Tak mudah lepas dari seorang Arjuna. Pria itu sekali ditolak, tak langsung menyerah. Pria itu melancarkan ide-ide lainnya untuk membuat Tantri mengiyakan keinginannya. Belum sempat Tantri menjawab, Sandra yang ada di sampingnya tiba-tiba memuji seseorang. "MasyaAllah, ada mas-mas ganteng, Tantri," ujar Sandra memberitahu. Secara otomatis pandangan kedua manusia di sekelilingnya segera terarah pada seseorang yang dimaksud Sandra."Hah, biasa saja, tuh. Gantengan juga saya," celetuk Arjuna tak mau kalah. Apalagi saat ini ia melihat tatapan Tantri juga terarah ke arah datangnya pria asing itu di sana. Arjuna memberengut sebal. 'Mas Saka!' Tantri takjub di dalam hati. 'MasyaAllah Mas Saka beda banget dari sebelumnya. Meski cuma pakai kaos dan celana panjang, dia tetap terlihat sangat menawan. Ya ampun Tantri, kenapa kamu dengan mudahnya berpindah ke lain hati? Di mana perasaan kamu buat Mas Banyu? Kenapa sekarang kamu memuji laki-laki itu?' Tantri pun bingung. Ia tak tahu apa sebabny
Arsaka mengangguk pelan. "Dibilang bersejarah sepertinya juga tidak. Tapi kalau dibilang penting sepertinya masuk di akal. Tapi kalau memang nggak bisa nggak apa-apa. Saya nggak bisa memaksakan kehendak kamu. Kamu punya keputusan sendiri. Jadi, saya nggak akan mengatur-atur kamu. Saya khawatir kalau saya melakukan itu sama kamu, kamu akan merasa terkekang dan nggak nyaman sama saya."Pria muda itu berhasil berkata. Walau terdengar nada kecewa di setiap kata yang terlontar dari bibirnya, ia tetap berusaha mengulas senyum sebagai pengalih dari rasa yang diam-diam merayap ke dalam hatinya itu.Melihat sorot mata sendu di hadapannya membuat Tantri tak enak hati. Ia pun tersenyum pada Arsaka yang membuat pria itu mengernyitkan keningnya. "Ada apa? Kamu jangan merasa kasihan sama saya. Saya nggak apa-apa kok. Jadi, jangan merasa sungkan atau merasa bersalah sama saya." "Siapa yang sedang mengasihani kamu, Mas?" Tantri merasa heran. "Kamu. Itu dari tatapan kamu. Tatapan kamu itu polos. Ja
Tantri tersenyum penuh arti. Hal ini membuat pikiran Arsaka semakin melambung tinggi tak jelas juntrungannya. Pria itu semakin merasa besar kepala ketika melihat sendiri Tantri tersenyum kepadanya. "Saya senang, senang sekali karena…." Tantri menjeda ucapannya. Arsaka mengarahkan fokus pandangannya hanya pada gadis itu. "Karena Mas Saka sudah membuat Bibi saya bahagia. Bibi ataupun saya jarang sekali pergi ke Mall. Sekali pun kami pernah pergi ke sana, biasanya kami hanya mendatangi gerai baju yang dijual sangat murah alias diskon. Tapi itu juga cuma sesekali, bahkan tidak mesti setahun sekali. Jadi, saya ingin mengucapkan terima kasih sama Mas Saka. Sekali lagi terima kasih ya, Mas. Terima kasih sudah mengajak saya dan Bibi berjalan-jalan walau dalam acara mencari seserahan. Tapi tetap saja rasanya menyenangkan dan nggak terasa waktu begitu cepat berlalu." Tantri menjelaskan dengan ekspresi senang luar biasa.Lega rasanya mendengar penyampaian Tantri kepadanya. Namun entah mengap
"Apa?!" Debora menatap berang. Ia geram bukan main usai mendengar pengakuan sang putri sulung. "Kurang ajar sekali dia! Bisa-bisanya dia memikirkan dirinya sendiri dan memilih perempuan lain untuk putranya? Wanita tak berhati! Kenapa dia tidak mati saja saat itu? Tahu bakal seperti ini, seharusnya saat itu aku meminta orang untuk membereskan dia tanpa sisa. Kurang ajar! Wanita iblis!" Melihat kemarahan sang ibu, Aleta merasakan semakin pening. Kepalanya berdenyut nyeri. "Mama bisa diam nggak? Aku pusing, Ma! Aku stress! Ocehan Mama barusan bukannya membuat aku tenang malah membuat aku semakin pusing. Aaaaaa!" Aleta uring-uringan lalu menjambak rambutnya yang sebelumnya sudah acak-acakan menjadi semakin tak jelas. Wanita muda itu bangkit dari posisinya lalu melenggang pergi meninggalkan sang ibu di ruang tamu apartemennya. Ia memilih masuk ke dalam kamarnya demi mencari ketenangan dan kedamaian tanpa ocehan tak berarti dari ibunya.BlammSuara pintu yang terbanting membuat Debora cuk
