Share

Bab 2 - Sebatas Pengantin Yang Tak Diinginkan

Nial tekekeh melihat wajah Bela dan garis dagunya yang mungil. 

"Handoko tidak mengatakan ini padamu? Aku sudah pernah menikah!" Handoko adalah nama ayahnya Bela.

'Itu artinya, aku menikahi duda?' Bela bertanya dalam hatinya, harusnya ia tidak lagi terkejut karena memang usia Nial terpaut lima belas tahun dengannya. 

Sekarang ini Bela masih dua puluh tahun. 

Ia memang tahu nama anaknya Hendro itu adalah Nial, tapi Bela tidak tahu tentang apakah dia sudah pernah menikah ataukah belum.

Dia tak sedekat itu dengan Hendro, Handoko lah yang dekat karena ayahnya adalah sopirnya Hendro.

Lagi pula, Nial tertutup tentang kehidupan pribadinya selama ini.

Lalu ....

Bela terus bermonolog tentang di mana sekarang istri Nial atau kenapa mereka menjadi mantan?

Meski ingin bertanya lebih banyak, ia menahannya.

"Aku akan kuliah nanti."

Hanya kalimat itu yang pada akhirnya keluar. Lebih baik menghindari pertanyaan sensitif pada Nial agar mood paginya tidak hancur.

"Ya, lakukan yang kamu mau! Aku tidak peduli."

Nial pergi dari hadapan Bela yang juga mengambil langkah berlawanan arah dengannya.

"Bagus kalau dia tidak peduli. Aku juga tidak ingin dipedulikan tuan arogan itu."

Ia masuk ke dalam kamar yang semalam ia gunakan bersama Nial menjadi kamar pengantin. Seprai putih yang tercemar noktah merah itu sudah diganti. Tampaknya Nial meminta pelayannya untuk menggantinya. Entahlah! Bela tidak tahu dan tidak ingin memikirkan hal itu.

Yang menjadi fokusnya adalah ucapan Nial. Tentang bagaimana baiknya mantan istrinya yang merawatnya dulu.

"Bagaimana caranya aku menjadi seperti mantan istrinya? Dan bagaimana caranya perempuan itu membuat Nial yang angkuh dan menyebalkan itu jatuh cinta padanya? Sial! Kalau bukan karena Vida menipu bapak dan menolak Nial aku tidak akan ada di sini."

Bela menuju ruang ganti yang ada di dekat kamar mandi di dalam kamar ini, walk in closet. Karena ia sama sekali tidak membawa baju saat masuk ke dalam rumah Nial, maka ia memutuskan untuk memakai baju yang ada di sana. 

Ia juga mengambilkan kemeja untuk Nial dan juga setelan jas berwarna hitam dan ia letakkan di sofa yang ada di dalam sana. Lengkap dengan dasi dan juga jam tangannya. Dari merek ini Bela tahu pasti harganya mencapai ratusan juta.

Ia buru-buru mandi, mengabaikan rasa ngilu yang ada di bagian bawah tubuhnya dan keluar dengan mengenakan pakaian yang tadi ia ambil dari dalam lemari.

Saat ia keluar, ia menjumpai Nial yang sudah ada di dalam walk in closet dengan keadaan bertelanjang dada. 

Ia tampak baru saja berenang karena rambutnya basah. Atau pergi mandi di ruangan lain, Bela tidak tahu. 

Nial memutar tubuhnya saat melihat kedatangan Bela. Mengecek dari bawah sampai ke atas lalu membuang pandangannya.

"Mas Nial, aku mengambil baju dari ...."

"Ya. Pakai saja! Itu memang milikmu, aku minya pelayan membelikannya untukmu kemarin karena aku tidak mau melihatmu memakai baju lusuh," potong Nial acuh. 

Sekilas memandang Bela dari cermin yang ada di depannya.

Bela masuk ke dalam walk in closet dan mengambil jas Nial lalu membukanya sehingga Nial bisa langsung memasukkan kedua tangannya tanpa membutuhkan banyak effort.

Membutuhkan waktu beberapa saat bagi Nial untuk menyadari Bela sedang membantunya, atau sedang menarik perhatiannya?

Ia hanya membiarkannya dan memilih untuk memakai jas yang sudah dibuka untuknya.

"Kamu mencoba menarik perhatianku?"

Suara Nial sampai ke telinganya, membuat Bela menengadahkan kepalanya dan mata mereka bertemu.

"Tidak," jawab Bela secepat mungkin. 

"Aku hanya tidak ingin membuatmu marah."

