"Sayang, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menyakitiku? Sayang, Sayang, Sayang." "Berhenti bicara dan keluar dari kamarku!" Mesya kesulitan berjalan karena tiba-tiba Elden menarik tangannya lalu menyeretnya turun dari tempat tidur. Kepanikan terlintas, tapi dia bahkan tak sempat memberontak."Tidak, Elden coba jelaskan padaku. Apa salahku? Kenapa kau tiba-tiba mengusirku?" "Tanyakan pada dirimu sendiri. Kenapa aku bisa semarah ini!" "Elden, jangan seperti ini. Chana, benar, Chana. Apakah ini karena Chana? Apa yang gadis lancang ini katakan padamu sampai kau marah padaku?" "Lancang?" Tawa Elden terdengar menyeramkan. Dia menarik rambut Mesya lalu mendorong kepala Mesya keras. Membuat Mesya tersungkur ke lantai. "Kenapa aku baru menyadari bahwa kau memang se-benci itu pada putriku. Kau pasti mengira aku pria bodoh yang bisa kau kendalikan seumur hidupmu!" Chana hanya duduk menyaksikan. Senyumnya terukir halus dan secangkir teh mengepul di depannya. Dia menyilangkan kedua tangannya,
"Berikan, Chassy berikan pada ayahmu." Chassy mengepalkan tangannya tak terima saat permintaan ibunya terasa begitu berat untuknya. Semua hak milik yang dia simpan. Ibunya mengatakan itu semua akan menjadi miliknya suatu hari nanti dan dia sudah menunggu cukup lama. Tapi tiba-tiba dia harus menyerahkan begitu saja. "Ibu, ibu bilang itu akan menjadi mas kawinku!" Mata Elden melebar marah. Tangannya terangkat dan satu tamparan jatuh di wajah Mesya. "Kau mengatakan hal seperti itu pada Chassy? Sesuatu yang kau curi, kau akan memberikannya seolah itu mas kawinnya! Seolah olah itu milikmu! Mesya, apa kau benar-benar seorang ibu!" Chassy melebar, dia terduduk karena terkejut. "Bu-bukan milik ibu? Mencuri? Ibu mencuri? Ayah, hal tak masuk akal apa yang ayah katakan!" "Diam!" Teriak Elden membuat Chassy bungkam. Chana tersenyum puas. Dia duduk di sofa lalu meminum teh hangat yang tak lagi sepanas sebelumnya. Semua benar-benar diluar dugaannya. Semua menjadi menarik karena Chassy juga ma
"Ayah, jangan seperti ini. Berikan ibu kesempatan. Dia akan berubah. Ayah," Chassy memohon, dia memegang kedua kaki Ayahnya dengan tangisan pilu.Chana tak tertarik, dia hanya menatap jam dinding yang terus bergerak tanpa menimbulkan suara. Dia berdiri tepat saat suara langkah kaki di luar cukup kuat untuk membuat semua fokus orang teralih. Sepertinya hal yang Oscar siapkan telah datang.Mesya adalah orang yang paling terkejut. Saat dua orang polisi masuk lalu menahan kedua tangannya. Perintah penahan jelas membuat semua orang tak percaya. Sampai Oscar masuk dan menjelaskan semuanya."Nyonya Mesya di tahan karena percobaan pembunuhan, pencurian dan pemalsuan tanda tangan."Elden tak bergerak. Dia hanya melihat Mesya meraung tak terima dengan teriakan permohonan ampun juga permintaan maaf. Lalu permintaan tak ingin pergi ke penjara adalah hal yang paling disebutkannya."Ayah, ayah, kenapa polisi membawa ibu? Tidak, tidak, tidak. Ibu, ibu, ibu ...." Chassy panik, dia mencoba menahan ibu
Agraf tersentak. Dia berdiri kokoh untuk menekan Chana tapi siapa yang menyangka bahwa Chana yang biasanya menurut padanya kini terlihat tenang dan bahkan justru mendominasi. Dua Minggu, dua Minggu mereka tinggal di atap yang sama tapi dia sama sekali tak bisa menemui Chana dengan bebas. Chana selalu mengurung diri di kamar. Saat tengah malam, terkadang dia mendengar tangisan pilu dari pintu kamar Chana. Hatinya bergejolak ingin mendobrak pintu lalu memeluknya erat, tapi nyatanya dia hanya bisa bersandar di pintu kamar Chana dengan tatapan sedih. Terkadang dia mendengar pecahan barang, lalu tangisan datang lagi perlahan tapi lagi-lagi Agraf hanya bisa menunggu di luar pintu tanpa berani mengetuk atau pun masuk. Atau kadang-kadang dia akan mendengar sedikit teriakkan, lalu ibunya akan marah karena merasa terganggu di tengah malam. Atau saat Chassy mengganggu Chana, gadis itu hanya akan diam berlalu seolah hal yang Chassy lakukan tak memiliki efek apa pun. Gadis itu berubah diam bagai