Sumpah demi apa pun, Tantri super duper dilema di situasi semacam ini. Apa yang harus ia lakukan sekarang?Haruskah ia mengutamakan Arsaka setelah apa yang terjadi hari ini? Ataukah Banyu yang telah memberinya harapan semu? "Apa yang harus aku lakukan saat ini? Siapa yang harus aku utamakan? Mas Saka atau Mas Banyu? Atau—-" Tantri memutar otak. Di dalam kebingungan yang melanda jiwanya, ia pun menentukan pilihan yang ia rasa baik untuk semua orang.Memangnya apa yang gadis itu lakukan? BiippGadis itu mematikan daya ponselnya. Setelah itu, bukannya merasa bersalah, ia malah tersenyum lega. "Nah, kalau begini kan adil. Nggak ada yang perlu aku balas malam ini. Sekarang, semuanya baik-baik, ya. Besok kita bahas lagi. Oke?" ucap gadis itu seraya tersenyum tipis pada layar ponselnya yang telah menggelap. ~~~"Kok Tantri nggak bisa dihubungi, sih? Apa dia sudah tidur? Tapi ini belum terlalu malam. Ada apa sama dia? Kenapa aku merasa dia semakin aneh? Apa ini cuma perasaanku saja?" Ban
"Bibi, jangan banyak bertanya di jalan! Lebih baik kita segera pulang dan membahas semuanya di rumah. Oke?" Tantri menyerobot masuk tanpa diminta. Tantri berusaha menyelamatkan Arsaka dari desak tanya sang bibi. Ia tahu jelas bagaimana karakter wanita paruh baya yang selama ini merawat dan mengasuhnya dengan sepenuh hati semenjak ibu dan ayahnya tiada. Yusti menimang-nimang guna mengambil keputusan. Lalu ia pun mengangguk setuju dan tanpa aba-aba wanita itu menyambar lengan Tantri dari sisi Arsaka. "Belum muhrim!" cetus Yusti lalu menarik paksa Tantri agar berjalan lebih dulu bersamanya. Ada kekecewaan di dalam benak Arsaka ketika Yusti meraih gadis itu ke dalam jeratannya. Ia tak bisa melawan walau ia mampu. Ia lebih kuat tenaga dan status, tapi ia sadar bukan ini yang Tantri inginkan. Arsaka hanya bisa mengulum senyum dan berjalan bersisian dengan Yadi mengikuti ke arah mana dua perempuan di hadapannya melangkahkan kaki. Tak lama kemudian, dua orang wanita yang tidak bisa dikat
Arsaka dan Tantri saling melirik satu sama lain lalu mengangguk bersamaan. Mereka dengan sigap pergi ke halaman dan duduk bersebelahan di bangku kayu panjang di bawah pohon mangga. Mereka tidak mau mengisi waktu untuk mendengarkan perdebatan dua manusia tak lagi muda di dalam rumah. Lebih baik bagi mereka menunggu tukang makanan yang menjajakan dagangannya pagi ini di tepi jalan. "Jawab aku, Yadi! Kenapa kamu mengatakan hal itu di depan dua nenek lampir tadi? Kamu gila, ya!" desak Yusti melanjutkan Interogasi. "Gila? Ya dibilang gila sebenarnya juga nggak, Yusti. Aku melakukan semua ini demi nama baik Mbak Tantri dan Den Saka. Kalau kita memberitahu dua ibu-ibu tadi—""Dua nenek-nenek!""Ya itulah pokoknya. Di depan ah itulah kalau Mbak Tantri dan Den Saka mau menikah pasti akan jadi geger. Pamali katanya kalau belum menikah tapi sudah sering datang ke rumah. Kan nanti ujung-ujungnya mereka bakalan mikir yang nggak-nggak sama Mbak Tantri dan Den Saka. Lebih baik mereka nggak tahu ap
Tantri terdiam sejenak. Ia menatap ke arah calon suaminya dengan bimbang. Haruskah ia jujur? Tantri menunduk sejenak sebelum menjawab pertanyaan Arsaka."Mas…" "Ya? Katakan saja, Tantri. Saya siap mendengar dan menerima penjelasan dari kamu." Tantri menggigit bibir bawahnya. Ia begitu kikuk. Tapi ia sadar, Arsaka menantikan jawabannya."Saya akui, Mas. Saya dan Mas Banyu… Oh maksud saya, saya pada Mas Banyu, saya memang mengagumi dan salut sama Mas Banyu selama bertahun-tahun. Dia adalah tipikal pria yang saya sukai. Dia adalah pria yang baik dan bertanggung jawab. Tapi saya sadar hubungan kami hanya bisa sebagai kakak dan adik. Atau bisa juga dikatakan kami hanya bisa bersahabat baik yang bisa saling mendukung satu sama lain. Kami tidak bisa melanjutkan hubungan apa pun selain itu. Apakah Mas percaya dengan kata-kata saya barusan? Ataukah Mas Saka masih meragukan hubungan kami? Kalau Mas Saka ragu, itu wajar. Tapi memang itulah kenyataannya. Saya tidak berbohong pada Mas Saka. S