"Ka-kamu!" Amarah Guntur terjeda ketika melihat beberapa pasang mata tertuju kepadanya. Hampir saja telapak tangannya terayun ke rahang tegas Arsaka. Tapi ia sadar tak ada gunanya melakukan hal itu pada pria muda yang ada di hadapannya yang masih begitu dicintai Aleta. "Om benar-benar nggak menyangka, ada manusia seperti kamu. Kamu nggak punya pendirian. Aleta adalah wanita yang baik. Apa kurangnya dia selama ini? Nggak ada, Saka. Dia nyaris sempurna. Tapi bagaimana bisa kamu meninggalkannya begitu saja tanpa ada niat untuk memperjuangkan cinta kalian? Kamu sangat menyedihkan!" hardik Guntur sebelum berbalik badan dan terpaksa berhenti ketika mendengar namanya dipanggil oleh Arsaka. "Om Guntur! Bisa diulang lagi pernyataan Om barusan? Saya sangat menyedihkan? Di bagian mananya? Bukannya terbalik? Putri Om-lah yang sangat menyedihkan. Kalau dia bahagia, dia tidak mungkin mengharapkan laki-laki seperti saya. Dia nyaris sempurna, tapi tetap saja dia manusia yang memiliki cela. Cela? Y
"Maaf ya, Mbak. Lain kali saja kami ke sini lagi. Permisi," pamit Tantri sopan pada pramuniaga yang sebelumnya mencoba menawarkan bantuan padanya dan Yusti. Sumpah demi apa pun, Tantri merasa tak enak hati pada pramuniaga gerai toko atas perbuatan sang bibi. Sambil menarik paksa pergelangan tangan Yusti, Tantri menahan malu dengan pipi memerah. Gadis itu ingin sekali bersembunyi di tempat yang tidak dapat ditemukan siapa pun usai melakukan hal konyol bersama bibi kesayangan satu-satunya. Hampir saja Tantri menabrak bahu seseorang gara-gara tergesa-gesa keluar dari gerai toko. Tapi ia bisa mengerem tepat waktu."Eh, Pak Saka!" Tantri yang polos tidak bisa menutupi rasa sungkan yang diam-diam menyergap hatinya. Arsaka yang jujur saja juga merasakan kaget dan kikuk pun tersenyum tipis. Wajah pria muda itu mendadak merona merah. Perasaan ini sudah lama tidak ia rasakan saat bersama Aleta atau mungkin pada barisan mantan pacarnya yang terdahulu. Kali ini ia merasakan deg-degan dan sung
"Ada apa? Kok mukanya jadi tegang begitu?" tanya Arsaka ingin tahu.Tantri dilema. Haruskah ia menjawab? Atau diam adalah jalan terbaik? Tidak! Bukan diam, ia harus menjawab. Tapi menjawab apa? "Kalau kamu merasa adanya saya di sini malah mengganggu privasi kamu, saya nggak keberatan kok kalau saya pergi sebentar ke mobil atau masuk ke dalam rumah kamu. Saya nggak akan membuat kamu terganggu sedikit pun. Kamu punya privasi. Dan mungkin saja saya sudah mengganggu ketenangan kamu. Silakan diangkat saja, Tantri. Urusan kita bisa kita bahas lagi nanti," ujar Arsaka dengan cukup bijak walau dalam hati merasa ada yang aneh di dalam dirinya. Entah cemburu atau curiga, ia pun belum bisa mendeskripsikannya. Arsaka beranjak dari bangku panjang dan bersiap melangkah. Mendadak pemuda tampan itu merasakan sesuatu yang halus dan kuat mencengkeram pergelangan tangannya. Arsaka menunduk ke bawah lalu menoleh ke samping. Ia bisa menemukan bukti kuat bahwa saat ini Tantri sedang memegang pergelang
Tantri menimang-nimang dalam hati. "Ya sudah kalau begitu, Pak, eh Mas Saka," sahut Tantri pasrah. Gadis itu tak mau bersilang pendapat yang nantinya akan membuat suasana menjadi kisruh. Ditambah lagi hari pun sudah malam, ia tak mau membuat tetangga sekitar berpikir yang bukan-bukan pada mereka berdua. "Nah, kalau dari tadi kamu jawab seperti ini kan saya sudah bisa pulang. Nggak perlu sampai saya terus memaksa kamu. Ya, kan?" Arsaka tersenyum penuh. Lengkungan itu terlihat begitu manis. Ia melihat gadis bermata bulat di hadapannya dengan ekspresi yang perlahan berubah dari awal mereka berjumpa beberapa saat lalu. Tantri mengangguk. Arsaka kembali bertanya sebelum ia pulang dari rumah mungil milik calon istrinya. "Besok kamu pulang jam berapa?""Jam 4, Mas." "Oke. Sampai jumpa besok. Assalamualaikum," pamit Arsaka lalu tersenyum dan melambaikan tangan pada Tantri sebelum memasuki kendaraan roda empat mewahnya yang telah terparkir di tepi jalan. Tantri mengangguk pelan lalu mem
