang mengatakan agar Beni menjemputnya.Kemudian akan berangkat menuju rumah sakit bersama-sama."Tapi, aku nggak tahu apa, Dokter Niko, masuk kerja atau nggak. Aku tanya dulu, ya, nanti aku hubungi lagi," kata Ranti.Sebab dia tahu semalam Niko demam dan tidak tahu apakah pagi ini akan bekerja atau tidak.Lebih baik dia bertanya terlebih dahulu, sebelum belum capek-capek berangkat dan ternyata Niko tidak masuk bekerja."Baiklah, nanti kabari aku."Kemudian panggilan pun berakhir, Ranti pun meletakkan ponselnya pada sopa."D