Malam hari di apartemen ternyata sangat nyaman. Frisca merasa sangat betah di apartemen dari pada di rumahnya. Bahkan suaminya juga setia menemaninya di sana. Daniel baru saja pergi keluar membelikan makan untuknya. Laki-laki itu juga tidak menyentuh laptopnya sama sekali. "Buka Daniel, besok pagi kita jalan-jalan di sekitar sana ya," ajak Frisca pada suaminya seraya menunjuk trotoar jalanan di tepian taman. "Iya sayang, tapi jangan terlalu lama. Aku takut terjadi sesuatu padamu," jawab Daniel. "Heem," jawab Frisca. Gadis itu duduk meluruskan kedua kakinya dan bersandar pada punggung sofa. Frisca dia memperhatikan kedua kakinya dengan bibir yang tiba-tiba cemberut. Daniel memiringkan kepalanya menatap sang istri dan juga memperhatikan mimik wajahnya yang berubah. "Kenapa?" tanya laki-laki itu. "Kakiku nyeri sekali, sedikit bengkak," ujar Frisca menunjuk kaki kirinya. "Coba aku lihat." Daniel langsung duduk di sampingnya dan ia meraih kedua kaki Frisca untuk ia tempatkan di at
Untuk kali pertama Frisca mengetahui keindahan negara Spanyol. Biasanya ia hanya lihat keindahan negara itu dari media sosialnya saja. Tapi hari ini kakinya benar-benar menapak di tanah Spanyol yang sudah lama ia impi-impikan. "Ternyata Spanyol seindah ini, tidak ada bedanya dengan di rumah," kekeh Frisca. Daniel menoleh dan tersenyum. "Tentu saja berbeda, di sini menyuguhkan pemandangan yang sangat indah." "Tapi kalau Kak Daniel ke sini hanya untuk urusan bisnis dan tidak mengajakku jalan-jalan sama saja pemandangan di sini tidak menarik untukku." Daniel terkekeh. Ia masuk ke dalam kamar hotelnya dan membawa tas milik Frisca yang berisi beberapa stelan pakaian. Sedangkan gadis itu berdiri di depan jendela menatap ke arah luar dengan pemandangan yang sangat indah di sana. "Cepatlah mandi, setelah ini kita mencari makan di luar," ajak Daniel. "Huum, kita jalan-jalan ke sekitar sana ya, Kak!" pinta Frisca menunjuk ke arah luar. "Iya Sayang, cepatlah bergegas." "Okay Boss!" Fr
Hari sudah sore, Frisca baru saja kembali dari jalan-jalan bersama Dante. Bersama sang Kakak, Frisca bisa bebas ke mana saja. Kadang Frisca berharap kalau suaminya bisa belajar dari Dante. Selama mereka menjadi sahabat, ternyata tidak ada kemiripan sama sekali seiring berjalannya waktu. "Baru pulang? Jalan-jalan ke mana saja, Sayang?" tanya Daniel menatap wajah cantik istrinya. Frisca hanya sekejap saja melirik Daniel sebelum ia tersenyum tipis. "Pokoknya keliling di sekitar sinian saja. Kak Dante juga tidak mengeluh kok, aku mau ke manapun," jawab Frisca melepaskan kardigannya. "Kak Dante juga tidak banyak menolak, dia tetap menjadi laki-laki terbaik buat aku." Mendengar apa yang barusan dikatakan oleh istrinya, Daniel merasa tidak enak hati, terlebih ia tidak bisa menemani Frisca dengan bebas. "Kalau begitu besok adalah giliranku mengajakmu jalan-jalan." Daniel berucap dengan santai, seraya duduk di sofa memperhatikan istrinya yang membuka kotak kue yang baru saja dia beli. F
"Berkas perusahaan itu tidak benar-benar hilang, melainkan ada di brankas utama dan salinannya terpisah, jadi itu penyebab utamanya." Daniel dan Dante mengembuskan napasnya berat, mereka berdua ingin sekali melemparkan baku hantam pada laki-laki tua di depan mereka saat ini. "Lebih baik kau jangan memperkerjakan orang yang sudah tua dan pikun!" seru Dante menatap lurus pada Levin, rekan kerjanya. "Yahh... tidak begitu juga maksudku, Dante," sahut laki-laki itu seraya terkekeh. "Hemm, begitulah, kadang kau cukup bodoh!" Daniel yang sejak tadi diam, ia hanya memperhatikan dua temannya yang saling bertikai. Di sana ada Frisca juga yang ikut bersama Daniel ke kantor hari ini. Frisca awalnya ingin melihat seperti apa hebohnya di kantor pusat saat yang namanya berkas paling penting hilang, tapi saat di sana malah Frisca melihat kakaknya adu mulut. "Kak Dante!" pekik Frisca menarik lengan sang Kakak. "Jangan ribut ih... Malu-maluin aja!" teriak Frisca. "Diam Frisca! Kalau Levin tidak
