Share

Kau Sempurna Bagiku, Sayang

Daniel menuruti keinginan Frisca untuk pergi ke rumah kedua orang tuanya. Laki-laki itu tidak mau membuat Frisca sampai kecewa karena satu permintaan sepele yang tidak dituruti.

Kini mereka sudah berada di kediaman kedua orang tua Frisca, bahkan Dante juga berada di rumahnya.

"Kalian kenapa baru ke sini sekarang, Mama sudah menunggu kalian dari kemarin-kemarin!" Tarisa memeluk Frisca seraya menatap Daniel yang duduk bersama Dante.

"Kak Daniel Ma yang ngelarang!" sahut Frisca dengan cepat.

"Ya bagus, jangan sering-sering ke sini," sahut Johan beralih duduk di samping Frisca di hadapan Dante dan Daniel.

Mendengar perkataan Papanya membuat Frisca sedikit sakit hati. Gadis itu cemberut, ia tahu kalau Papanya tidak terlalu menyayanginya seperti dia menyayangi Dante.

Daniel memperhatikan ekspresi Frisca, ia tahu banyak kesedihan di dalamnya. Sering dibanding-bandingkan dengan Kakaknya membuat Frisca menjadi sosok yang gampang putus asa.

"Sebenarnya bisa saja kalau saya mengajak Frisca ke sini setiap hari Pa, tapi saya sedang mengajari Frisca menjadi sosok yang mandiri dan hebat, tidak tergantung pada hal kuat di sampingnya kecuali saya," ujar Daniel tersenyum menatap Johan.

"Halah Daniel, sebenarnya Papa ini juga menyayangkan kalau laki-laki mandiri dan hebat sepertimu mendapatkan anak gadisku yang malas, tidak berguna sama sekali! Sudah aku duga kalau dia hanya menjadi bebanmu!" seru Johan melirik Frisca yang memeluk Mamanya dengan wajah muram.

Daniel menggeleng, "Frisca bukan beban Pa, Frisca istriku. Dia berguna untukku, kalian saja tidak tahu, kalau di rumah dia sangat rajin. Nilai-nilai kampusnya juga jauh lebih baik," ujar Daniel.

Kedua mata Frisca beralih menatap suaminya. Ia tidak tahu kenapa Daniel membuat cerita kebohongan seperti ini.

"Saya akan membuatkan usaha kecil untuk Frisca nanti, biar dia mau belajar lebih baik lagi," ujar Daniel mengimbuhi.

"Bagus, tidak papa kalau denganmu dia membawa perubahan positif. Papa tidak kepikiran melepaskannya dan tetap bersamamu," seru Johan.

Dante melipat bibirnya menahan senyumannya, ia langsung berdehem dan beranjak dari duduknya.

Frisca yang melihat Kakaknya beranjak, ia langsung ikut bangkit dan mengejar Dante.

"Kak! Kak Dante tunggu!" pekik Frisca berlari mengejar Dante yang berjalan ke arah dapur belakang.

"Kak... Kak Dante, ck! Tuli ya?!" pekik Frisca lagi-lagi, gadis itu memeluk lengan sang Kakak.

Dante menghentikan langkahnya dan membuka lemari es, ia memberikan sebotol kecil jus jeruk pada adiknya.

Frisca menerimanya dan mereka masih saling diam. Ia menatap sang Kakak yang meminum minumannya dan kembali menatap Frisca dengan tatapan dingin.

"Daniel sampai berani bohong menutupi keburukanmu di hadapan Papa, Frisca," ujar Dante menatap pasrah pada adiknya.

"Dan aku tidak meminta dia melakukan itu Kak!"

Dante berdecak, ia mendekati Frisca dan menjitak keningnya.

"Itulah sebabnya! Kau harusnya berterima kasih mendapatkan laki-laki seperti dia, Frisca! Hanya ada satu laki-laki di dunia yang seperti Daniel. Apa kau tidak capek dibanding-bandingkan denganku oleh Papa, hah?!"

Frisca meremas botol minuman di tangannya.

"Asal Kakak tahu, semua rasa malas, bodoh, dan aku yang tidak tahu terima kasih ini asalnya dari Papa! Papa yang selalu membandingkan aku dengan Kakak! Aku tahu Kakak pintar, jauh lebih berguna dibandingkan aku! Itulah sebabnya aku memilih menikah supaya aku tidak beban pada Papa! Aku capek Kak!"

Frisca berteriak menjelaskan semuanya pada Dante, laki-laki itu mencekal satu lengan Frisca meskipun adiknya menyentaknya dengan kuat.

"Jangan mengajari dan memintaku sabar Kak, aku dan Kakak memang berbeda! Kakak selalu sempurna di mata Papa, tidak denganku! Aku hanya gadis penuh kesialan yang diberi harapan untuk sukses!"

