“Sekarang harus kita apakan semua bunga ini, Dave?”Jingga menghela napas panjang seraya melangkah dengan susah payah. Pasalnya, ia berjalan dengan Davin yang terus memeluk perutnya dari belakang dan dagu bertumpu di pundaknya. Seakan-akan pria itu tak ingin terpisah dari Jingga barang sedetikpun.“Rumah kita luas, Sayang. Simpan saja bunganya di setiap sudut ruangan,” jawab Davin sebelum mendaratkan kecupan singkat di leher sang istri.Jingga sempat menahan napasnya mendapati kecupan itu. Mereka berdiri di hadapan lautan bunga tulip. Jingga menoleh ke arah suaminya seraya mengusap rahang kasar itu dengan lembut.“Dave, kamu tahu? Aku senang sekali mendapatkan semua bunga ini dari kamu,” katanya sambil tersenyum lembut. “Aku merasa spesial dan dicintai. Terima kasih, ya.” Sebuah ciuman lembut Jingga berikan di bibir Davin, membuat pria itu mengerang pelan.“Sayang, jangan memancingku. Aku sedang berusaha menahan diri demi anak kita di perut kamu,” gerutu Davin, “karena kalau tidak, bi
Kata-kata Davin membuat Jingga meringis malu. Ia menyikut perut suaminya itu sambil menggerutu, “Aku nggak se-kekanakkan itu, tahu!”“Jadi?” Davin menatap Jingga dengan senyuman menggoda. “Aku boleh memberikan bunga pada wanita lain?”“Boleh.” Jingga mengangguk. Lalu melanjutkan kata-katanya, “Kalau wanita itu adalah ibu-ibu, nenek-nenek atau anak-anak.”Davin tergelak mendengarnya. Ia berhenti melangkah, dengan gemas dicubitnya kedua pipi sang istri hingga wanita itu cemberut.“Sama saja,” ledek Davin, “itu artinya kamu akan cemburu pada wanita selain ibu-ibu, nenek-nenek dan anak-anak.”“Ya... ya... karena kamu suamiku dan aku mencintaimu,” ucap Jingga seraya merotasi matanya.Davin tidak bisa menahan tawa mendengar pengakuan Jingga. “Aku suka ketika kamu cemburu, Sayang. Itu berarti kamu sangat mencintaiku,” ujarnya masih dengan nada menggoda.Jingga hanya bisa merengut manja, ia merasa sedikit tersipu tapi tetap ingin mempertahankan gengsinya. “Kamu memang selalu berhasil membuatk
Jingga tersenyum tanpa membuka matanya yang masih terasa lengket saat ia merasakan perutnya dihujani kecupan-kecupan ringan. Ia juga mendengar bisikan lembut dari Davin di depan perutnya, seolah-olah pria itu sedang mengajak mengobrol janin di dalam sana.“Papa nggak sabar ingin ketemu kamu.”“Hai, Baby, sebenarnya kamu laki-laki atau perempuan, hm?”“Kalau laki-laki, kamu akan jadi anak yang tampan sepertiku, seperti kakakmu. Sedangkan kalau kamu perempuan, Papa yakin sekali kamu akan tumbuh jadi wanita cantik seperti mamamu.”Jingga terkekeh pelan mendengarnya, membuat Davin sadar bahwa istrinya itu sudah bangun.Davin mengangkat wajahnya dari perut Jingga, lalu beringsut mensejajarkan wajah mereka berdua. Davin menahan tubuhnya dengan lutut dan siku di atas Jingga, tanpa benar-benar menindih tubuh wanita itu.“Kamu sudah bangun, Sayang?” bisik Davin sebelum mengecup kening Jingga dengan mesra.Dengan suara serak khas orang bangun tidur, Jingga menjawab, “Hm. Sudah. Tapi aku masih n
Jingga menyikut perut Davin sambil memicingkan mata. “Dave, beri aku waktu untuk istirahat,” gerutunya dengan bibir sedikit merengut.Davin tertawa. Air menetes dari rambutnya yang basah ke bahu bidangnya. “Baiklah,” ucapnya sebelum kembali melabuhkan kecupan di bibir Jingga, membuat wanita itu kembali tersenyum. “Aku juga nggak mau membuat dia terganggu. Tapi aku yakin, dia anak yang kuat,” lanjutnya lagi sambil menghujani baby bump Jingga dengan kecupan-kecupan ringan.Jingga terkekeh-kekeh.“Jadi? Mau berenang di laut atau sarapan dulu?” tanya Davin sambil mensejajarkan lagi wajah mereka.“Sarapan dulu, deh. Aku sudah lapar.”Davin mengangguk. Ia merangkul pinggang istrinya menuju balkon dan mengambil bathrobes yang teronggok di sunbed—yang sebelumnya Jingga taruh di sana.“Aku punya kejutan untuk sarapan kita, tapi kamu harus pakai ini dulu,” kata Davin seraya ‘membungkus’ tubuh seksi istrinya dengan bathrobes tersebut. “Tunggu dulu di sini, hm?”Jingga mengangguk patuh dengan pen
