Part 27
Aku, Bik Nur, dan Santi segera berlari menuju ke depan rumahku, tempat di mana cucu Bik Nur dan Rafa tadi main bersama."Ya, Gustiii! Kok bisa gini Rara?" Tanya Bik Nur syok, yang melihat cucu kesayangannya itu sedang tergeletak di tanah dan tertimpa sepedanya."Dia, bandel kali, Nek ...." Bocah berumur 4 tahun itu mulai terisak sambil menunjuk Rafa, sedangkan Rafa hanya mengejek-ngejek sambil ngoceh gak jelas.Bik Nur kembali bertanya pada Rara, apa yang terjadi sebenarnya. Ternyata tadi Rafa berusaha memainkan sepeda Bik Nur, tapi memainkannya dengan cara yang bar-bar. Rara yang takut sepeda neneknya itu rusak langsung melarang Rafa, tapi Rafa malah tak terima dan menjatuhkan sepeda Bik Nur ke arah Rara.Begitulah Rara bercerita, tapi sepertinya ia hanya mengada-ngada, secara anakku Rafa, baik budi gitu, lho. Mana mungkinlah kelakuannya begitu. Dasar Rara! Kecil-kecil, kok, udah pandai manipulasi."Rafa, kalo main jangPart 28Bang Suryo menarik lenganku kasar menjauhi ruang dokter Tedy. Salah apa lagi aku? Kayaknya, kok, terus-terusan salah aku di mata Bang Suryo."Bikin malu aja kamu, Dek! Ngapain ngomong pake bawa-bawa uang segala," ketus Bang Suryo sambil melepas genggaman tangannya."Yah, kan bener apa aku bilang, Bang. Dokter mah gampang, nyaranin ini itu, ini itu. Emang dia pikir yang disaranin dia itu belinya gak pake uang apa? Nyaranin aja pinter, tapi gak bantu dana, buat apa!"Bang Suryo langsung mengangkat tangannya dan meremas-remasnya di depan wajahku, persis seperti orang lagi gemes. Tapi aku memang ngegemesin, sih."Ya gak mesti kamu bantah juga omongan dokter, Deeek. Cukup diam, udah!" Bang Suryo berucap dengan gemas dan langsung meninggalkan aku.Dasar Bang Suryo! Mana ngerti dia pemikiran emak-emak tuh gimana.Aku masuk ke ruang rawat Rafa untuk membereskan barang-barang, sekaligus menyiapkan Rafa untuk pulang. Biarlah Bang Suryo bayar sendiri it
Part 29"Baaang ...." Kucolek pinggang Bang Suryo yang sedang tidur membelakangiku."Hmm." Bang Suryo hanya berdehem tanpa menoleh."Malam Jum'at, lho, ini, Bang," ucapku sambil terus mencolek pinggang Bang Suryo setengah menggelitik.Tapi Bang Suryo hanya bergeming.Kesal karena tak direspon, aku langsung membalikkan badan Bang Suryo dengan sekuat tenaga, hingga membuat Bang Suryo langsung terlentang."Apaan, sih, kamu, Dek? Orang ngantuk juga," sungut Bang Suryo hendak kembali ke posisi semula, tapi buru-buru kutahan."Abang kok jadi gini, sih?""Gini gimana?""Cuek bebek."Bang Suryo memutar bola mata dan hendak kembali ke posisi semula lagi, tapi tetap kutahan."Baaang ...!" Kesal sekali aku karena tak direspon."Apa?""Abang kenapa?""Kamu tanya lagi kenapa? Kamu gak sadar kesalahanmu, Dek?!"Aku bergeming menatap Bang Suryo serius, menunggu ia
Part 30Tapi ternyata bukan nama Wulan yang disebutkan guru tersebut. Beberapa ibu-ibu di belakangku terdengar terkikik dan mencibir kesombonganku tadi.Dengan cemberut menahan malu dan kesal, aku kembali duduk ke posisi semula. 'Tak apa, masih ada rangking dua,' batinku mencoba mengembalikan rasa percaya diri.Namun lagi-lagi aku dibuat kesal, ternyata rangking kedua juga bukan Wulan. Melihat aku yang mulai gelisah, para ibu-ibu semakin berisik mencibirku dari belakang.Hingga wali kelas menyebutkan rangking ketiga, barulah nama Wulan yang terpanggil. Dengan hati kesal aku langsung mengambil raport Wulan."Bu, ini gimana ceritanya, Wulan kok jadi rangking tiga?" Dengan tak sabar kulontarkan pertanyaan, begitu berada di hadapan wali kelas Wulan."Sebentar ya, Bu. Setelah selesai sesi pembagian raport ini, nanti kita adakan sesi konsultasi, bagi yang ingin," ujar guru Wulan.Masih dengan hati kesal kar
Part 31Aku termenung memikirkan perkataan Bu Menik barusan, kucoba mengingat-ingat, apa memang aku pernah berseteru dengan Rina? Masa iya, aku secemen itu melabrak seorang wanita.Lamunanku langsung buyar begitu Lek Anik menyebutkan nominal yang harus kubayar untuk belanja hari ini. Selesai membayar aku buru-buru pulang, karena matahari mulai merangkak naik, bisa terlambat kerja aku. Biarlah nanti kuingat-ingat lagi apa benar yang dikatakan Bu Menik tadi.Sampai di rumah terlihat Tami sudah bangun dan menantiku di teras rumah. Aku langsung mengangsurkan kresek belanjaan pada Tami, dan bergegas siap-siap mandi."Ya ampun, Baaang ... Kok beli ayam, sih? Di rumah juga banyak ayam kita," protes Tami sebelum aku masuk ke kamar mandi.Aku sudah bisa menebak, Tami pasti bakal protes dengan apa yang aku beli."Ayam kita banyak pun, tapi kamu gak pernah ngizinin buat dipotong, kan? Ya buat apa?" Tandasku."Kan pernah juga kita m
