Pagi ini semua teman-teman Frisca terkejut dengan kedatangannya di kampus. Rumor kedekatannya dengan Daniel ternyata masih tidak diketahui banyak orang. Daniel melenggang meninggalkan istrinya saat tahu gadis itu ditemani salah satu temannya, Anastasia. Mereka berjalan menuju ke kelas. "Kangen banget pokoknya!" pekik Anastasia memeluk Frisca dengan erat diikuti oleh Allana. "Frisca, sorry ya kita tidak bisa menamanimu saat kau sakit," ucap sedih Allana memeluk Frisca. Frisca mengangguk. "Tidak papa, tenang saja. Suamiku tidak beranjak sedikitpun kok," jawab Frisca berbisik pada mereka. "Aaa... Jadi pingin nikah kan!" pekik Allana menjadi-jadi. "Wahh... Jadi pingin peluk juga!" Suara seseorang berasal dari tepi lapangan basket, Frisca dan kedua temannya menoleh di mana Leon berada di sana memakai jersey basketnya dan tersenyum manis pada Frisca. "Heh buaya buntung, ingat ya, kalau Frisca udah ada pawangnya!" peringat Anastasia pada Leon. "Ck, bawel banget sih pacarnya tukang m
Daniel meninggalkan kantornya lebih awal, ia baru saja ditemui oleh Dante yang marah besar padanya, bahkan kalau Justin tidak di sana, Dante mungkin akan menghabisi Daniel. Dengan perasaan kacau, Daniel mengemudikan mobilnya menuju ke rumah mertuanya. "Apa lagi yang terjadi kali ini, astaga...." Daniel mengusap wajahnya sesekali. Stir mobilnya ia cengkeram erat-erat. Pikirannya yang sangat kacau tentang istrinya. Butuh beberapa menit Daniel sampai di rumah mertuanya. Segara Daniel turun dari dalam mobil seraya menggulung lengan panjang kemejanya dengan tergesa-gesa. Daniel masuk ke dalam rumah, ia sudah disambut dengan Johan. "Maaf Pa, aku terlambat. Aku....""Duduk!" sentak Johan marah, Daniel merasakan kekecewaan lelaki itu. Daniel pun langsung duduk, di rumah cukup sepi dan Mama mertuanya tidak terlihat menyambutnya. Apa lagi Dante yang jelas-jelas marah padanya. "Papa tidak habis pikir denganmu, Daniel," ujar Johan tegas menatap wajah Daniel. "Selama ini Papa memang berlak
Keesokan harinya, Frisca dibujuk oleh Daniel untuk diajak pulang. Daniel berjanji akan melindunginya dan tidak akan membiarkan Frisca kembali disakiti oleh Silvia. Daniel juga menjelaskan pada istrinya untuk mencoba lebih dewasa menghadapi masalah, Frisca punya Daniel yang bisa ia ajak berbicara. "Kak, Frisca takut," lirih Frisca menggenggam tangan Daniel.Daniel merangkulnya erat. "Kenapa takut, Sayang? Ini rumah kita, rumahku sama saja dengan rumahmu. Aku akan meminta pada Mama untuk cepat pulang!" Frisca mendongak menatap wajah suaminya. "Kakak mengusir Mama?" "Heem, dia menyakitimu." "Tapi Kak Daniel, Mama...."Ucapan Frisca terhenti begitu Daniel menariknya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Di sana kedua orang tua Daniel menyambutnya, termasuk Kenan yang begitu merasa bersalah pada Frisca. Laki-laki itu mendekati menantunya dan menatap wajah Frisca yang sangat sedih. "Nak, kau baik-baik saja, Sayang?" tanya Kenan dan Frisca menggeleng. "Drama! Istrimu itu kebanyakan d
Pagi ini suasan kelas sangat jenuh, semua siswi sudah berdandan centil menunggu Daniel. Tapi belum muncul juga hingga beberapa teman Frisca terlihat kesal. "Frisca, Pak Daniel ke mana sih, kok kelasnya diganti sama Pak Sam?" Brenda, gadis berambut pirang yang duduk di belakang Frisca mulai bertanya. Seolah mereka semua tahu kalau Frisca sumber jawaban dari kebingungan mereka tentang Daniel. Anastasia yang duduk bersama Frisca langsung berdecak pelan. "Apa kau pikir Frisca ini stalkernya Pak Daniel yang tahu ke mana aja laki-laki itu pergi?!" sinis Anastasia. "Ada kok, cuma dia bilangnya tidak masuk ke kelas kita hari ini. Dia pergi meeting pagi tadi di kantornya sama beberapa koleganya dari Praha. Mungkin sekarang sudah di sini." Frisca menjawab dan menjelaskannya secara detail pada teman-temannya. Brenda, Selia, Kalle, dan yang lainnya menaikkan kedua alisnya. Mereka sedikit heran tentang Frisca yang tahu sedetail itu. Kalau Anastasia dan Allana yang tidak lagi heran dengan jaw