Beberapa bulan kemudian...."Kalau aku belum pulang, jangan keluar apartemen, Sayang. Kalau ingin apa-apa, tinggal hubungi Kevin dan minta dia datang membelikan apapun yang kamu mau, paham?!" Daniel menatap lekat wajah cantik istrinya. Frisca hanya tersenyum manis dan mengacungkan jempolnya. "Iya Sayang. Aku sudah hafal dengan semua itu. Tidak boleh keluar apartemen, tidak boleh pergi jauh-jauh, jangan membuka pintu kalau tidak kenapa siapa orang yang datang, tidak boleh terlambat sarapan dan..." Daniel pun langsung tersenyum tiba-tiba. Laki-laki itu paham bagaimana dengan istrinya ini. Ia memeluk sang istri dengan sangat erat dan mengecup pipi Frisca. Kandungan Frisca sudah berusia lima bulan, sudah membesar dan Frisca juga membutuhkan banyak waktu istirahat. "Ini Sayang..." Frisca menyerahkan jas hitam milik suaminya. "Jangan pulang sore-sore ya, aku tidak bisa sendirian di sini." "Iya... Tenang saja, aku akan pulang pukul setengah dua nanti siang. Hari ini aku hanya akan meng
Suara Bella pintu apartemen berbunyi, Frisca berjalan cepat-cepat membuka pintu itu, ia ingin tahu siapa yang datang saat ini. Sebelum membuka pintu, Frisca lebih dulu mengintip dan ia terkejut saat melihat suaminya pulang bersama seorang anak kecil. "Miko!" pekik Frisca melebarkan kedua matanya. Segera Frisca membuka pintu, anak kecil laki-laki itu langsung berlari dan menubruknya. Senyuman manisnya membuat Frisca ikut tersenyum. "Hai Miko... Ikut dengan Kak Daniel ya? Mama mana?" tanya Frisca pada bocah itu. "Mama nitipin Miko sama kita, Mama akan pulang ke rumah dan dia akan menghadiri acara persidangan cerai dengan Papa." Ungkapan yang diucapkan oleh Daniel membuat Frisca ternganga, ia langsung menatap wajah suaminya yang kini nampak sangat suram dan sedih. Frisca mendekati laki-laki itu, ia merangkulnya dan mengusap lembut pundak Daniel dengan penuh perhatian. "Semuanya kan baik-baik saja. Semua ini sudah pilihan mereka berdua," ujar Frisca memeluk suaminya. Daniel terbe
"Sudah satu minggu lebih Mama tidak kembali dan tidak bisa kita hubungi. Apa Mama berniat meninggalkan Miko dengan kita?" Frisca duduk di samping suaminya seraya menatap Miko yang tertidur dalam pelukan Daniel. Laki-laki itu menggeleng pelan, ia mengusap-usap lembut pipi Miko."Entahlah, aku juga tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Mama. Harusnya kalau Mama memang menitipkan Miko sama kita, setidaknya dia bilang," ujar Daniel pelan. "Ya, aku juga berharap begitu. Tapi Mama mungkin takut aku keberatan kalau Miko tinggal bersama kita, jadi Mama tidak bilang," ujar Frisca.Anggukan diberikan oleh Daniel, memang apa yang Frisca katakan ada benarnya juga. "Aku tidak tahu, Sayang." Daniel menatap Frisca dengan tatapan yang lembut. "Sudahlah, yang penting kita rawat Miko dengan baik. Semoga kalau sudah besar, dia bisa menjadi anak yang pintar. Baik Mama nanti kembali atau tidak... Miko adalah tanggung jawab kita." Hati Frisca terasa hangat saat mendengar kata-kata yang suaminya ucapk
"Eh eh... Anak siapa ini, Sayang?"Suara Tarisa membuat Frisca menoleh dan tersenyum saat pintu rumah orang tuanya terbuka.Wanita itu tersenyum manis menatap Frisca yang kini menggandeng tangan Miko. "Miko, salim dulu sama Oma," ujar Frisca pada Miko. Bocah laki-laki itu pun langsung meraih tangan Tarisa dan mengecup punggung tangan Tarisa. "Ya ampun anak tampan yang manis, anak siapa ini, Frisca?" tanya Tarisa menatap Frisca dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Frisca tersenyum tipis. "Ini Miko Ma, Miko ini anak angkat Mama mertuaku," jawab Frisca seraya melepaskan kardigannya. "Eh, anak angkat Mama mertuamu?" "Iya Ma, ceritanya panjang. Jangan dibahas kalau lagi ada Daniel ya. Nanti kapan hari aku akan ceritain semuanya ke Mana," ujar Frisca. Wanita itu mengangguk, Frisca memperhatikan Miko yang tengah bersama dengan Tarisa. Mamanya itu sangat menyukai anak kecil, Frisca tersenyum hangat melihat interaksi Mamanya dengan Miko. "Mami, Mami... Miko mau minum itu!" pekik Miko