"Chana, jangan menggodaku. Tetaplah diam dan jangan bergerak."Tatapan Axel meredup, dia mengatur napasnya, dan mencoba mengendalikan dirinya sebaik mungkin. "Ingatlah Axel, kau adalah pria yang baik. Aku pria yang baik, aku pria yang baik. Ya Tuhan, aku adalah pria yang baik," ucap Axel dalam hati. Mengingatkan dirinya bahwa dia tak boleh melakukan hal yang begitu dia inginkan."Axel.""Tidak.""Axel, aku ingin ... dirimu." Chana meraba dada Axel, mengelusnya lembut hingga tubuh Axel menegang. Merasakan perubahan di wajah Axel, dia merasa itu sedikit berhasil. Dia pun semakin berani, menelusupkan tangannya, menepikan jas Axel lalu meletakkan tangannya di atas kemeja Axel. Tangannya mulai bermain di tombol-tombol kemeja yang terkancing rapat."Chana, hentikan." Mata Axel menggelap saat bibir Chana mengatakan hal itu. Seluruh darahnya bergejolak hebat. Sentuhan lembut membuatnya memikirkan hal tersebut berkali kali. Keinginannya mulai bangkit setelah mencoba meredakan berkali kali. Dia
Keduanya terjalin erat diiringi rintihan yang memenuhi ruangan. Chana terlihat sedikit lelah tapi tubuhnya diluar kendalinya. Axel, yang masih menggerakkan tubuhnya terlihat sesekali mencium bibir Chana kuat. Keduanya saling memuaskan dalam hentakan-hentakan yang dalam."Axel, aku lelah.""Sayang, bukankah kau sudah berjanji beberapa jam yang lalu?""Ugh, a-aku lupa.""Siapa aku?""Hu-hubby," jawab Chana sambil mengerang.Axel tersenyum, mengecup tengkuk Chana lalu menggigit pelan, meninggalkan jejak kepemilikan untuk kesekian kalinya. "Kapan kita akan menikah.""E-esok.""Kau akan menepati janjimu kan?"Chana tak menjawab, bibirnya terlalu sibuk untuk mendesah. Tak mendapatkan jawaban, Axel berhenti menggerakkan tubuhnya dan membiarkan Chana menyadarinya."Hubby, lagi. Ayo lagi," pinta Chana tanpa sadar.Axel tersenyum, dia bergerak sesuai kemauan Chana."Lagi, lebih keras lagi.""Sayang kau belum menjawabnya.""A-apakah i-itu penting," elak Chana di antara desahannya.Dan lagi - lag
"Bisakah aku mengajukan syarat?" Chana menunduk, mengaduk makanan di depannya.Axel meletakkan tabletnya. Dia menatap Chana sedikit. "Apa kau memiliki suatu keadaan?""Itu, aku memiliki sedikit urusan. Sampai saat itu selesai bisakah kita merahasiakannya?""Urusan seperti apa?""Axel,""Sayang, aku suamimu sekarang. Aku berhak tahu hal-hal yang kau lakukan."Chana terdiam. "Itu bukan masalah yang akan menyeret namamu. Aku janji.""Tidak. Aku tetap harus tau.""Hubby, kumohon."Axel memejamkan matanya, setiap melihat Chana memohon dengan mata bulat bersinar, dia selalu kalah. "Kau tak akan mengajukan kontrak seperti terakhir kali kan?"Chana menggeleng."Chana, pernikahan kita sah secara hukum. Aku mengingatkanmu karena terakhir kali kau mengajukan pernikahan kontrak.""Itu tidak akan terjadi. Hubby, kau adalah yang terbaik. Kau tahu itu," Chana memujinya. Saat seperti ini, dia harus bersikap lembut agar Axel luluh."Dan jangan pernah menyentuh alkohol kedepannya. Jika kau dalam situa
"Ayah," Chana berlari memeluk ayahnya dengan kaku. Dia sangat tahu kemarahan ayahnya di setiap perubahan sikapnya akhir akhir ini. Terlebih tuntutan dari Axel sudah cukup mengacaukan saham keluarga Oswald hingga terendah. Tapi karena dia dan Axel telah menikah, selanjutnya dia tak perlu mengkhawatirkan apapun. Hanya saja dia tak terbiasa bersikap seperti ini. Tapi untuk menggapai rencananya, dia harus merubah sikapnya. Elden baru saja kembali dari ruang rapat. Dia cukup terkejut dengan kedatangan Chana di perusahaan karena ini baru pertama kalinya Chana datang. Tapi dia lebih terkejut saat putrinya berlari lalu memeluk erat tubuhnya. Ini sedikit aneh. "Chana, kau baik-baik saja?" Tak ada hal yang bisa Elden ekspresikan karena keterkejutannya. Dia lebih mencurigai putrinya yang bersikap manja padanya. Chana mengangguk. "Ayah, aku ... kurasa aku sakit." Mata Elden terbelalak. Kapan terakhir kali dia mendengar keluhan Chana selembut ini? Tapi meski begitu dia tetap saja tak terbiasa