Kelsyana tersenyum lembut, dia mengamati wajah tampan Axel dan menilai dengan baik. Hanya dengan melihat dia bisa tahu bahwa latar belakang Axel bukanlah keluarga biasa. Putrinya tak akan bisa disamakan. Tidak, hanya dengan mengandalkan keluarga Oswald, putrinya akan diintimidasi. Karena dia sangat mengetahui bagaimana tata cara keluarga besar dalam mengurusi pernikahan putra putri mereka.Kemudian wajah Kelsyana muram. Senyum menghilang dari wajah cantiknya. Dia menatap Axel dingin. Putrinya, dia tak ingin ada yang menyakiti putrinya. Karena ketampanan juga merupakan masalah, maka semua tak akan mudah. Terlebih pengalaman pribadinya membuatnya hati-hati pada pria yang akan mendekati putrinya.Hal itu tak luput dari pengelihatan Axel. Membuat jantung Axel sedikit berdetak kencang. Ada yang salah dalam tatapan akhir ibu mertuanya. Senyum itu awalnya sangat lembut, terkesan ramah tapi kemudian berubah dingin dan sedikit menghakimi. Dia tiba-tiba merasakan krisis tak terkira."I-ibu mert
Chana melangkah dengan tatapan kosong. Ingatan tentang pemaksaan Logan, lalu Axel yang juga memaksanya benar-benar memberikan pukulan berat baginya. Dia sama sekali tak merespon panggilan Axel padanya, matanya hanya menatap lurus ke depan. Rasa takut dan kepanikan akan hal buruk yang akan terjadi membuatnya kesulitan bernapas. Seluruh tubuhnya terasa kotor hingga dia ingin membasuhnya berkali-kali."Chana, Chana, maafkan aku."Axel berkali kali meminta maaf. Dia melepas jas hitamnya, membungkus tubuh depan Chana lembut. Tapi gadis itu tak merespon. Hanya terus berjalan hingga jas yang dia letakkan terjatuh. Terinjak dan ditinggalkan begitu saja. Saat itu seluruh instingnya memburuk. Dia takut jika Chana meninggalkannya. Dia tak mendekat lagi saat melihat tubuh Chana masih gemetar penuh ketakutan. Hal ini melemparkan seluruh ambisinya ke belakang. Dia tertampar dengan kenyataan bahwa dia menciptakan luka di tubuh dan hati Chana.Langkah Axel terhenti saat melihat Dominic mendekat dan b
"Axel, aku tak akan lagi menyentuhnya. Tidak, aku akan mengambil jalan lain jika berpapasan dengannya. Jadi tolong selamatkan keluargaku. Axel," Alice kembali berlutut, meski nyeri rasa sakit dari lututnya yang berdarah kembali menapaki lantai dingin. Dia menangkupkan kedua tangannya lalu menggosoknya naik turun tak beraturan. Matanya menatap Axel yang seolah tak peduli pada semua hal yang dia lalukan."Axel, kumohon.""Apa kau pernah memikirkan hari ini saat hendak menyentuhnya?" Alice menggeleng kuat. Air mata mengalir lagi di pipinya. Penyesalan terdalam menggerogoti hatinya. Kenapa, kenapa dia menemui Chana. Harusnya dia mengabaikannya. Di tengah permohonan Alice yang masih berlutut, Dominic masuk dan berdiri di antara mereka. Dominic menganguk ringan lalu membuka suara yang membuat ketakutan Alice semakin nyata. "Tuan muda, tuan Logan telah tiada. Sesuai perintahmu, tak akan ada yang membantu keluarganya sampai akhir." "Itu pantas untuknya." Axel menggerakkan tangannya membu
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Chana bingung. "Nona, orang terus memadat. Ini cafe dengan ruangan terbuka. Mari ambil tempat tertutup," saran Oscar bijak. Dia melihat Ini sangat mencolok. Karena Alice merupakan bintang besar maka wajahnya mudah dikenali orang. Terlebih Alice tiba-tiba berlutut dengan wajah pucat dan mata yang bengkak. Chana meraih bahu Alice untuk membuatnya berdiri. "Jangan bersikap seperti ini, Alice. Oscar, pesan ruangan tertutup sekarang." Oscar bertindak cepat sedangkan Alice menolak bangun, dia tetap berlutut dan menangis. Tak peduli meski kerumunan orang telah terbentuk, tapi menyelamatkan nyawanya jauh lebih penting dari semuanya. "Tidak, tidak, tidak. Chana, aku tak akan bangun jika kau tak menyelamatkan aku." "Aku tak mengerti apa yang kau katakan. Bagaimana aku bisa menyelamatkanmu?" Alice mendongak, matanya berbinar. "Kau akan menyelamatkanku kan? Chana, hanya kau yang bisa menyelamatkan aku." Firasat Chana memburuk. Dia sangat ingat, di awal pertem