Dia adalah priaku. Kata-kata Chana benar-benar seperti guntur yang membawa petaka. Siapa yang menyangka, Alice, tunangan bisnis dari dua keluarga yang telah setuju, mengikuti Matteo sejak awal, telah mendengarkan semuanya. Gadis ini berdiri di balik pintu, tak bergerak, menutup bibirnya tak percaya dalam gemetar kemarahan. Rasa cintanya, rasa sukanya dan rasa ingin menaklukkan Matteo kini terasa jauh dan kian jauh. Hal ini dia tak akan membiarkannya. Gadis yang merebut tunangannya, dia tak bisa membiarkannya. "Liam, bagaimana kau bisa seperti ini. Sudah kukatakan, bahwa kau tak bisa memiliki wanita lain. Keluargamu dan keluargaku telah membangun mimpi bersama untuk bersatu. Harusnya kau patuh. Harusnya kau menurut dan mengikutiku. Harusnya kau tetap diam dan menjadi aktor yang baik. Aku sudah bersabar dengan banyaknya skandalmu selama ini. Tapi sekarang sepertinya kau benar-benar menganggap wanita itu istimewa. Dan aku tak bisa membiarkan rumput liar menghalangi jalanku." Alice men
Chana mulai membuka kedua matanya yang masih berat saat hari sudah mulai sore. Lengan berat di atas perutnya, membuatnya mengernyit curiga. Dia mencoba memahami dalam diam sebelum melirik ke atas pelan, pada wajah tampan yang masih terpejam. Mereka dalam satu selimut yang sama. Dalam kamar yang sama, dan saling berpelukan seolah itu bukanlah hal yang aneh. Tapi kesadarannya yang baru kembali telah membuat kedua matanya terbelalak lebar.Pria tampan ini kenapa bisa ada disini? Tidak, yang lebih parah kenapa mereka berdua terbaring tanpa busana di bawah selimut yang sama? Tak berani bergerak, Chana mencoba mengingat semuanya. Tapi wajah tampan di dekatnya membuat seluruh fokusnya hilang tak terarah. Dia justru menikmati wajah tampan yang terpejam seolah kesempatan itu adalah hal yang langka.Menelusuri setiap inci ketampanan wajah di depannya sangat menyenangkan. Dia menyadari bahwa mungkin Tuhan terlalu menyayangi pria ini hingga menciptakan ketampanan yang sedemikian rupa. Seperti p
"Kakak pertama, kakak ipar dalam bahaya. Seorang pria yang mengaku sebagai tunangannya mencoba merebut tempatmu tepat di depan mataku. Karena aku dalam masa hukumanmu, maka aku hanya akan memberikan info ini padamu." Seseorang mencoba meraih tempatnya? Orang itu pasti bermimpi. Saat itu, Axel tengah dalam perjalanan menuju bandara untuk kembali ke kota A namun pesan yang Matteo kirimkan mengganggu ketenangannya. Dia berniat menyelesaikan urusannya dengan Chana saat sudah kembali tapi tak menyangka jika keadaan akan berubah seperti ini. Akhirnya dia mencari keberadaan Chana lalu menemukan Chana tengah menikmati minuman hingga mabuk. "Apa kau benar-benar akan menuntutku? Hmn?" Pertanyaan itu terlontar lagi. Chana berdiri, tubuhnya terhuyung karena kakinya tak berpijak dengan benar hingga Axel membantunya agar tak terjatuh. Rasa pusing di kepalanya begitu hebat, tapi perasaan yang sebelumnya membaik kini berubah menjadi sedih dalam sesaat. "Kau mabuk, ayo kita pulang." "Axel!" bent
"Chana, jangan menggodaku. Tetaplah diam dan jangan bergerak."Tatapan Axel meredup, dia mengatur napasnya, dan mencoba mengendalikan dirinya sebaik mungkin. "Ingatlah Axel, kau adalah pria yang baik. Aku pria yang baik, aku pria yang baik. Ya Tuhan, aku adalah pria yang baik," ucap Axel dalam hati. Mengingatkan dirinya bahwa dia tak boleh melakukan hal yang begitu dia inginkan."Axel.""Tidak.""Axel, aku ingin ... dirimu." Chana meraba dada Axel, mengelusnya lembut hingga tubuh Axel menegang. Merasakan perubahan di wajah Axel, dia merasa itu sedikit berhasil. Dia pun semakin berani, menelusupkan tangannya, menepikan jas Axel lalu meletakkan tangannya di atas kemeja Axel. Tangannya mulai bermain di tombol-tombol kemeja yang terkancing rapat."Chana, hentikan." Mata Axel menggelap saat bibir Chana mengatakan hal itu. Seluruh darahnya bergejolak hebat. Sentuhan lembut membuatnya memikirkan hal tersebut berkali kali. Keinginannya mulai bangkit setelah mencoba meredakan berkali kali. Dia