"Logan, kumohon." Chana terisak, mencoba memberontak terus menerus. Tapi pria itu bagai batu, tak bergerak selain terus menjilati jari-jari kakinya. "Menangislah," ucap Logan lembut. "Aku lebih menyukainya." Bibirnya terus bergerak, meninggalkan jejak merah di betis putih Chana. "Kau gila! Brengsek! Bajingan! Logan, lepaskan aku. Kumohon lepaskan aku!" Logan tertawa, dia menatap Chana penuh minat. Dia melihat bagaimana wajah putih itu merah karena tamparannya. Dia melihat air mata itu terus turun dari mata sayu yang menatapnya penuh kebencian. Dulu mata itu bersinar, menatapnya penuh cinta, tapi sekarang semua berbeda. Dia suka melihat bibir kecil tipis itu mengucapkan makian, lalu memohon penuh harapan seperti sekarang. Karena dulu bibir manis itu selalu mengagungkan juga menyebut cinta berulang kali. Memujanya bagai dewa hingga membuatnya bosan tak terkira. Tapi cinta Chana tulus. Dia tahu itu. Lalu tiba-tiba, Chana-nya berubah. Tak hanya menjauhinya juga tak peduli padanya hany
"Selamat malam calon ayah mertua."Agraf ingin sekali tertawa tapi rasa berat di hatinya menghimpit erat bagai batu besar yang di limpahkan. Hanya dengan sekali lihat, dia bisa mengetahui bahwa pria asing yang dipeluk Chana tak sederhana seperti yang terlihat. Dan tak butuh waktu lama dia tahu bahwa Axel akan menjadi saingannya.Elden menajamkan pendengarannya meski wajahnya tak memiliki banyak ekspresi. Keadaan putrinya yang sangat mengenaskan cukup membuat amarahnya meledak. Tapi seorang pria asing yang baru pertama kali dia lihat memanggilnya Ayah mertua? Apakah pria itu bercanda? Logan adalah pria yang dikencani putrinya. Dan setelah ini dia akan memastikan untuk memutuskan semuanya.Sedangkan Chana menggertakkan giginya. Dia sudah sangat lelah, dimulai dari Logan yang bertindak brutal lalu Agraf yang memperlakukannya sangat manis, Ayahnya yang tampak sangat peduli. Sekarang, Axel, suami yang baru dia nikahi tidak kurang dari dua hari datang dan seolah ingin membuat masalah. Dia m
"Ayah, ibu tidak mati.""Tidak, ibu tidak pernah meninggalkanmu. Ibu tidak pernah lari apa lagi tinggal di Kota G." "Tanda tangan itu palsu!" "Ayah, renungkan. Cinta ibu padamu, kau tahu seberapa besar itu. Ayah lah yang menyakiti ibu." Elden tak bergerak, menatap langit malam dengan resah. Ucapan demi ucapan Chana terngiang. Selama beberapa hari Chana tinggal di rumah utama, setiap hari putrinya itu selalu mengatakan hal yang membuat rindunya pada Kelsyana menyeruak keluar. Tangannya meremas sebuah kalung dengan liontin berlian kecil berwana Ruby. Wajah Kelsyana terbayang riang di pelupuk matanya. Keraguan terlintas di benaknya."Kelsya, apakah kau benar-benar tidak meninggalkanku? Aku menyakitimu. Benar, akulah yang menyakitimu." Penghianatan yang pernah dia lakukan terbayang. Dia tanpa sadar menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian kejam yang pernah dia torehkan.Elden mencium kalung dalam genggamannya sekali lagi, cinta di hatinya yang dipaksa hilang kini menyala kembali. Terb
"Sayang, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menyakitiku? Sayang, Sayang, Sayang." "Berhenti bicara dan keluar dari kamarku!" Mesya kesulitan berjalan karena tiba-tiba Elden menarik tangannya lalu menyeretnya turun dari tempat tidur. Kepanikan terlintas, tapi dia bahkan tak sempat memberontak."Tidak, Elden coba jelaskan padaku. Apa salahku? Kenapa kau tiba-tiba mengusirku?" "Tanyakan pada dirimu sendiri. Kenapa aku bisa semarah ini!" "Elden, jangan seperti ini. Chana, benar, Chana. Apakah ini karena Chana? Apa yang gadis lancang ini katakan padamu sampai kau marah padaku?" "Lancang?" Tawa Elden terdengar menyeramkan. Dia menarik rambut Mesya lalu mendorong kepala Mesya keras. Membuat Mesya tersungkur ke lantai. "Kenapa aku baru menyadari bahwa kau memang se-benci itu pada putriku. Kau pasti mengira aku pria bodoh yang bisa kau kendalikan seumur hidupmu!" Chana hanya duduk menyaksikan. Senyumnya terukir halus dan secangkir teh mengepul di depannya. Dia menyilangkan kedua tangannya,