Ranti pun mengisi jarum suntik dengan obat, membuat Niko yang melihatnya pun bergidik ngerti.Niko memang seorang dokter, dia sudah biasa menggunakan jarum suntik untuk pasien-pasiennya, bahkan dia juga sudah terbiasa dengan benda tajam lainya.Mengingat dia juga sudah tak diragukan lagi dimeja operasi.Akan tetapi sebenarnya Niko sendiri takut di suntik.Begitu juga dengan saat ini, saat melihat Ranti berjalan ke arahnya dengan memegang jarum suntik sungguh membuatnya merasa ketakutan.Sejak kecil dia memang takut di suntik, tapi saat sudah besar malah berkeinginan menjadi dokter.Dia pikir dengan begitu maka dia tak akan takut di suntik lagi, namun kenyataannya sampai detik ini pun dia masih takut di suntik.Dan dia hanya mau menyuntik pasiennya saja, tidak untuk dirinya sendiri."Ranti, tolong jangan di suntik, aku sudah sembuh. Atau bagaimana kalau kau saja yang aku suntik, tapi pakai jarum suntik keramat," kata Niko berusaha untuk bernegosiasi dengan Ranti."Jarum suntik keramat?
"Kamu ngapain ke kamar, Bunda?""Mau tidur, soalnya di kamar, Ranti, ada, Dokter Niko."Ranti pun merebahkan diri di atas ranjang milik sang Bunda.Dia benar-benar butuh istirahat, sebenarnya tempat istirahat terbaik adalah kamarnya sendiri.Namun, mau bagaimana lagi. Karena di kamar itu ada Niko.Jadi pilihan tepatnya adalah istirahat di kamar Tias.Akan tetapi sepertinya Tias bingung dengan putrinya tersebut."Kok, di kamar, Bunda? Kamu, 'kan, punya kamar.""Kan, Ranti udah bilang. Di kamar, Ranti ada, Dokter Niko.""Terus kenapa?"Ranti merasa kesal dengan pertahanan Tias, padahal tak perlu lagi di jelaskan. Karena seharusnya Tias tentunya mengerti."Bunda, di kamar, Ranti, ada, Dokter Niko. Terus apa mungkin, Ranti juga tidur di sana?""Kenapa tidak?" "Dia laki-laki, Bunda," terang Ranti lagi."Bunda, tahu. Dan, Bunda juga nggak pernah bilang, kalau dia perempuan," jawab Tias."Ya, udah. Kalau begitu, ngapain, Bunda masih tanya."Tias pun segera menarik tangan Ranti, "Bangun, kel
Suara ponsel Ranti pun terdengar, membuatnya pun menghentikan aksinya yang tengah memukuli Niko.Kemudian dengan segera menjawab panggilan tersebut.Tapi, dia masih menatap Niko dengan begitu tajam. Rasa kesal pada pria yang berstatus sebagai suaminya itu belum juga bisa mereda dengan begitu mudahnya."Halo, Ben," jawab Ranti sambil meletakkan ponselnya pada telinganya."Aku jemput, nggak?" tanya Beni dari balik sambungan telepon, karena kemarin hari Ranti sendiri yang mengatakan agar Beni menjemputnya.Kemudian akan berangkat menuju rumah sakit bersama-sama."Tapi, aku nggak tahu apa, Dokter Niko, masuk kerja atau nggak. Aku tanya dulu, ya, nanti aku hubungi lagi," kata Ranti.Sebab dia tahu semalam Niko demam dan tidak tahu apakah pagi ini akan bekerja atau tidak.Lebih baik dia bertanya terlebih dahulu, sebelum belum capek-capek berangkat dan ternyata Niko tidak masuk bekerja."Baiklah, nanti kabari aku."Kemudian panggilan pun berakhir, Ranti pun meletakkan ponselnya pada sopa."D
"Dokter Niko!" Ranti pun berlari sekencang mungkin, dia cepat-cepat menghampiri Niko yang pastinya kini berada di dalam kamarnya kembali.Benar saja, pria itu kini sudah kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang.Namun matanya melihat Ranti yang muncul seperti sedang panik.Niko dapat menebak apa yang menjadi alasan wanita itu, tapi biarkan saja dulu. Niko ingin mendengar sendiri dari mulut Ranti."Dokter Niko!""Ada apa? Kamu, dikejar setan?" tanya Niko karena Ranti yang begitu panik."Nggak!" jawab Ranti dengan cepat dan napas yang ngos-ngosan, karena berlari terlalu kencang demi segera menemui Niko."Di kejar tuyul?""Sama aja, tuyul juga setan!""Apa iya?""Iya, kamu juga setan!" kata Ranti, dan setan yang dikatakan kali ini adalah Niko."Kau istrinya setan!""Amit-amit jabang bayi! Kamu aja setan, setan belang!""Atau kamu mau bisnis kita segera di mulai," tebak Niko.Ranti pun menggelengkan kepalanya dengan cepat, dari senyuman Niko saja dia tentunya tau maksud dari ucapan N