Keduanya terjalin erat diiringi rintihan yang memenuhi ruangan. Chana terlihat sedikit lelah tapi tubuhnya diluar kendalinya. Axel, yang masih menggerakkan tubuhnya terlihat sesekali mencium bibir Chana kuat. Keduanya saling memuaskan dalam hentakan-hentakan yang dalam."Axel, aku lelah.""Sayang, bukankah kau sudah berjanji beberapa jam yang lalu?""Ugh, a-aku lupa.""Siapa aku?""Hu-hubby," jawab Chana sambil mengerang.Axel tersenyum, mengecup tengkuk Chana lalu menggigit pelan, meninggalkan jejak kepemilikan untuk kesekian kalinya. "Kapan kita akan menikah.""E-esok.""Kau akan menepati janjimu kan?"Chana tak menjawab, bibirnya terlalu sibuk untuk mendesah. Tak mendapatkan jawaban, Axel berhenti menggerakkan tubuhnya dan membiarkan Chana menyadarinya."Hubby, lagi. Ayo lagi," pinta Chana tanpa sadar.Axel tersenyum, dia bergerak sesuai kemauan Chana."Lagi, lebih keras lagi.""Sayang kau belum menjawabnya.""A-apakah i-itu penting," elak Chana di antara desahannya.Dan lagi - lag
"Bisakah aku mengajukan syarat?" Chana menunduk, mengaduk makanan di depannya.Axel meletakkan tabletnya. Dia menatap Chana sedikit. "Apa kau memiliki suatu keadaan?""Itu, aku memiliki sedikit urusan. Sampai saat itu selesai bisakah kita merahasiakannya?""Urusan seperti apa?""Axel,""Sayang, aku suamimu sekarang. Aku berhak tahu hal-hal yang kau lakukan."Chana terdiam. "Itu bukan masalah yang akan menyeret namamu. Aku janji.""Tidak. Aku tetap harus tau.""Hubby, kumohon."Axel memejamkan matanya, setiap melihat Chana memohon dengan mata bulat bersinar, dia selalu kalah. "Kau tak akan mengajukan kontrak seperti terakhir kali kan?"Chana menggeleng."Chana, pernikahan kita sah secara hukum. Aku mengingatkanmu karena terakhir kali kau mengajukan pernikahan kontrak.""Itu tidak akan terjadi. Hubby, kau adalah yang terbaik. Kau tahu itu," Chana memujinya. Saat seperti ini, dia harus bersikap lembut agar Axel luluh."Dan jangan pernah menyentuh alkohol kedepannya. Jika kau dalam situa
"Ayah," Chana berlari memeluk ayahnya dengan kaku. Dia sangat tahu kemarahan ayahnya di setiap perubahan sikapnya akhir akhir ini. Terlebih tuntutan dari Axel sudah cukup mengacaukan saham keluarga Oswald hingga terendah. Tapi karena dia dan Axel telah menikah, selanjutnya dia tak perlu mengkhawatirkan apapun. Hanya saja dia tak terbiasa bersikap seperti ini. Tapi untuk menggapai rencananya, dia harus merubah sikapnya. Elden baru saja kembali dari ruang rapat. Dia cukup terkejut dengan kedatangan Chana di perusahaan karena ini baru pertama kalinya Chana datang. Tapi dia lebih terkejut saat putrinya berlari lalu memeluk erat tubuhnya. Ini sedikit aneh. "Chana, kau baik-baik saja?" Tak ada hal yang bisa Elden ekspresikan karena keterkejutannya. Dia lebih mencurigai putrinya yang bersikap manja padanya. Chana mengangguk. "Ayah, aku ... kurasa aku sakit." Mata Elden terbelalak. Kapan terakhir kali dia mendengar keluhan Chana selembut ini? Tapi meski begitu dia tetap saja tak terbiasa
"Logan, kumohon." Chana terisak, mencoba memberontak terus menerus. Tapi pria itu bagai batu, tak bergerak selain terus menjilati jari-jari kakinya. "Menangislah," ucap Logan lembut. "Aku lebih menyukainya." Bibirnya terus bergerak, meninggalkan jejak merah di betis putih Chana. "Kau gila! Brengsek! Bajingan! Logan, lepaskan aku. Kumohon lepaskan aku!" Logan tertawa, dia menatap Chana penuh minat. Dia melihat bagaimana wajah putih itu merah karena tamparannya. Dia melihat air mata itu terus turun dari mata sayu yang menatapnya penuh kebencian. Dulu mata itu bersinar, menatapnya penuh cinta, tapi sekarang semua berbeda. Dia suka melihat bibir kecil tipis itu mengucapkan makian, lalu memohon penuh harapan seperti sekarang. Karena dulu bibir manis itu selalu mengagungkan juga menyebut cinta berulang kali. Memujanya bagai dewa hingga membuatnya bosan tak terkira. Tapi cinta Chana tulus. Dia tahu itu. Lalu tiba-tiba, Chana-nya berubah. Tak hanya menjauhinya juga tak peduli padanya hany