“Dave, sebenarnya kamu mau membawaku ke mana?” tanya Jingga, penasaran. Ia berpegangan semakin erat pada pinggang Davin karena matanya ditutupi kain yang diikatkan ke belakang kepala. “Sabar, Sayang. Sebentar lagi kita akan sampai.” Suara Davin terdengar lembut. “Tapi ini sekarang kita di mana? Aku nggak akan jatuh ke laut, ‘kan?” Mendengar pertanyaan istrinya yang dipenuhi kekhawatiran itu, Davin tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa. “Aku bersamamu, Jingga Thania,” ucap Davin mengingatkan dengan nada mesra. Ia mengeratkan rangkulannya di bahu sang istri. “Percaya padaku, hm? Ikuti saja aku dan jangan takut, aku akan memastikan kamu tetap aman.” Jingga mengangguk mengerti, dan kepercayaan yang terbangun pada suaminya membuat Jingga tidak ragu untuk melangkahkan kakinya di atas pijakan yang tidak bisa ia lihat. Davin memangkunya saat berjalan di tangga, lalu menurunkan Jingga lagi. Dan sesekali kecupan mesra Jingga rasakan di pelipis dan pipinya. Bahasa tubuh yang Davin l
Prang!!! Bunyi gelas yang terjatuh ke lantai membuat Jingga terkejut. Seketika itu juga Jingga mematikan kompor, lalu bergegas menyeret langkah kakinya yang terseok-seok menuju ruang tengah. Jingga tertegun. Ia melihat pecahan gelas berserakan di lantai. Putranya tengah memeluk salah satu kaki Davin dengan wajah ketakutan. Dan… suaminya—Davin William, yang tampak marah sambil mengepalkan kedua belah telapak tangannya, menatap Jingga dengan tatapan penuh kebencian. Jingga menghampiri mereka dengan perasaan bingung. Dengan suara pelan ia bertanya, “Dave, apa yang terjadi?” “Pa… pa. Pa… pa…,” celoteh anak berusia satu tahun itu sambil mengeratkan pelukannya pada kaki Davin. Jingga kembali tertegun. Papa? Oliver memanggil Davin dengan panggilan ‘papa’? Hati Jingga seketika diliputi perasaan haru, karena untuk pertama kalinya ia mendengar Oliver berbicara setelah lama ia menantikannya. Papa, kata pertama yang terucap dari mulut Oliver. “Kamu dengar?” Suara dingin Davin membuat ra
Oliver tersungkur di lantai sambil menangis kencang. Darah segar mengalir ke lantai.Buru-buru Jingga menghampiri Oliver dan meraih anak itu ke pangkuannya. Wajah Jingga menegang saat melihat dahi dan bibir Oliver mengeluarkan darah yang cukup banyak.Dengan panik, Jingga mengambil sembarang kain untuk menahan pendarahan di dahi putranya. Ia membawa Oliver keluar dari kamar, dan tanpa sengaja bertemu Davin yang sedang mengenakan jaket.Tanpa berpikir panjang, Jingga menghampiri Davin. Tidak peduli jika Davin akan marah karena mendengar tangisan Oliver. Davin sangat tidak menyukai tangisan anak kecil.“Dave, bi-bisakah antar aku ke… ru-rumah sakit?” tanya Jingga dengan bibir gemetar. Ia panik, takut dan khawatir dengan kondisi Oliver.Davin memutar tubuhnya menghadap Jingga. Pria itu sempat menatap Oliver yang berlumuran darah, sejenak. Lalu mendengus. “Anak ini bukan urusanku.”Davin hendak pergi, tapi Jingga segera menahan ujung jaket pria itu. “Kumohon… tolong aku kali ini saja,” li
Davin mengeluarkan sebatang rokok dan menyelipkannya di bibir. Ia meraba-raba saku celana tapi tidak menemukan apa yang ia cari.“Butuh ini?”Davin mendongak dan mendapati sepupunya menjulurkan pemantik api ke hadapannya.Dengan malas Davin mengambil alat tersebut dan menyalakan rokok miliknya.“Thanks.” Davin menyerahkan pemantik api itu kembali kepada Ethan.Ethan, yang dua tahun lebih tua dari Davin itu duduk di samping Davin dan melakukan hal yang sama dengannya.Kedua pria tersebut adalah cucu dan pewaris mendiang Eddie Walton. Mereka nyaris tidak pernah akur semenjak kecil dan selalu berkompetisi dalam hal apapun. Ibu mereka adalah dua bersaudara.Sebetulnya dalam surat wasiat yang Eddie tinggalkan sebelum meninggal dunia, Eddie meminta Davin atau Ethan untuk menemukan Jingga. Dan siapa di antara mereka yang menemukan Jingga lebih dulu lalu menikahinya, maka dia yang akan mendapatkan New Pacific Group, salah satu perusahaan besar yang ada di tanah air.Ternyata Davin-lah yang le