"Daniel, kenapa terburu-buru? Frisca mana?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Tarisa, wanita itu malah menanyakan di mana Frisca saat ini berada, padahal Daniel datang untuk menjemputnya."Loh, memangnya Frisca tidak di sini, Ma?" tanya Daniel melebarkan kedua matanya. "Tidak, makanya Mama bertanya, kenapa kamu ke sini sendirian?" tanya wanita itu menatap di samping Daniel dan masih mencari-cari. "Kemarin siang Dante yang menjemput Frisca, Ma. Aku pikir dia mengantarkan Frisca ke sini," jelas Daniel semakin pusing. Tarisa menggelengkan kepalanya dan wanita itu terlihat sangat cemas. Hingga dari belakang kiri nampak Johan yang muncul dan laki-laki itu mendekati Daniel bersama istrinya. Wajah panik dua orang di depannya membuat Johan bertanya-tanya, terlebih lagi kalau Daniel, menantunya itu sudah cemas pasti ada hubungannya dengan Frisca. "Ada apa ini? Kenapa kalian terlihat sangat cemas?" tanya Johan menatap mereka berdua bergantian. "Frisca Pa! Dia dibawa entah ke mana sama
Frisca diam bersama dengan Camelia di dalam kamar sang Kakak. Gadis itu kesal hanya dengan melihat wajah suaminya yang tiba-tiba saja muncul menjemputnya pulang. Camelia berjuang mati-matian membujuk rayu Frisca untuk tidak lagi sedih dan berpikiran yang aneh-aneh setelah tahu adik iparnya kini tengah hamil muda. "Frisca, jangan sedih-sedih terus. Jangan mikirin hal yang aneh-aneh ya," bujuk Camelia mengusap punggung Frisca dengan lembut. "Frisca nggak suka kalau Kal Dante kasar sama Kakak. Mau sampai kapan sih Kak, kita ini para perempuan disakiti terus?" Frisca memeluk Camelia dengan erat. Usapan Camelia pun terhenti, mungkin ia juga sadar dan menyadari dengan apa yang Frisc katakan saat ini. "Tapi Kakak sudah terbiasa dan hafal dengan sikap dan sifat Kakakmu, jangan khawatir," bisik Camelia membujuk Frisca lagi dan lagi. Frisca enggan mendengarkan Camelia, ia masih sedih dan menggeleng-gelengkan kepalanya terus. Hingha tiba-tiba saja pintu kamar Dante terbuka. Di sana nampa
Frisca tidak mau dilarang-larang lagi tentang apapun yang dia inginkan, sedangkan Daniel selalu merasa cemas tiap kali Frisca melakukan banyak hal. Bahkan kali ini ia harus berpura-pura bekerja dan fokus pada laptopnya meskip Daniel yang duduk di sofa hanya diam memperhatikan istrinya yang sedang memasak di dapur. "Setelah memasak itu, jangan melakukan apapun!" seru Daniel bersuara. Frisca menoleh, ia menatap suaminya dan menggeleng. "Memangnya kenapa? Kuenya belum selesai. Bibi janji mau mengajarin Frisca, tapi..." "Kalau aku bilang sudah ya sudah, Sayang. Jangan membantah!" tegas Daniel lagi. Frisca mencebikkan bibirnya, semakin hari suaminya memang sangat menyebalkan dan semaunya sendiri. Gadis itu menyudahinya seketika, ia sendiri sadar kalau Daniel juga tidak sepenuhnya bekerja. Laki-laki itu hanya sibuk mengawasinya saja. "Kak Daniel... Kak Daniel sejak tadi ngerjain apa?!" sinis Frisca menyipitkan kedua matanya memperhatikan suaminya. "Ya kerja seperti biasa. Kenapa? J
"Ibu hamil nggak boleh banyak tingkah!"Seruan itu meluncur dari bibir Dante. Laki-laki itu pagi ini sudah menjaga Frisca di apartemennya, di sana juga ada Daniel yang heboh pagi-pagi datang ke tempat Dante. Sedangkan Frisca yang kesal setengah mati dengan suaminya, ia pun hanya pasrah dan diam-diam saja menyangkut ini semua yang Daniel inginkan. "Harusnya kalau kalian ini ingin bertemu, bisa nggak sih tinggal ketemu saja jangan ajak-ajak Frisca, Kak Daniel nih!" pekik Frisca menatap kesal pada suaminya. "Sudahlah sayang, diam saja duduk di sana. Pekerjaanku biar cepet selesai," ujar Daniel masih menunjukkan senyuman hangat pada Frisca, istrinya yang paling rewel namun tetap ia sayangi. "Iya, iya!" Frisca cemberut mendengar apa yang Daniel katakan. Gadis itu turun dari atas sofa, tatapan Daniel tidak lepas dari semua gerak dan gerik Frisca. Bahkan saat gadis itu melangkahkan kakinya menuju ke dapur pun Daniel tetap menatapnya hingga mengabaikan Dante yang mengoceh menjelaskan ba
