"Halo semua! maaf, terlambat. Biasa, macet di jalan," sapa Ayu pada kami.
Ayu masih cantik seperti dulu, bahkan semakin cantik. Dengan mengenakan dress selutut berwarna maroon, ditambah riasan wajah yang flawless, membuat siapapun tak akan berkedip menatapnya.Ia mengambil posisi duduk tepat di sebelah kananku. Ada rasa bangga ketika melihat ia lebih memilih duduk di dekatku dari pada di kursi kosong yang ada di antara Alex dan Agung."Kau semakin tampan saja, Rei." Sapaannya membuatku menegakkan punggung."Ah, biasa saja." Aku melempar senyum bangga."Sudah sukses sekarang ya, itu mobilmu ya?" tanyanya sambil menunjuk ke arah mobil kesayanganku."Tentu saja," jawabku sambil menyilang kan kaki.Ah, lihatlah. Pandangan mata Ayu nampak begitu terpukau saat melihat mobil kesayanganku. Aku yakin saat ini ia juga mulai terpesona denganku. Pada Reshwara yang tampan dan mapan ini.Ah, mengapa aku sangat menikmati tatapan mata itu."Kudengar kau sudah menikah?" Tanyaku kemudian."Iya, tapi pernikahanku gagal, Rei," jawabnya santai."Janda muda, uhuy!" Sorak Agung yang langsung dihadiahi Alex sebuah jitakan di kepalanya.Kami berbincang hangat mengenang masa-masa kuliah dulu. Tak terasa hampir dua jam kami bicara. Membuatku teringat pada Luna yang tadi kuturunkan di mall.Beralasan masih ada urusan lain, aku pamit pada mereka. Aku mengulas senyum ketika mendengar Ayu yang meminta nomer ponselku. Pandangan mata Ayu nampak masih begitu terhipnotis dengan ketampananku. Andai tiba tiba dia mengajakku berkencan aku tak akan sungkan menerimanya.Tak masalah meski ia seorang janda.Nabila, Farah, Celine, Nathalia, Bella, Marisa bahkan yang terakhir adalah Saskia, nama para wanita yang pernah berkencan dan menghabiskan waktu denganku. Wanita berkelas dari kalangan pengusaha, model dan selebriti. Tentu saja aku tak akan keberatan jika ditambah satu lagi.Aku melangkah ke tempat dimana mobil kesayanganku di parkir. Segera kutancap gas menuju mall. Untunglah, begitu melirik ke arah halte bis yang tadi kutunjuk, sudah terlihat Luna berdiri di sana.Aku menepikan mobilku di sebuah restoran cepat saji, yang berjarak sekitar dua puluh meter dari halte. Sengaja aku berhenti di sana karena kulihat ada rambu dilarang berhenti tak jauh dari halte di mana Luna berada.Baru saja berjalan beberapa langkah, kudengar seseorang berteriak, sepertinya ada sesuatu yang ramai didepan sana, dengan cepat kulihat beberapa orang berkerumun. Terpikir akan Luna yang berada tak jauh dari sana, membuatku melangkah cepat, aku tak mau terjadi sesuatu hal yang buruk pada Luna. Bisa bisa papa memarahiku jika ada sedikit luka gores di tubuh calon mantu kesayangannya itu.Entah apa yang terjadi sebelumnya, begitu tiba, aku tercekat melihat Luna sedang memuntir lengan seorang pria yang hampir tiga kali lebih besar dari ukuran tubuhnya lalu berputar dan menempatkan punggungnya tepat di dada pria itu kemudian menjatuhkannya dalam sekali bantingan keras.Bumm!Aku mengucek mataku, memastikan jika gadis yang melakukannya adalah Luna. Gadis remaja yang sedang kucari saat ini.Melihat apa yang terjadi barusan, Entah mengapa, seketika aku menelan ludah.Inikah calon istriku?Aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Pria berbadan kekar itu bisa dijatuhkan Luna hanya dengan satu kali bantingan. Hebat, entah mengapa tiba-tiba aku ingin memujinya.Segera kuhampiri dirinya, tak lama kulihat Luna mengibaskan tangannya sambil melotot tajam pada pria itu. Sebuah kejadian yang benar-benar di luar perkiraanku. Aku tak menyangka jika gadis kecil yang terlihat lemah lembut ini memiliki tenaga sebesar itu, membanting pria yang dua kali lebih besar dari tubuhnya.Ya tuhan, bagaimana jika suatu saat, teknik membanting seperti tadi ia coba padaku?Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik. Hii ... bisa remuk semua tubuhku. Ku-kurasa papa mungkin salah menjodohkan gadis ini denganku."Mas, kau sudah datang?"Pertanyaannya membuatku tersadar, gawat, jangan sampai ia tahu jika aku sangat gugup sekarang. Ku masukkan kedua tangan kedalam saku celana agar ia tidak melihat tanganku yang kini terasa dingin, dan sedikit gemetar."Ayo masuk ke mobil!" Perintahku padanya. Sengaja kutekan tinggi nada suaraku agar ia tidak curiga jika aku sedang gugup.Luna mengangguk patuh lalu mengikuti langkah ku. Kami berjalan bersisian menuju arah di mana mobilku diparkir."Kau bisa bela diri?" Tanyaku tetap dengan menegakkan wajah. Begitu kami sudah berada di dalam mobil."Iya, aku belajar sejak sekolah dasar karena dulu sewaktu kecil sering diganggu anak anak lain," Jawabnya kalem."Oh," aku hanya ber-oh- ria. Jujur saja, aku mulai memikirkan bagaimana nantinya akan menjalani rumah tangga bersamanya, jika saat ini saja aku mulai mengkhawatirkan keselamatan anggota tubuhku."Karate?" desisku ciut."Iya.""Sabuk apa?" tanyaku lagi, begini-begini aku juga mengerti sedikit tentang ilmu bela diri asal negeri sakura itu."Hitam," jawabnya cepat tanpa menoleh.Glek!Entah ia berkata jujur atau berbohong, tetap saja aku menelan ludah, sabuk hitam. Itu artinya kemampuan bela dirinya sudah sangat bagus. Wajar saja ia bisa membanting dengan mudah pria tadi."Memangnya apa yang terjadi tadi?""Ia mau mencuri dompet seorang bapak tua yang berdiri tak jauh dariku." Jawabnya."Oh," Aku mengangguk.Pasti sakit sekali rasanya, membayangkan bagaimana Luna membanting tubuhnya tadi, membuatku kembali menelan ludah.Aku meliriknya yang memandang ke luar jendela, baru kusadari jika ia memiliki bola mata yang besar dan indah. Siapa yang menyangka jika dibalik tubuh rampingnya yang tinggi dan terlihat gemulai ini ternyata menyimpan kekuatan yang besar.Sepanjang perjalanan pulang, kulihat ia hanya diam saja, tak mencoba untuk mengajakku bicara atau sekedar melirikku, apalagi menatapku dengan mata berbinar penuh cinta. Ah, tak pernah aku merasa diabaikan seperti ini. Meskipun Luna sama sekali jauh dari tipe gadis idamanku. Apa salahnya berusaha sedikit menggodaku? Tak tahukah dirinya jika banyak sekali gadis yang mengantri demi menginginkan posisinya sekarang ini?Aku mendengkus kasar, sambil memainkan jemari diatas kemudi. Berharap ia mengajakku bicara atau berusaha mendekat padaku, Sayang, berkali-kali aku melakukannya, ia tak juga membalikkan wajahnya padaku.Apa gadis ini tidak peka?Mengabaikan seorang Reshwara Anindra Sastrodirjo, seorang pria tampan dan mapan, bos dan pewaris dari sebuah perusahaan sukses?"Ehem ... uhuk!"Aku berpura-pura batuk, akhirnya ia menoleh dan menatapku juga."Ada apa, mas? Apa tenggorokanmu sakit?" Matanya mengerjab. Ah bola matanya yang besar itu sukses membuatku terpana."Ah tidak, hanya terasa agak gatel sedikit.""Oh, minum air saja, ntar juga lega. Kalau ternyata masih gatel, Mas beli buah kedondong saja," Jawabnya santai. Membuatku semakin dongkol."Buah kedondong? Apa hubungannya?" Ketusku."Kata orang, biji kedondong itu bagus untuk menggaruk tenggorokan yang sedang gatal," ujarnya sambil kembali memutar kepalanya kearah jendela."Teori dari mana itu?" sungutku."Dari teman-temanku." Ia menjawab cepat. Dengan wajah imut.Aku melongo, kehabisan kata-kata. Mungkin lebih baik sekalian saja ku telan kulit buah durian.Tapi, mengapa aku merasa begitu kesal, bukankah aku tak ingin dijodohkan dengannya?