Tak mudah lepas dari seorang Arjuna. Pria itu sekali ditolak, tak langsung menyerah. Pria itu melancarkan ide-ide lainnya untuk membuat Tantri mengiyakan keinginannya. Belum sempat Tantri menjawab, Sandra yang ada di sampingnya tiba-tiba memuji seseorang. "MasyaAllah, ada mas-mas ganteng, Tantri," ujar Sandra memberitahu. Secara otomatis pandangan kedua manusia di sekelilingnya segera terarah pada seseorang yang dimaksud Sandra."Hah, biasa saja, tuh. Gantengan juga saya," celetuk Arjuna tak mau kalah. Apalagi saat ini ia melihat tatapan Tantri juga terarah ke arah datangnya pria asing itu di sana. Arjuna memberengut sebal. 'Mas Saka!' Tantri takjub di dalam hati. 'MasyaAllah Mas Saka beda banget dari sebelumnya. Meski cuma pakai kaos dan celana panjang, dia tetap terlihat sangat menawan. Ya ampun Tantri, kenapa kamu dengan mudahnya berpindah ke lain hati? Di mana perasaan kamu buat Mas Banyu? Kenapa sekarang kamu memuji laki-laki itu?' Tantri pun bingung. Ia tak tahu apa sebabny
Arsaka mengangguk pelan. "Dibilang bersejarah sepertinya juga tidak. Tapi kalau dibilang penting sepertinya masuk di akal. Tapi kalau memang nggak bisa nggak apa-apa. Saya nggak bisa memaksakan kehendak kamu. Kamu punya keputusan sendiri. Jadi, saya nggak akan mengatur-atur kamu. Saya khawatir kalau saya melakukan itu sama kamu, kamu akan merasa terkekang dan nggak nyaman sama saya."Pria muda itu berhasil berkata. Walau terdengar nada kecewa di setiap kata yang terlontar dari bibirnya, ia tetap berusaha mengulas senyum sebagai pengalih dari rasa yang diam-diam merayap ke dalam hatinya itu.Melihat sorot mata sendu di hadapannya membuat Tantri tak enak hati. Ia pun tersenyum pada Arsaka yang membuat pria itu mengernyitkan keningnya. "Ada apa? Kamu jangan merasa kasihan sama saya. Saya nggak apa-apa kok. Jadi, jangan merasa sungkan atau merasa bersalah sama saya." "Siapa yang sedang mengasihani kamu, Mas?" Tantri merasa heran. "Kamu. Itu dari tatapan kamu. Tatapan kamu itu polos. Ja
Tantri tersenyum penuh arti. Hal ini membuat pikiran Arsaka semakin melambung tinggi tak jelas juntrungannya. Pria itu semakin merasa besar kepala ketika melihat sendiri Tantri tersenyum kepadanya. "Saya senang, senang sekali karena…." Tantri menjeda ucapannya. Arsaka mengarahkan fokus pandangannya hanya pada gadis itu. "Karena Mas Saka sudah membuat Bibi saya bahagia. Bibi ataupun saya jarang sekali pergi ke Mall. Sekali pun kami pernah pergi ke sana, biasanya kami hanya mendatangi gerai baju yang dijual sangat murah alias diskon. Tapi itu juga cuma sesekali, bahkan tidak mesti setahun sekali. Jadi, saya ingin mengucapkan terima kasih sama Mas Saka. Sekali lagi terima kasih ya, Mas. Terima kasih sudah mengajak saya dan Bibi berjalan-jalan walau dalam acara mencari seserahan. Tapi tetap saja rasanya menyenangkan dan nggak terasa waktu begitu cepat berlalu." Tantri menjelaskan dengan ekspresi senang luar biasa.Lega rasanya mendengar penyampaian Tantri kepadanya. Namun entah mengap
"Apa?!" Debora menatap berang. Ia geram bukan main usai mendengar pengakuan sang putri sulung. "Kurang ajar sekali dia! Bisa-bisanya dia memikirkan dirinya sendiri dan memilih perempuan lain untuk putranya? Wanita tak berhati! Kenapa dia tidak mati saja saat itu? Tahu bakal seperti ini, seharusnya saat itu aku meminta orang untuk membereskan dia tanpa sisa. Kurang ajar! Wanita iblis!" Melihat kemarahan sang ibu, Aleta merasakan semakin pening. Kepalanya berdenyut nyeri. "Mama bisa diam nggak? Aku pusing, Ma! Aku stress! Ocehan Mama barusan bukannya membuat aku tenang malah membuat aku semakin pusing. Aaaaaa!" Aleta uring-uringan lalu menjambak rambutnya yang sebelumnya sudah acak-acakan menjadi semakin tak jelas. Wanita muda itu bangkit dari posisinya lalu melenggang pergi meninggalkan sang ibu di ruang tamu apartemennya. Ia memilih masuk ke dalam kamarnya demi mencari ketenangan dan kedamaian tanpa ocehan tak berarti dari ibunya.BlammSuara pintu yang terbanting membuat Debora cuk