Ranti terus saja mengusap dahinya, rasanya sangat sakit sekali karena membentur pintu.Dia merasa begitu sial untuk hari ini, bukan hanya hari ini. Tetapi, setelah menikah dengan Niko nasibnya terus saja sial."Dasar laki-laki aneh, kenapa dia betah sekali di rumah ini," kata Ranti yang terus saja berbicara sendirian.Dia sudah terlalu kesal, sehingga tidak tahu lagi harus melupakan pada siapa. Sedangkan kepalanya hampir pecah karena memikirkan kapan bercerai dari Niko.Ranti sudah tak sabar untuk yang satu itu, itulah hal yang paling membuatnya bahagia untuk saat ini."Siapa yang kamu maksud?" tanya Tias saat mendengar putrinya yang tengah menggerutu kesal.Ranti pun menyadari kini dia ada di teras, sedangkan Tias sedang membuat kerajinan tangan dari benang di sana.Ranti pun duduk di kursi yang bersebelahan dengan Tias.Kemudian meneguk teh hangat milik Tias yang ada di atas meja."Dokter Niko, kok betah banget di rumah kita, nggak punya malu banget sih itu orang. Kita, 'kan, nggak
Setelah bayi itu lahir tentu saja belum selesai, karena ada satu bayi lagi yang juga harus segera dilahirkan."Satu lagi, tarik napas dan hembuskan perlahan. Jangan takut, tetap tenang," kata Ranti.Sedangkan Niko segera membersihkan bayi yang sudah terlebih dahulu lahir.Sebab Barra tak mengijinkan dirinya untuk menolong persalinan Asih.Lagi pula dia juga harus segera menangani bayi tersebut.Hingga kembali terdengar suara tangisan bayi, dan kini bayi kembar itu pun sudah dilahirkan dengan sehat dan selamat.Ranti langsung saja mengurus Asih, sedangkan kedua bayi itu menjadi urusan Niko.Niko saja gemas melihat bayi tersebut, mendadak bayinya juga menginginkan seorang bayi.Sejak dulu tidak pernah melintas di pikirannya, tapi tiba-tiba saat melihat wajah anak Barra dia juga bisa begitu.Tapi itu hanya ada dalam hatinya, dia tak mungkin mengutarakan secara langsung.Hingga kini semuanya selesai, dua bayi yang sudah dibalut dengan bedong dan di baringkan di samping ibunya.Barra tak k
"Hay, Ibu Bidan. Sedang apa?""Dokter Niko, bisakah anda yang sopan sedikit?" "Tidak."Niko pun bersandar pada dinding, kedua tangannya di lipat di dada.Matanya melihat Ranti yang berada di dalam kamar mandi, wanita itu tampak sedang mencuci tangannya.Dan saat dia berada di sana tatapan wanita itu tampak sangat tajam, di tambah lagi dengan jawabannya yang memang sangat menjengkelkan sekali."Dasar lelaki gila," gerutu Ranti."Aku tidak tahu malu. Jadi, aku tidak perduli," kata Niko lagi."Ada, ya, manusia aneh seperti mu di dunia ini!" kesal Ranti.Jika orang lain yang menjadi Niko pasti tak terima dikatakan tidak tahu malu, sedangkan Niko malahan lain, dia yang mengatakan sendiri jika dirinya tak tahu malu.Pria itu memang sedikit aneh, berbeda dari yang lain. Ranti juga bingung, mengapa ada manusia seperti Niko."Tentu, aku ini sangat dibutuhkan untuk membuat orang lain bahagia, buktinya aku selalu tersenyum.""Terserah kau saja!"Ranti pun kini sudah selesai mencuci tangan dan w
"Kau itu benar-benar sangat menjengkelkan sekali!" Ranti langsung saja meluapkan kemarahan yang dia tahan sejak tadi.Hingga setelah selesai makan malam kini keduanya sudah berada di dalam kamar.Langsung saja Ranti mengeluarkan kekesalannya tanpa bisa menahannya lagi.Bayangkan saja dari tadi dia makan dengan tidak nyaman, itu karena Niko adalah penyebab utamanya.Bukan berarti saat tadi dia hanya diam saja, kemudian sampai saat inipun dia tak lagi membahasnya.Itu tidak mungkin dan sangat tidak mungkin, karena pria itu tetap harus diberikan pelajaran, agar tak lagi berbuat sesukanya."Ada masalah apa?" tanya Niko tanpa beban, bahkan seakan tak tahu apa-apa, dia tampak santai duduk di sofa sambil melihat ponselnya.Sedangkan Ranti yang berdiri tak jauh darinya menatapnya dengan tajam."Kenapa kamu pegang-pegang!" pekik Ranti."Pegang apa? Kalau bicara yang jelas," jawab Niko.Nada bicara Niko tampak sangat santai, dia hanya memainkan ponselnya saja. Namun, setiap pertanyaan yang dia