“Ini kiriman untuk Bu Jingga,” kata pria di hadapannya, membuat Jingga seketika keluar dari keterpanaannya.Jingga mengalihkan tatapannya dari beberapa mobil yang masuk satu persatu memenuhi halaman rumah, ke arah pria tersebut dengan bingung. “Tapi saya nggak memesan apa-apa, Pak.”“Di sini pemesannya memang atas nama Pak Davin, Bu. Dan penerimanya Jingga Thania,” ujar pria itu sekali lagi.“Davin?” Jingga mengerjap.Dengan ekspresi yang masih kebingunan, Jingga akhirnya menandatangani surat penerimaan, lalu tercengang saat melihat bunga demi bunga diturunkan dari mobil-mobil itu yang mengantre dari halaman hingga ke luar gerbang. Jingga terkejut melihat betapa banyak bunga tulip yang diantar ke rumah.Tukang bunga tidak berhenti datang, membawa buket demi buket, hingga ruang tamu penuh dengan aroma harum bunga tulip.Jingga mematung, tak habis pikir mengapa Davin membeli semua bunga itu.“Totalnya ada seribu bunga, Bu. Kami sengaja mendatangkannya dari berbagai kota tadi malam, kare
Mata Jingga berkaca-kaca. Hatinya terenyuh. Bagaimanapun, ia juga seorang perempuan yang hatinya mudah tersentuh oleh hal-hal romantis, apalagi dengan penuh perjuangan seperti yang dilakukan suaminya saat ini.Helikopter itu perlahan-lahan mendarat di halaman belakang rumah yang luas. Angin yang bertiup kencang dari baling-baling helikopter, membuat pohon pinus yang memagari halaman bergoyang-goyang. Jingga menutupi mata dari tiupan angin kencang itu menggunakan lengan.Saat Jingga menurunkan lengannya, ia melihat seorang pria berkemeja putih dan celana hitam melompat turun dari helikopter tersebut. Menghampirinya dengan langkah tegap.Jingga menatap pria itu dengan wajah merengut dan mata yang masih berkaca-kaca. Sementara helikopter di belakangnya kembali mengudara.Pria itu berhenti di hadapan Jingga, menyisakan jarak sekitar satu meter di antara mereka. Mata lelahnya menatap Jingga dengan penuh ketulusan. Keduanya tak ada yang bersuara, hanya tatapan masing-masing yang saling berb
Jingga terpenjara. Ia sulit menggerakkan tubuhnya karena pelukan Davin yang sangat erat. Seolah-olah pria itu merasa takut Jingga akan kabur saat ia tengah terlelap.Usai percintaan panas mereka beberapa saat yang lalu, Davin langsung memejamkan matanya dan mendengkur halus, tertidur nyenyak, tangan dan kakinya memeluk Jingga di bawah selimut putih yang membungkus tubuh polos mereka berdua.Kini, Jingga memandangi wajah suaminya yang tampak tenang. Dalam hati ia bergumul dengan perasaan yang campur aduk.Perasaan cemburu yang menghantui pikirannya beberapa hari terakhir ini, mulai mereda seiring waktu. Jingga tahu, bahwa ia harus belajar menerima masa lalu Davin, jika ingin mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka.“Kenapa kamu terlahir jadi pria yang sangat tampan seperti ini?” bisik Jingga nyaris tak terdengar, seraya menyapukan jemari lentiknya di wajah Davin. “Banyak wanita yang tertarik padamu. Dan aku nggak suka.”Jika Davin sedang terjaga, rasanya Jingga tidak mungkin jujur
“Sekarang harus kita apakan semua bunga ini, Dave?”Jingga menghela napas panjang seraya melangkah dengan susah payah. Pasalnya, ia berjalan dengan Davin yang terus memeluk perutnya dari belakang dan dagu bertumpu di pundaknya. Seakan-akan pria itu tak ingin terpisah dari Jingga barang sedetikpun.“Rumah kita luas, Sayang. Simpan saja bunganya di setiap sudut ruangan,” jawab Davin sebelum mendaratkan kecupan singkat di leher sang istri.Jingga sempat menahan napasnya mendapati kecupan itu. Mereka berdiri di hadapan lautan bunga tulip. Jingga menoleh ke arah suaminya seraya mengusap rahang kasar itu dengan lembut.“Dave, kamu tahu? Aku senang sekali mendapatkan semua bunga ini dari kamu,” katanya sambil tersenyum lembut. “Aku merasa spesial dan dicintai. Terima kasih, ya.” Sebuah ciuman lembut Jingga berikan di bibir Davin, membuat pria itu mengerang pelan.“Sayang, jangan memancingku. Aku sedang berusaha menahan diri demi anak kita di perut kamu,” gerutu Davin, “karena kalau tidak, bi