(5)Keesokan harinya,"Bagaimana menurutmu, Rei? Apakah masih ada yang belum masuk?" Tanya mama begitu baru saja menghempas bobot tubuh ini ke sofa. Lalu menyodorkan lembaran kertas bertulis nama-nama orang."Apaan ini, Ma? lagipula apa nya yang belum masuk?" tanyaku sambil memperhatikan nama yang tertulis."Itu daftar para tamu yang akan diundang ke acara akad nikah kalian," Jawab mama enteng."Daftar para tamu undangan?""Akad nikah?"Iya, sayang. Pernikahanmu kan tinggal dua minggu lagi, jadi kita harus mempersiapkannya dari sekarang.""Kan cuma ngucapin akad saja, ma. Tak perlu lah pesta mewah, akhir bulan aku sibuk dengan rapat dan laporan bulanan," tolakku sambil mencari cari alasan.Tentu saja aku tak ingin pernikahan ini diselenggarakan meriah, setidaknya untuk sekarang, aku tak ingin orang tahu jika sebentar lagi aku akan menikah. Bagaimana nanti wibawaku jika mereka tahu istriku hanya seorang remaja yang hanya lulusan SMA. Ah, membayangkannya saja sudah membuatku pusing.Se
Wangi shampoo menguar begitu Luna keluar dari kamar mandi. Rambut basahnya yang terbungkus handuk dengan wajah yang masih terlihat basah karena tetesan air, ditambah bi birnya yang begitu ranum merekah, membuat desiran di dada bahkan sesuatu di bawah juga ikut berdenyut.Mataku menjelajah, membayangkan semua bagian tubuhnya di balik kimono merah yang dipakainya. Namun, begitu membayangkan bagaimana kuatnya Luna memb4nting pencopet waktu itu, seketika membuatku menelan ludah.Ini adalah malam pertama kami setelah tadi siang mengucapkan ijab kabul. Aku masih duduk di kursi berpura-pura memainkan ponsel sambil melirik dan mencuri pandang ke arahnya, memperhatikan apa yang sedang dilakukannya sekarang.Ia menarik handuk kecil yang membungkus rambutnya lalu menggosokkan dengan tujuan untuk mengeringkan sisa air yang masih ada di sana. Tak lama, ia lalu melangkah menuju ke sebelah lemari, mengeluarkan sebuah koper dan menarik resletingnya, mengeluarkan sebuah setelan piyama bercorak hijau f
Mata mama masih melihatku dengan penuh curiga. Aku lupa jika gadis itu menantu kesayangannya. Lagipula, ada di mana gadis itu? menyusahkankanku saja.Di tengah kebingunganku, tiba-tiba pintu kamar mandi berderit, tak lama, kemudian terbuka lebar. Tampak keluar dari sana Luna yang sudah rapi, lalu menyambut kedatangan mama dengan sopan."Mama," sapa Luna sembari mencium punggung tangan mama."Ah, syukurlah. Mama pikir kau di usir Rei tadi malam. Mama hanya khawatir, untunglah sepertinya Rei tidak menganggumu," balas Mama sambil tersenyum manis pada menantu kesayangannya itu."Wah, rambutnya masih basah, berarti terjadi sesuatu dong semalam, pantas si bu4ya comberan itu nampak kesal dibangunkan, rupanya sudah belah duren toh," Ledek Raina terkikik."Iya-iya, aduh mama lupa jika kalian baru saja menikah." "Mama lupa atau sengaja pura pura lupa?" sindirku."Sengaja." Raina menjawabnya sambil nyengir kuda."Hei sudahlah! Mama kesini mau ajak Luna sarapan. Kau pasti belum sarapan, kan? Rei
Rumah berlantai dua dengan model Mediterania klasik ini langsung terlihat begitu mobilku berbelok, rumah yang dibeli papa sebulan sebelum pernikahanku seakan menjadi ungkapan kebahagiaannya.Mobil yang kukemudikan kini berhenti tepat sempurna di depan pintu masuk utama rumah ini. Ku pindai pandangan ke sekeliling bangunan, mengagumi keindahan eksterior rumah ini.Sebuah Pohon Flamboyan merah terlihat begitu kokoh di sudut kanan, pohon dengan rantingnya yang lebat dan bunganya yang berwarna kemerahan itu seolah ingin memberikan kesan indah dan berbeda. Aku memuji selera dan pilihan papa. Dalam sekali lihat, aku sudah menyukai rumah baruku ini.Reshwara, harusnya kau tahu jika papa sangat menyayangimu. Yang harus kau lakukan adalah menjalani pernikahan ini saja, jika nantinya memang tidak ada kecocokan antara kalian, bukankah itu alasan yang bagus untuk menceraikannya?Lagipula, hanya sedikit orang saja yang tahu jika kau sudah menikah. Tentu itu sangat baik untuk kepopuleranku. Dengan