Setelah satu minggu Frisca menjalani kehidupan normalnya seperti dulu, tidak ada hambatan apapun. Hubungannya dengan Daniel sangat baik, laki-laki posesif yang terus mengintai Frisca ke manapun Frisca berada. Pagi ini Frisca berada di kampusnya, gadis itu membawa banyak buku dari perpustakaan dengan sangat kewalahan. "Berat," lirih Frisca membawa tumpukan buku. "Ke mana Anastasia, tumben belum datang." Langkah gadis itu melewati sebuah ruangan, Frisca menoleh ke dalam sana di mana nampak Daniel yang tengah mengobrol dengan seorang wanita. Sangat akrab dan begitu dekat. Mereka sedang asik tertawa, bahkan wanita itu juga nampak memukul pelan pundak Daniel. Bisa-bisanya wanita itu genit dengan Daniel. "Ekhem! Cemburu hanya nambah berat, mana bukunya!" Frisca mendongak menatap sosok laki-laki yang berdiri di hadapannya saat ini. Leon berdiri tersenyum manis memakai jersey basketnya berwarna merah. Frisca memberikan semua bukunyapada Leon dengan kasar. "Bawa ini semua, bawa!" pekik
Daniel mengembuskan napasnya panjang kala keluar dari dalam mobilnya seraya menyampirkan mantel hangat miliknya di lengan. Lengan panjang kemeja yang ia gulung sampai siku. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah. Kedatangannya malam ini tidak disambut oleh sang istri kecilnya seperti biasanya. Melainkan hanya Bibi yang sedang menyiapkan makan malam untuk Daniel. "Malam Bi," sapa Daniel membuat wanita itu menoleh ke belakang dan tersenyum. "Malam juga Tuan." Bibi mengembuskan napasnya pelan. "Itu Tuan, Nona sudah makan malam, tadi pulang sore diantarkan Tuan Dante. Katanya tidak mau bertemu Tuan dulu, lagi males kata Nona."Laki-laki itu mengangguk. "Sekarang dia di mana?" "Nona ada di kamarnya, Tuan." Daniel mendongakkan kepalanya menatap lantai dua, ia melangkahkan kakinya menaiki anak tangga menuju kamarnya. Keningnya mengerut diikuti alisnya yang terangkat sebelah setelah membaca selembar kertas yang ditempelkan di depan pintu kamarnya. 'Tidak menerima laki-laki genit t
Pagi tiba, Frisca baru saja bangun dari tidurnya. Tidak biasa dirinya tidak mendapati suaminya di sampingnya seperti biasa."Ke mana Kak Daniel, tumben," cicit Frisca menyibakkan selimutnya. Gadis itu beranjak turun dari atas ranjang dan berjalan keluar dari dalam kamar tersebut. Frisca berdiri di selasar, di sana ia melihat seorang Daniel yang nampaknya bergegas pergi. "Ekhem!" Deheman penuh kesengajaan membuat sosok laki-laki tampan berbalut tuxedo hitam di bawah sana mendongak menatapnya. Seketika Daniel melambaikan tangannya meminta pada istrinya untuk segera turun. "Aku pikir hari ini libur," cicit Frisca cemberut. "Aku ada pertemuan dengan rekan bisnisku, Sayang. Maaf ya, nanti malam saja kita jalan-jalan, okay?" Daniel mengusak pucuk kepala Frisca dengan gemas. Frisca menjadi lesu, padahal hari ini ia ingin berduaan dengan Daniel. Tapi laki-laki itu nyatanya sama saja seperti Kakaknya, sangat sibuk. Kalau Daniel tidak bisa membuat mood Frisca membaik, Frisca masih punya
"Terima kasih bunganya ya, Niel." Sarah tersenyum-senyum menghirup aroma mawar merah yang ia rebut begitu saja dari tangan Daniel saat ia bertemu tanpa sengaja dengan laki-laki itu di depan restoran. Daniel menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. "Sebenarnya aku membelikan bunga itu untuk seseorang. Tapi sudahlah, biar aku nanti membelikannya lagi." Senyuman Sarah yang tadinya merekah kini perlahan pudar setlah Daniel mengatakan kalau ternyata bunga itu tidak sebegitu tulus ia berikan padanya. Mereka berdua saling diam menikmati hidangan yang tersaji untuk keduanya, namun perhatian Daniel dan Sarah tiba-tiba teralihkan saat mendengar keributan dari depan. "Mana Daniel hah?! Biar Kakak banting dia!" teriak Dante menggulung lengan kemeja yang dipakainya."Jangan malu-maluin, Kak Dante!" teriak Frisca menangis mengejar Dante. "Kak! Laporin Mama nih! Kak Dante, ihhh!" Frisca berlari mengejar sang Kakak yang kini berjalan dengan kesalnya ke arah meja di mana Daniel yang Sarah bera