Frisca langsung berlalu meninggalkan Dante sendirian di dapur. Helaan napas berat terdengar di bibir laki-laki itu. Dante tahu adiknya sangat sensitif dengan hal ini. Ia berharap besar kalau Daniel mau membantu Frisca keluar dari zona mengerikan dalam diri Frisca.

**

Sepulang dari rumah orang tuanya siang tadi, Daniel memperhatikan Frisca yang murung dan diam di kamar. Tidak berisik dan sibuk seperti biasanya, istrinya banyak diam dan melamun.

Daniel yang hendak pergi ke kantornya, laki-laki itu mendekati Frisca yang berbaring menatap ke arah jendela kamarnya.

"Ada apa Frisca?" tanya Daniel mengusap pucuk kepala istrinya.

Frisca meliriknya, "Kakak mau ke kampus?"

"Tidak, Paman Pedro baru saja menghubungiku dan memintaku datang ke kantor saat ini," jawab Daniel.

"Oh," jawab Frisca singkat.

Daniel menarik lengan Frisca dan membantunya duduk. Istrinya nampak terus memalingkan wajahnya, namun Daniel menangkup kedua pipi Frisca untuk menatapnya.

Hanya dalam hitungan detik mereka bertatapan, Frisca menjatuhkan air matanya dan terisak pelan di hadapan Daniel.

"Kak Daniel...."

"Ada apa? Kenapa kau malah menangis bengini, hem?" Daniel menangkup lembut kedua pipi Frisca.

"Aku capek, Papa... Papa selalu menyepelekan aku. Papa selalu membandingkan aku dengan Kakak sampai dia tidak sadar kalau aku sudah putus asa dengan semuanya. Aku malas juga karenanya yang terus menilai kesalahan pada segala hal yang aku lakukan, aku benci dia... Aku benci Papa," jelas Frisca menangis memeluk Daniel.

Sudah Daniel duga kalau Frisca akan mengatakan hal ini. Daniel mendekapnya dan membiarkan Frisca menangis memeluknya.

"Tenanglah Frisca, kau adalah hal yang sempurna untukku," ucap Daniel menenangkan.

"Tidak, aku sama sekali tidak berguna dan hanya selalu merepotkanmu," jawab gadis itu menggelengkan kepalanya.

"No!" Daniel menatapnya lekat, "Frisca, memilikimu adalah hal yang aku nanti, bagaimana mungkin aku menggapmu beban. Kau hanya perlu belajar dan jangan pernah merasa sendirian. Aku selalu bersamamu, membantumu, dan terus memberikan semangat untukmu, okay?!"

Frisca kian menangis dengan kebaikan yang Daniel berikan padanya. Seumur hidupnya hanya Daniel yang memberikan ketulusan seperti ini, meskipun ia pernah merasa disayangi oleh Brandon, tapi dia tidak seperti Daniel.

"Sudah, jangan menangis. Sekarang lebih baik kau pergi makan, setelah itu istirahat." Daniel merapikan rambut Frisca dan mengecup pipi kirinya, "setelah pulang dari kantor, aku akan mengajakmu jalan-jalan. Okay?"

Frisca mengangguk dan mengusap air matanya, ia menatap Daniel dalam-dalam sebelum Frisca tersenyum kecil.

Kenapa dirinya sangat bodoh untuk tidak memberikan kesempatan pada lelaki sebaik Daniel.

"Kak, kita pakai cincin kita masing-masing, ya?" pintanya.

"Nanti kita beli yang baru, cincin pernikahan yang kita simpan bukanlah cincin yang aku inginkan, itu atas nama kau dan Brandon, bukan namaku," ujar Daniel.

"Baiklah, nanti malam belikan untukku juga ya, Kak?"

"Ya Sayangku," jawab Daniel.

Frisca memeluknya dan diam membiarkan Daniel mengusap punggungnya.

"Kak Daniel, kenapa harus menjadi dosen kalau pekerjaan di kantor sangat banyak? Bukannya kau jadinya tidak pernah istrahat?" tanya Frisca tanpa menatapnya.

"Sudah aku bilang padamu, aku hanya meluangkan waktuku untuk berbagi dan menjagamu di sana, memastikan agar istriku tidak macam-macam di kampus," jawab Daniel.

Mendengar jawaban Daniel membuat kedua pipi Frisca bersemu.

"Hiihh... Kak Daniel!"

"Aku tidak akan membiarkanmu lepas bersenang-senang dengan sesukamu sebelum kau menjadi wanita mandiri, sukses, dan pandai. Kau akan mudah dibohongi untuk saat ini, seperti Brandon menipumu."

"Ya, aku memang bodoh." Frisca menyandarkan kepalanya.

"Tidak, sebentar lagi Frisca-ku ini akan menjadi gadis pintar dan mandiri. Kau harus patuh denganku, lihat reaksi Papamu yang akan bangga padamu, kau harus bisa membuktikannya, Sayang. Tetaplah dalam pelukanku, Frisca."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status