Seperti biasa, setiap pagi Frisca selalu saja kesulitan menyingkirkan lengan kekar suaminya yang melilit perutnya dengan sangat erat. Laki-laki itu menyembunyikan wajah tampannya di ceruk leher Frisca dengan lekat. "Masih pagi, Sayang. Tidur saja dan jangan ke mana-mana sampai aku bangun," bisik Daniel kian erat memeluknya. "Bisa nggak jangan kencang-kencang meluknya. Ini adik di dalam pasti tertekan!" pekik Frisca melirik suaminya. Seketika pelukan Daniel pun merenggang, laki-laki itu melepaskan rengkuhannya dan mengusap wajahnya sesekali ia menguap lebar. Sedangkan Frisca duduk di sampingnya seraya merapikan rambut panjangnya. "Hari ini saatnya ke dokter, jangan lupa. Setiap bulan harus terus dipantau supaya tahu kondisi kesehatanmu, Sayang," ujar Daniel mengusap pinggang Frisca dan beralih menyembunyikan wajahnya di perut rata sang istri. "Tapi aku kan tidak sakit, Niel. Tidak perlu," ujar Frisca menggelengkan kepalanya. "Patuh denganku. Aku ini suamimu, jangan bandel!" ser
"Waahh... Ternyata kantor Kak Daniel benar-benar besar. Mirip seperti punya Papa, tapi ini lebih bagus!" Frisca berdecak kagum melihat perusahaan milik Daniel. Padahal dulunya sering sekali Frisca datang ke tempat ini saat mengantarkan berkas milik Dante yang tertinggal, tapi siapa sangka kalau tempat ini adalah milik Daniel. Sementara Frisca kini berjalan tertinggal di belakang Daniel. Laki-laki itu tengah berbincang dengan salah satu orang-orangnya di dalam sana, Frisca masih berdiri di ambang pintu. Menatap banyak perubahan tentang kantor megah milik Daniel. "Emm... Maaf Pak Daniel, kalau boleh tahu dia kan Adiknya Pak Dante, bukan?" tanya salah satu karyawan Daniel menunjuk ke arah Frisca. Seketika Daniel membalikkan badannya menatap Frisca yang kini terlihat menatap seisi kantor itu. Daniel mengangguk pelan. "dia istriku." "Hah?!" pekik beberapa orang di sana yang sangat terkejut dengan pengakuan Daniel barusan. "I... Istri?!" pekik semua orang melebarkan kedua matanya. "
"Kalau kau sedang bersama Kakak, jangan galau-galau! Nanti yang ada Camelia menghajarku kalau dia tahu aku membuat galau!" Dante mengomeli Frisca seraya menata makanan di hadapan adiknya yang tengah sangat-sangat badmood. Gadis itu menatap makanan di hadapannya dengan tatapan tak selera. "Frisca sedih," ucap gadis itu murung. "Sedih terus. Kapan senengnya? Dengar Sayang, Kakak sekarang sudah menikah. Apapun yang kau rasakan pasti Kakak rasakan juga, hanya saja pernikahan Kakak tidak sebahagia pernikahanmu dengan Daniel. Kau tahu itu!" Frisca mengerutkan keningnya dan ia mulai mengambil sumpit di atas mangkuk ramen yang Dante belikan untuknya. Ia menatap Kakaknya dengan wajah lekat, Frisca sama sekali tidak paham dengan yang Dante maksud saat ini, tidak bahagia dengan pernikahannya dan merasa sangat sedih. "Maksud Kakak apa?" Polosnya Frisca bertanya. Dante tersenyum tipis. "Coba kau pikir, Kakak menikah dengan Camelia tanpa sepengetahuan siapapun. Kakak hanya memenuhi tanggung
"Dia masih tidak mau terbuka denganku," lirih Frisca duduk sendirian di ruang makan. Sesekali ia melirik suaminya yang sedang sibuk di ruangan kerjanya. Frisca sangat sedih menatap Daniel yang begitu tertutup. Rasa menyesal kembali menyeruak dalam hatinya. Frisca menutup kedua matanya dan menyembuhkan wajahnya di atas lipatan tangannya. "Kenapa tadi aku harus ikut ke kantor? Andai aku ke tempat Mama atau pulang sekalianpun, mungkin aku tidak akan merasakan perasaan ini. Menyebalkan!" umpat Frisca kesal dengan sendirinya. Helaan napas terdengar dari bibir Frisca, ia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ke kamarnya di lantai dua. Gadis itu melirik suaminya yang tidak menatapnya sedikitpun. 'Ayolah Frisca, cobalah untuk lebih dewasa dan lebih peka lagi.' Frisca meninggalkan tempat itu dan berjalan naik ke lantai dua. Sepeninggalnya, Daniel ternyata menatapnya dan laki-laki itu menunjukkan rasa bersalahnya. Dia dalam kamarnya, Frisca mencoba menghubungi Dante. Di setiap rasa