Ketukan pintu menyadarkan Tantri bahwa ada seseorang atau mungkin banyak orang yang datang ke rumahnya. Gadis itu mematut dirinya di depan cermin yang menggantung di dinding kamarnya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi sesaat lagi. Setidaknya ia merasa telah mengenakan pakaian yang layak dipandang mata. "Sepertinya sudah rapi. Aku harus keluar sekarang," ucap Tantri memutuskan. Dibukanya pintu kamar dan menyusul sang bibi yang baru saja membukakan pintu untuk para tamu di luar sana. Ada beberapa orang di luar pintu. Dan Tantri tahu jelas siapa yang mereka cari. Siapa lagi kalau bukan dirinya?"Nyonya Mona," ucap Tantri dan segera mendekati wanita paruh baya tersebut dengan anggun. Ia mengulurkan tangan lalu menyalami sopan wanita yang pernah ditolong olehnya beberapa saat lalu. "Bagaimana kabar kamu, Nak Tantri? Sehat-sehat, kan?" tanya Mona perhatian.Hal itu mengundang perhatian Arsaka yang berada di samping ibunya. Hanya kepada gadis muda ini sang ibu begitu damai dan ramah sep
Makam?Mona mendongak ke atas. Ia membaca baik-baik tulisan besar yang melengkung dan menempel di tengah dua pilar besar di hadapannya. Mona menatap Tantri dengan penasaran. "Kenapa kamu mengajak kami ke sini, Nak Tantri?" tanya Mona pada akhirnya daripada terus menerka-nerka. Tantri tak juga menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Ia malah melirik sang bibi dan kembali tersenyum. "Ayo, Nyonya, mari kita masuk! Jawabannya ada di dalam," jawab Tantri pada Mona lalu mengajak wanita itu untuk berjalan bersisian dengannya.Mona mengangguk setuju. Kini kedua perempuan berbeda generasi itu berjalan perlahan melewati banyak gundukan tanah merah yang mengubur setiap jasad di bawah sana. Hingga tanpa terasa mereka semua berada di depan dua nisan. Tantri tersenyum pada Mona lalu berkata, "Nyonya Mona, perkenalkan mereka adalah ayah dan ibu saya. Ayah dan ibu saya telah meninggal dunia delapan tahun silam. Sebelum saya dan Pak Saka menikah, akan lebih baik kalau Nyonya tahu siapa orang
Yusti dengan lugas berkata, "Belum muhrim! Jangan samakan Tantri dengan gadis yang bisa dibawa ke mana saja kalau belum sah secara agama dan negara. Kami memang bukan orang kaya, tapi kami punya adab dan tata krama. Pamali kalau belum ijab kabul sudah dibawa ke mana-mana," ujar Yusti yang masih mengikuti aturan jaman dulu. Mona segera angkat bicara guna memberi pengertian pada calon besannya. "Bu Yusti, Saka dan Tantri akan segera menikah. Kita sebagai orang tua tinggal mencari tanggal yang baik. Atau lebih tepatnya menentukan hari baik untuk pernikahan mereka. Alangkah lebih baik kalau kita memberikan mereka kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain. Dan membebaskan mereka untuk menentukan mahar apa yang Tantri inginkan. Kalau tidak pergi bersama Tantri, Saka pasti tidak akan tahu apa yang Tantri inginkan. Benar, kan?" Mona mengeluarkan pendapatnya.Mendengar bujukan Mona, Yusti memutar otak. Ia belum bisa merelakan Tantri pergi bersama laki-laki lain yang belum sah menjadi s
Tak terima keponakannya ditunjuk-tunjuk oleh pria asing tak dikenal, Yusti mulai menunjukkan sisi keibuan yang dibalut amarah terpendam. "Jangan bawa-bawa keponakan saya ya, Pak! Dia ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan putusnya hubungan anak bapak dengan Pak Saka. Kalau mau menyalahkan orang itu cari dulu buktinya, jangan asal ngomong! Saya nggak terima keponakan saya yang nggak tahu apa-apa ini ikut terseret masalah. Lagian kalau cuma pacaran terus putus ya sudah sih, anggap saja bukan jodohnya. Nggak usah dibesar-besarin masalahnya. Yang tua mending diam saja, nggak usah ikut campur urusan anak muda," cetus Yusti dengan lugas dan lantang. Ia menunjukkan keberanian dan ketegasan walau di hadapannya seorang presiden sekali pun ia tak akan gentar melawan ketidakbenaran. Guntur berdecih kesal. "Anda ini siapa? Saya nggak kenal sama anda. Jadi saya minta anda jangan sok menasehati saya dan ikut campur!" "Apa? Bapak mengatai saya sok ikut campur? Nggak salah? Bapak yang lebih