Aku masih terpaku menatapnya, Ia masih di sana terlihat menoleh terus ke sisi kirinya, tak lama, sebuah taksi on-line berhenti di dekatnya.Tanpa menoleh, gadis itu langsung naik ke dalam taksi tersebut. Sejenak aku merasa kesal, mengapa ia tak mencoba meminta tumpangan padaku. Bukankah, kampusnya dan kantorku searah?Baru kali ini ada seorang gadis yang membuang pandangan dariku, seolah tak tertarik dengan pesona seorang Reshwara yang tampan dan mapan. Tak tahukah gadis itu, jika seharusnya ia banyak bersyukur karena bisa menikah denganku.Ah, pagi ini suasana hatiku seketika buruk.Taksi yang ditumpangi Luna sudah bergerak menjauh meninggalkan rumah ini. Segera, ku letakkan kasar tas kerjaku dan mulai menyalakan mobilnya. Seperti biasa, Sekretarisku Sarah, langsung menyapa begitu tiba di kantor. Tubuh seksi dan senyumannya yang menggoda selalu bisa membuat suasana hatiku membaik. Setidaknya, dengan begini, rasa kesalku bisa sedikit terlupakan. "Selamat atas pernikahannya, Pak," uj
Seminggu sudah kami menempati rumah ini. Itu artinya, sudah seminggu pula, pernikahan ini kujalani. Sungguh, tak ada yang berubah, semua hampir sama seperti saat belum menikah dulu, bedanya sekarang hanyalah statusku saja yang berubah.Pagi ini sama seperti hari biasa. Luna membangunkanku untuk sarapan bersama. Seperti biasanya, dia tetap menunggu di meja makan, meski telah kuberitahu jika aku memilih sarapan di kantor saja.Tak ada orang lain di rumah ini, selain aku dan Luna saja yang menghuni. Aku sungguh tak mengerti, mengapa Luna masih bisa bersikap tenang saja meskipun sikapku tidak pernah baik padanya.Semoga suatu saat nanti, Luna sendiri yang mengajukan permohonan cerai. Dengan begitu, aku tidak akan dianggap bersalah dimata papa, karena jika terjadi perceraian diantara kami, Papa pasti akan menyalahkanku."Ah, benar benar rencana yang brilian, Rei." Aku tersenyum sendiri mengingat rencanaku untuk menendang Luna dari hidupku."Mas!" Panggil Luna.Untuk sesaat aku terpesona de
"Kau ..." Geramku sambil mengepalkan tangan."Lho, marah ya? Daripada marah-marah ndak jelas, buang-buang tenaga, lebih baik mas ambil ember dan kain lapnya, lalu gosok dan bersihkan semua perabotan yang ada di rumah ini," ujarnya seakan memberi perintah.Aku menelan ludah mendengarnya bicara. Ingin rasanya ku tarik bibir yang seenaknya saja menyuruh. Tapi, hal itu hanya sebatas angan dalam kepalaku saja. Mana berani aku melakukannya karena tiba-tiba saja melintas bayangan saat Luna dengan mudahnya membanting tubuh pencopet di halte bus waktu itu.Hii ... Aku bergidik. Tidak Rei, jangan coba mencari masalah dengannya jika tidak ingin berakhir di rumah sakit."Baiklah," ucapku menyerah.Dengan senyum yang begitu manis, tangan Luna menunjuk ember kecil dan kain lap yang kulempar tadi padanya. Aku melirik sinis padanya seakan bentuk protesku atas perlakuan kasarnya padaku.Jika sudah seperti ini, apa dia masih juga ingin menuduhku melakukan kekerasan? Kurasa dia lah yang telah melakukan
"Mas, apa yang sedang kau lakukan?""Apa itu kain lap kotor?" Tanya Raina sambil menunjuk kain lap kotor di bahuku dengan tatapan mata tak berkedip seakan tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya."Anu ... itu." Mendadak lidahku kaku menjawabnya. Ah, apa yang sedang terjadi padaku? Mengapa tiba-tiba saja aku malu pada Raina.Mata Raina menyipit, menunggu jawaban dariku."Apa, Mas? Jangan bilang kalau kau sedang ..." "Ya, aku baru selesai menggosok semua lemari, meja, pegangan tangga, bahkan tembok juga ku gosok sampai mengilap. Puas kau!?" Potongku cepat dengan wajah masam saat mengakuinya."Menggosok? Dengan kain lap itu?" Tanyanya memastikan."Iya," jawabku ketus. "Kenapa?"Tawa Raina pecah, gadis itu terbahak menertawakanku. Tentu saja karena melihat penampilanku yang tak ubahnya seperti pembantu ini. "Jadi, kau sedang bersih-bersih rumah, Mas. Aku yakin mama pasti sangat senang melihatmu rajin seperti ini.""Berisik, puas kau tertawa, hah?" aku bersungut kesal lalu membalik