Nial menyeringai dan meraih dagu Bela. Ia sedikit menunduk dan mendekatkan wajahnya pada perempuan yang tidak lebih tinggi dari pundaknya itu.

"Jangan harap kamu bisa menggantikan istriku, Bela! Kamu di sini hanya untuk menggantikan kakakmu yang sudah menolakku dan membawa uangku, Bela. Mengerti?"

Nial melepas dagu Bela dengan kasar hingga tubuh mungilnya terhuyung beberapa jarak ke belakang.

"Aku tidak melakukannya untuk menggantikan istrimu kok. Aku melakukannya untuk ibuku."

Setelah mengatakan demikian Bela menyesal. 

Jelas kalimat itu telah menyulut amarah Nial pagi ini. Karena menyiratkan arti bahwa ibunya lebih penting dari segalanya dari pada memikirkan Nial.

"Kamu dan Handoko sama saja. Dia tidak puas dengan hanya bekerja pada ayahku dan menawarkan anaknya agar menikah denganku untuk mengobati istrinya yang sekarat. Lalu sekarang anak perempuannya yang menggantikan kakaknya yang penipu itu berani meninggikan suaranya padaku?"

Nial tidak mengalihkan pandangannya dari Bela yang sudah tertunduk ketakutan dan tidak berani menatapnya.

"Kamu adalah pengantin yang sama sekali tidak aku inginkan, Bela."

Muak. Ucapan Nial terlalu kasar di telinganya. 

Bela mengangkat wajahnya dan membalas tatapan Nial.

"Kamu pikir aku ingin jadi pengantinmu?"

"Harus kamu tahu ini! Saat melihat Vida, kenapa aku langsung menyetujui untuk menikah dengannya? Karena dia mirip istriku! Tapi mereka berbeda! Istriku perempuan baik-baik dan kakakmu itu adalah perempuan tidak tahu diri!"

Nial meraih tangan kiri Bela dan menunjukkan cincin pernikahan mereka yang melingkar di sana.

"Ini hanya simbol tanpa makna. Jangan mimpi kamu bisa menggantikan istriku! Suruh ibumu cepat sembuh! Kalau dia hidup nanti, aku tidak akan menanggung biayanya lagi seperti yang aku katakan pada Handoko dan Hendro, lalu kita cerai agar aku tidak melihatmu di sini lagi!"

Nial membuang tangan Bela dengan kasar sebelum akhirnya pergi dari sana. 

Meninggalkan Bela yang jatuh terduduk di lantai dengan beruraian air mata.

Bela tahu ia akan dijadikan pengganti Vida sekaligus orang yang harus menanggung kebencian Nial atas apa yang kakak perempuannya itu lakukan. 

Tapi ia tidak menyangka ia juga akan menjadi pelampiasan Nial. 

Pengantin yang tidak diinginkan. Ia akan selamanya menyandang gelar itu dari Nial. 

Lelaki yang tak akan pernah bisa ia sentuh hatinya. 

Lelaki yang mengambil miliknya yang paling berharga, sekaligus membuatnya tinggal di dalam rumah yang terasa seperti penjara.

....

Di luar, Nial memasuki mobil yang sudah disiapkan di halaman untuknya oleh Jerry, sekretarisnya.

Ia duduk di dalam dengan rahang yang mengeras. Mengepalkan tangannya erat-erat dengan isi perasaan yang simpang siur.

 Ia pikir tidak akan pernah bisa menemukan seseorang yang begitu mirip dengan mantan istrinya setelah melihat wajah Vida.

Tapi bukan itu, apa yang dilakukan oleh Bela tadi telah membuat kenangan berputar dengan begitu hebatnya. 

Ada alasan kenapa ia sesaat dalam kebekuan saat Bela membuka jas untuknya agar ia lebih mudah memakainya.

Semua itu karena apa yang dilakukan Bela adalah hal yang sama yang dulu selalu dilakukan oleh Catherine, mantan istrinya, sebelum Nial berangkat kerja.

Setelah sekian tahun berlalu dan ia telah hampir lupa, pagi ini Bela telah mengingatkannya lagi.

Netranya buram oleh air mata yang menggenang. Kerinduannya tidak dapat ia bendung. 

Bayangan wajah dan senyum Catherine berlalu lalang di dalam kepalanya. Tertimpa wajah Bela yang semalam menangis saat ia ambil gadisnya. 

Lalu menjadi wajah Catherine lagi—wajah Catherine yang bersimbah darah di tepi jalan.

"Aku merindukanmu, Catherine. Kenapa kamu pergi meninggalkanku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status