"Ka-kamu!" Amarah Guntur terjeda ketika melihat beberapa pasang mata tertuju kepadanya. Hampir saja telapak tangannya terayun ke rahang tegas Arsaka. Tapi ia sadar tak ada gunanya melakukan hal itu pada pria muda yang ada di hadapannya yang masih begitu dicintai Aleta. "Om benar-benar nggak menyangka, ada manusia seperti kamu. Kamu nggak punya pendirian. Aleta adalah wanita yang baik. Apa kurangnya dia selama ini? Nggak ada, Saka. Dia nyaris sempurna. Tapi bagaimana bisa kamu meninggalkannya begitu saja tanpa ada niat untuk memperjuangkan cinta kalian? Kamu sangat menyedihkan!" hardik Guntur sebelum berbalik badan dan terpaksa berhenti ketika mendengar namanya dipanggil oleh Arsaka. "Om Guntur! Bisa diulang lagi pernyataan Om barusan? Saya sangat menyedihkan? Di bagian mananya? Bukannya terbalik? Putri Om-lah yang sangat menyedihkan. Kalau dia bahagia, dia tidak mungkin mengharapkan laki-laki seperti saya. Dia nyaris sempurna, tapi tetap saja dia manusia yang memiliki cela. Cela? Y
"Maaf ya, Mbak. Lain kali saja kami ke sini lagi. Permisi," pamit Tantri sopan pada pramuniaga yang sebelumnya mencoba menawarkan bantuan padanya dan Yusti. Sumpah demi apa pun, Tantri merasa tak enak hati pada pramuniaga gerai toko atas perbuatan sang bibi. Sambil menarik paksa pergelangan tangan Yusti, Tantri menahan malu dengan pipi memerah. Gadis itu ingin sekali bersembunyi di tempat yang tidak dapat ditemukan siapa pun usai melakukan hal konyol bersama bibi kesayangan satu-satunya. Hampir saja Tantri menabrak bahu seseorang gara-gara tergesa-gesa keluar dari gerai toko. Tapi ia bisa mengerem tepat waktu."Eh, Pak Saka!" Tantri yang polos tidak bisa menutupi rasa sungkan yang diam-diam menyergap hatinya. Arsaka yang jujur saja juga merasakan kaget dan kikuk pun tersenyum tipis. Wajah pria muda itu mendadak merona merah. Perasaan ini sudah lama tidak ia rasakan saat bersama Aleta atau mungkin pada barisan mantan pacarnya yang terdahulu. Kali ini ia merasakan deg-degan dan sung
"Ada apa? Kok mukanya jadi tegang begitu?" tanya Arsaka ingin tahu.Tantri dilema. Haruskah ia menjawab? Atau diam adalah jalan terbaik? Tidak! Bukan diam, ia harus menjawab. Tapi menjawab apa? "Kalau kamu merasa adanya saya di sini malah mengganggu privasi kamu, saya nggak keberatan kok kalau saya pergi sebentar ke mobil atau masuk ke dalam rumah kamu. Saya nggak akan membuat kamu terganggu sedikit pun. Kamu punya privasi. Dan mungkin saja saya sudah mengganggu ketenangan kamu. Silakan diangkat saja, Tantri. Urusan kita bisa kita bahas lagi nanti," ujar Arsaka dengan cukup bijak walau dalam hati merasa ada yang aneh di dalam dirinya. Entah cemburu atau curiga, ia pun belum bisa mendeskripsikannya. Arsaka beranjak dari bangku panjang dan bersiap melangkah. Mendadak pemuda tampan itu merasakan sesuatu yang halus dan kuat mencengkeram pergelangan tangannya. Arsaka menunduk ke bawah lalu menoleh ke samping. Ia bisa menemukan bukti kuat bahwa saat ini Tantri sedang memegang pergelang
Tantri menimang-nimang dalam hati. "Ya sudah kalau begitu, Pak, eh Mas Saka," sahut Tantri pasrah. Gadis itu tak mau bersilang pendapat yang nantinya akan membuat suasana menjadi kisruh. Ditambah lagi hari pun sudah malam, ia tak mau membuat tetangga sekitar berpikir yang bukan-bukan pada mereka berdua. "Nah, kalau dari tadi kamu jawab seperti ini kan saya sudah bisa pulang. Nggak perlu sampai saya terus memaksa kamu. Ya, kan?" Arsaka tersenyum penuh. Lengkungan itu terlihat begitu manis. Ia melihat gadis bermata bulat di hadapannya dengan ekspresi yang perlahan berubah dari awal mereka berjumpa beberapa saat lalu. Tantri mengangguk. Arsaka kembali bertanya sebelum ia pulang dari rumah mungil milik calon istrinya. "Besok kamu pulang jam berapa?""Jam 4, Mas." "Oke. Sampai jumpa besok. Assalamualaikum," pamit Arsaka lalu tersenyum dan melambaikan tangan pada Tantri sebelum memasuki kendaraan roda empat mewahnya yang telah terparkir di tepi jalan. Tantri mengangguk pelan lalu mem