"Apa?!" Debora menatap berang. Ia geram bukan main usai mendengar pengakuan sang putri sulung. "Kurang ajar sekali dia! Bisa-bisanya dia memikirkan dirinya sendiri dan memilih perempuan lain untuk putranya? Wanita tak berhati! Kenapa dia tidak mati saja saat itu? Tahu bakal seperti ini, seharusnya saat itu aku meminta orang untuk membereskan dia tanpa sisa. Kurang ajar! Wanita iblis!" Melihat kemarahan sang ibu, Aleta merasakan semakin pening. Kepalanya berdenyut nyeri. "Mama bisa diam nggak? Aku pusing, Ma! Aku stress! Ocehan Mama barusan bukannya membuat aku tenang malah membuat aku semakin pusing. Aaaaaa!" Aleta uring-uringan lalu menjambak rambutnya yang sebelumnya sudah acak-acakan menjadi semakin tak jelas. Wanita muda itu bangkit dari posisinya lalu melenggang pergi meninggalkan sang ibu di ruang tamu apartemennya. Ia memilih masuk ke dalam kamarnya demi mencari ketenangan dan kedamaian tanpa ocehan tak berarti dari ibunya.BlammSuara pintu yang terbanting membuat Debora cuk
Sumpah demi apa pun, Tantri super duper dilema di situasi semacam ini. Apa yang harus ia lakukan sekarang?Haruskah ia mengutamakan Arsaka setelah apa yang terjadi hari ini? Ataukah Banyu yang telah memberinya harapan semu? "Apa yang harus aku lakukan saat ini? Siapa yang harus aku utamakan? Mas Saka atau Mas Banyu? Atau—-" Tantri memutar otak. Di dalam kebingungan yang melanda jiwanya, ia pun menentukan pilihan yang ia rasa baik untuk semua orang.Memangnya apa yang gadis itu lakukan? BiippGadis itu mematikan daya ponselnya. Setelah itu, bukannya merasa bersalah, ia malah tersenyum lega. "Nah, kalau begini kan adil. Nggak ada yang perlu aku balas malam ini. Sekarang, semuanya baik-baik, ya. Besok kita bahas lagi. Oke?" ucap gadis itu seraya tersenyum tipis pada layar ponselnya yang telah menggelap. ~~~"Kok Tantri nggak bisa dihubungi, sih? Apa dia sudah tidur? Tapi ini belum terlalu malam. Ada apa sama dia? Kenapa aku merasa dia semakin aneh? Apa ini cuma perasaanku saja?" Ban
"Bibi, jangan banyak bertanya di jalan! Lebih baik kita segera pulang dan membahas semuanya di rumah. Oke?" Tantri menyerobot masuk tanpa diminta. Tantri berusaha menyelamatkan Arsaka dari desak tanya sang bibi. Ia tahu jelas bagaimana karakter wanita paruh baya yang selama ini merawat dan mengasuhnya dengan sepenuh hati semenjak ibu dan ayahnya tiada. Yusti menimang-nimang guna mengambil keputusan. Lalu ia pun mengangguk setuju dan tanpa aba-aba wanita itu menyambar lengan Tantri dari sisi Arsaka. "Belum muhrim!" cetus Yusti lalu menarik paksa Tantri agar berjalan lebih dulu bersamanya. Ada kekecewaan di dalam benak Arsaka ketika Yusti meraih gadis itu ke dalam jeratannya. Ia tak bisa melawan walau ia mampu. Ia lebih kuat tenaga dan status, tapi ia sadar bukan ini yang Tantri inginkan. Arsaka hanya bisa mengulum senyum dan berjalan bersisian dengan Yadi mengikuti ke arah mana dua perempuan di hadapannya melangkahkan kaki. Tak lama kemudian, dua orang wanita yang tidak bisa dikat
Arsaka dan Tantri saling melirik satu sama lain lalu mengangguk bersamaan. Mereka dengan sigap pergi ke halaman dan duduk bersebelahan di bangku kayu panjang di bawah pohon mangga. Mereka tidak mau mengisi waktu untuk mendengarkan perdebatan dua manusia tak lagi muda di dalam rumah. Lebih baik bagi mereka menunggu tukang makanan yang menjajakan dagangannya pagi ini di tepi jalan. "Jawab aku, Yadi! Kenapa kamu mengatakan hal itu di depan dua nenek lampir tadi? Kamu gila, ya!" desak Yusti melanjutkan Interogasi. "Gila? Ya dibilang gila sebenarnya juga nggak, Yusti. Aku melakukan semua ini demi nama baik Mbak Tantri dan Den Saka. Kalau kita memberitahu dua ibu-ibu tadi—""Dua nenek-nenek!""Ya itulah pokoknya. Di depan ah itulah kalau Mbak Tantri dan Den Saka mau menikah pasti akan jadi geger. Pamali katanya kalau belum menikah tapi sudah sering datang ke rumah. Kan nanti ujung-ujungnya mereka bakalan mikir yang nggak-nggak sama Mbak Tantri dan Den Saka. Lebih baik mereka nggak tahu ap