Kata-kata Davin membuat Jingga meringis malu. Ia menyikut perut suaminya itu sambil menggerutu, “Aku nggak se-kekanakkan itu, tahu!”“Jadi?” Davin menatap Jingga dengan senyuman menggoda. “Aku boleh memberikan bunga pada wanita lain?”“Boleh.” Jingga mengangguk. Lalu melanjutkan kata-katanya, “Kalau wanita itu adalah ibu-ibu, nenek-nenek atau anak-anak.”Davin tergelak mendengarnya. Ia berhenti melangkah, dengan gemas dicubitnya kedua pipi sang istri hingga wanita itu cemberut.“Sama saja,” ledek Davin, “itu artinya kamu akan cemburu pada wanita selain ibu-ibu, nenek-nenek dan anak-anak.”“Ya... ya... karena kamu suamiku dan aku mencintaimu,” ucap Jingga seraya merotasi matanya.Davin tidak bisa menahan tawa mendengar pengakuan Jingga. “Aku suka ketika kamu cemburu, Sayang. Itu berarti kamu sangat mencintaiku,” ujarnya masih dengan nada menggoda.Jingga hanya bisa merengut manja, ia merasa sedikit tersipu tapi tetap ingin mempertahankan gengsinya. “Kamu memang selalu berhasil membuatk
Prang!!! Bunyi gelas yang terjatuh ke lantai membuat Jingga terkejut. Seketika itu juga Jingga mematikan kompor, lalu bergegas menyeret langkah kakinya yang terseok-seok menuju ruang tengah. Jingga tertegun. Ia melihat pecahan gelas berserakan di lantai. Putranya tengah memeluk salah satu kaki Davin dengan wajah ketakutan. Dan… suaminya—Davin William, yang tampak marah sambil mengepalkan kedua belah telapak tangannya, menatap Jingga dengan tatapan penuh kebencian. Jingga menghampiri mereka dengan perasaan bingung. Dengan suara pelan ia bertanya, “Dave, apa yang terjadi?” “Pa… pa. Pa… pa…,” celoteh anak berusia satu tahun itu sambil mengeratkan pelukannya pada kaki Davin. Jingga kembali tertegun. Papa? Oliver memanggil Davin dengan panggilan ‘papa’? Hati Jingga seketika diliputi perasaan haru, karena untuk pertama kalinya ia mendengar Oliver berbicara setelah lama ia menantikannya. Papa, kata pertama yang terucap dari mulut Oliver. “Kamu dengar?” Suara dingin Davin membuat ra
Oliver tersungkur di lantai sambil menangis kencang. Darah segar mengalir ke lantai.Buru-buru Jingga menghampiri Oliver dan meraih anak itu ke pangkuannya. Wajah Jingga menegang saat melihat dahi dan bibir Oliver mengeluarkan darah yang cukup banyak.Dengan panik, Jingga mengambil sembarang kain untuk menahan pendarahan di dahi putranya. Ia membawa Oliver keluar dari kamar, dan tanpa sengaja bertemu Davin yang sedang mengenakan jaket.Tanpa berpikir panjang, Jingga menghampiri Davin. Tidak peduli jika Davin akan marah karena mendengar tangisan Oliver. Davin sangat tidak menyukai tangisan anak kecil.“Dave, bi-bisakah antar aku ke… ru-rumah sakit?” tanya Jingga dengan bibir gemetar. Ia panik, takut dan khawatir dengan kondisi Oliver.Davin memutar tubuhnya menghadap Jingga. Pria itu sempat menatap Oliver yang berlumuran darah, sejenak. Lalu mendengus. “Anak ini bukan urusanku.”Davin hendak pergi, tapi Jingga segera menahan ujung jaket pria itu. “Kumohon… tolong aku kali ini saja,” li
Davin mengeluarkan sebatang rokok dan menyelipkannya di bibir. Ia meraba-raba saku celana tapi tidak menemukan apa yang ia cari.“Butuh ini?”Davin mendongak dan mendapati sepupunya menjulurkan pemantik api ke hadapannya.Dengan malas Davin mengambil alat tersebut dan menyalakan rokok miliknya.“Thanks.” Davin menyerahkan pemantik api itu kembali kepada Ethan.Ethan, yang dua tahun lebih tua dari Davin itu duduk di samping Davin dan melakukan hal yang sama dengannya.Kedua pria tersebut adalah cucu dan pewaris mendiang Eddie Walton. Mereka nyaris tidak pernah akur semenjak kecil dan selalu berkompetisi dalam hal apapun. Ibu mereka adalah dua bersaudara.Sebetulnya dalam surat wasiat yang Eddie tinggalkan sebelum meninggal dunia, Eddie meminta Davin atau Ethan untuk menemukan Jingga. Dan siapa di antara mereka yang menemukan Jingga lebih dulu lalu menikahinya, maka dia yang akan mendapatkan New Pacific Group, salah satu perusahaan besar yang ada di tanah air.Ternyata Davin-lah yang le