Part 32Selesai membersihkan badan, Tami masih saja menceracau tak jelas padaku. Padahal saat ini anak-anak sudah ada di rumah. Tapi ia tetap tak merasa malu berucap yang tidak-tidak di hadapan anak-anak."Emak kenapa, Pak?" Tanya Wulan padaku yang sedang siap-siap akan sholat maghrib."Lagi mens mungkin," jawabku sekenanya."Tadi Bapak bawa sate, Kak. Makan sana, ajak Adek sekalian.""Wah, sate?! Asyiiik ...." Wulan berteriak riang menuju meja makan diikuti Rafa.Aku tersenyum, ada bahagia tersendiri melihat mereka dengan riang menyantap setiap makanan yang kubawa.'Bapak janji, Nak, akan berusaha memberi kalian makanan yang bergizi,' batinku sambil memandang mereka yang dengan semangat membuka bungkusan sate."Bapak gak mau?" Tanya Wulan yang memergoki aku tengah menatap ke arah mereka.Aku menggeleng. "Makanlah! Bapak makan nasi aja nanti. Gak kenyang Bapak kalau makan sate, lambungnya gede." Aku ber
Part 33"Eh, iya Bang. Maaf kalau ganggu," ucapku berusaha semanis mungkin."Oh, gak ganggu sih, Kak. Cuma Suryonya harus buru-buru berangkat ngantar barang. Sudah ditunggu pelanggan soalnya.""Kamu kerja di sini, Bang?" Tanyaku dengan menatap tajam pada bang Suryo."I-iya, Dek. Kamu pulang dulu, ya? Nanti kita bicarakan di rumah," jawabnya masih gugup. Jelas gugup, pasti ia tak menyangka aku akan mengikutinya sampai sini.Dengan terpaksa, aku mengikuti ucapan bang Suryo agar pulang dulu. Lagian di sini juga aku harus ngapain? Masa iya berduaan sama pria yang kuterka bos bang Suryo. Kalau dia mau, sih, ya tak apa juga. Lumayan, sepertinya berduit.Dengan hati kesal aku langsung menuju rumah. Tak habis pikir aku ke bang Suryo, bisa-bisanya ia sekarang tak jujur padaku. Jelas aku sakit hati, bang Suryo sudah keterlaluan menyembunyikan pekerjaan dan penghasilannya dariku.'Lihat saja, Bang. Kali ini aku tak akan tinggal dia
Part 34Berbekal uang hasil jual emas tadi siang, akhirnya aku berhasil mendatangi mbah Ranem. Tak mengapa aku rugi cincin sebiji. Yang penting setelah ini keuangan semua aku yang atur. Dan bisa dipastikan aku gampang mendapat ganti emasku kembali.Baru saja aku sampai di gubuk mbah Ranem, dan mengutarakan maksud kedatanganku. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki seseorang dari luar. Gawat! Jangan-jangan ada yang mengikutiku kemari. Atau jangan-jangan ada pelanggan mbah Ranem yang datang juga.Aku buru-buru berdiri hendak mencari tempat sembunyi. Mbah Ranem pun sepertinya mengerti kegugupanku. Dengan isyarat ia menyuruhku masuk ke dalam kamar.Namun baru saja kaki ini ingin melangkah, tiba-tiba ....Braakk!Pintu rumah mbah Ranem berhasil dijebol dari luar. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat bang Suryo sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah memerah penuh amarah."Ba-bang Suryo ...." Sangking gugupnya, aku sa
Part 35Pov SuryoSudah hampir satu jam, aku menunggu Tami pulang. Tapi hingga kini, bayangannya pun tak kelihatan. Ada rasa khawatir sejenak, tapi saat ingat kelakuannya yang berani bermain dukun, rasa khawatir pun sirna berganti dengan rasa kesal.Terlihat para keluarga yang sedari tadi sudah kupanggil ke sini untuk berembuk soal tami, pun mulai gelisah, karena Tami tak kunjung datang. Begitu pulang dari rumah si dukun tadi, aku memang langsung mengumpulkan keluarga inti kami. Terdiri dari orang tua dan saudara Tami, sedangkan dari pihakku hanya ada Kak Rani dan Bik Nur."Kok lama banget si Tami ini, Yo?" Tanya Kak Rani mulai gelisah, juga mulai mengantuk sepertinya."Tunggu sajalah, Kak. Atau coba Kakak hubungi. Dia bawa handphone, kok."Terlihat kak Rani mulai menghubungi Tami. Tapi hingga berulangkali, tak juga terhubung."Gak aktif nomornya, Yo," ujar kak Rani."Lagian kamu juga, Yo ... Kok tega-teganya ni