Tantri terdiam sejenak. Ia menatap ke arah calon suaminya dengan bimbang. Haruskah ia jujur? Tantri menunduk sejenak sebelum menjawab pertanyaan Arsaka."Mas…" "Ya? Katakan saja, Tantri. Saya siap mendengar dan menerima penjelasan dari kamu." Tantri menggigit bibir bawahnya. Ia begitu kikuk. Tapi ia sadar, Arsaka menantikan jawabannya."Saya akui, Mas. Saya dan Mas Banyu… Oh maksud saya, saya pada Mas Banyu, saya memang mengagumi dan salut sama Mas Banyu selama bertahun-tahun. Dia adalah tipikal pria yang saya sukai. Dia adalah pria yang baik dan bertanggung jawab. Tapi saya sadar hubungan kami hanya bisa sebagai kakak dan adik. Atau bisa juga dikatakan kami hanya bisa bersahabat baik yang bisa saling mendukung satu sama lain. Kami tidak bisa melanjutkan hubungan apa pun selain itu. Apakah Mas percaya dengan kata-kata saya barusan? Ataukah Mas Saka masih meragukan hubungan kami? Kalau Mas Saka ragu, itu wajar. Tapi memang itulah kenyataannya. Saya tidak berbohong pada Mas Saka. S
Arsaka bangun dari posisinya. Ia pun bersimpuh di lantai dan meraih tangan Tantri. Pria itu menggenggam erat jari jemari Tantri dengan secercah rasa yang dapat dikategorikan sebagai rasa cinta yang mulai bertumbuh di hatinya."Saya memang berniat menikahi kamu. Tapi saya belum melamar kamu secara langsung dari hati ke hati. Walau rencana pernikahan kita dibuat oleh desakan ibu saya, saya merasa tetap harus mengutarakan hal ini sama kamu. Awal perkenalan kita memang tidak semanis gula, tapi saya harap hubungan pernikahan kita nanti akan sekuat batu karang di lautan. Karena apa? Saya yakin akan ada banyak rintangan yang menghadang guna menguatkan mental kita berdua sebagai suami dan istri. Nggak cuma itu, kita berbeda sikap, karakter, watak satu sama lain, dan masih banyak lagi. Akan butuh banyak penyesuaian diri di antara kita saat menjalani biduk rumah tangga. Saya harap kamu kuat saat kita menikah nanti." Arsaka mengungkap hal itu dengan manis. Pria itu menyudahi pernyataannya den
Arsaka menutup mata. Ia membiarkan kepalanya terarah pada Aleta agar wanita itu bisa dengan mudah menampar atau memukul wajahnya. Ia hanya ingin sang mantan bisa merasa lega telah melakukan hal itu kepadanya.Tapi apa yang terjadi tidak sesuai prediksi. Bukannya memukul, Aleta malah menurunkan tangannya lalu menatap wajah Arsaka dengan tatapan penuh cinta lalu memeluknya. Arsaka yang terkejut refleks mendorong tubuh Aleta hingga wanita itu nyaris terjatuh. "Saka? Apa benar nggak ada lagi aku di dalam hati kamu?" Aleta menitikkan air mata. Ia tak percaya dengan apa yang ia alami saat ini. "Kenapa kamu tega mendorongku, Saka? Aku ini Aleta. Wanita yang pernah menemani kamu selama lima tahun. Bagaimana bisa kamu meninggalkan aku hanya demi perempuan yang baru kamu kenal? Apa selama lima tahun ini semua usaha dan perjuangan cintaku ke kamu adalah hal yang sia-sia?" Aleta menangis. Air matanya tidak bisa berhenti walau ia ingin.Didorong Arsaka? Mimpi burukkah ini? Atau memang nyata? Ale
Di pelataran Rumah Sakit tempat Aleta dirawat, beberapa orang berdiri sambil menatap satu sama lain. Beruntungnya ada seseorang yang bisa menemani Aleta di kamar inapnya. Kalau tidak, Guntur dan Debora tidak mungkin ada di sini berhadap-hadapan dengan Mona Rosalie."Sekarang apa yang mau kamu bicarakan di sini? Jelaskan kepada kami alasan di balik ketidaksetujuanmu dalam hubungan yang pernah terjalin antara Aleta dan anakmu! Jelaskan sekarang juga, Mona!" tegas Debora meminta penjelasan. Ia menatap wanita di hadapannya dengan penasaran tingkat dewa.Mona menghirup napas dalam-dalam sebelum mengungkap fakta. Ia mengulas senyum tipis sebelum siap menggelontorkan kata-kata yang mungkin saja bisa membuat lawan bicaranya mati kutu.Ditatapnya sekilas Tantri yang mau tak mau harus tetap berada di sana. Gadis itu menunduk malu karena tidak tahu hal apa yang harus dirinya perbuat di sana di antara orang-orang ini. "Karena kalian sudah tidak sabar, maka aku akan mengatakannya sekarang juga.