Share

Bab 8

Rumah berlantai dua dengan model Mediterania klasik ini langsung terlihat begitu mobilku berbelok, rumah yang dibeli papa sebulan sebelum pernikahanku seakan menjadi ungkapan kebahagiaannya.

Mobil yang kukemudikan kini berhenti tepat sempurna di depan pintu masuk utama rumah ini. Ku pindai pandangan ke sekeliling bangunan, mengagumi keindahan eksterior rumah ini.

Sebuah Pohon Flamboyan merah terlihat begitu kokoh di sudut kanan, pohon dengan rantingnya yang lebat dan bunganya yang berwarna kemerahan itu seolah ingin memberikan kesan indah dan berbeda. Aku memuji selera dan pilihan papa. Dalam sekali lihat, aku sudah menyukai rumah baruku ini.

Reshwara, harusnya kau tahu jika papa sangat menyayangimu. Yang harus kau lakukan adalah menjalani pernikahan ini saja, jika nantinya memang tidak ada kecocokan antara kalian, bukankah itu alasan yang bagus untuk menceraikannya?

Lagipula, hanya sedikit orang saja yang tahu jika kau sudah menikah. Tentu itu sangat baik untuk kepopuleranku. Dengan begitu aku masih bisa berpetualang dengan banyak wanita lainnya.

Terima kasih Tuhan, kau sudah memberikan banyak hal baik padaku. Batinku berucap.

Aku melirik Luna yang masih terpaku menatap bangunan rumah. Tak ingin berlama lama di luar karena sinar matahari yang sudah terasa menyengat, segera kuajak istri belia ku ini untuk masuk, menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di rumah baru kami.

"Rumahnya nyaman ya, Mas. Bagus!" Ungkapnya.

"Iya," jawabku cepat.

"Ehm ... mas, kamarku ada di mana?"

"Aku juga baru pertama kali kesini, kau pilih saja sendiri kamar mana yang mau kau tempati!" Ucapku refleks.

Ia menatapku tajam seolah memintaku memberikan penjelasan atas apa yang baru saja kukatakan tadi. Mengetahui itu, aku memintanya duduk dulu di sofa, untuk sekadar melepas penat.

"Duduk dulu, sepertinya ada yang harus kita bicarakan."

Begitu mendengarnya. Kulihat ia segera melangkah ke sofa tamu, memilih posisi duduk yang nyaman. Tak lama, akupun mengikutinya, kini kami sudah duduk saling berhadapan satu sama lain.

"Di dalam rumah ini, kita adalah suami istri, tapi selangkah keluar dari rumah ini, kita tidak saling mengenal. Kita adalah dua orang asing. Kau mengerti maksudku, bukan? Dan juga jangan sampai keluarga besar mengetahui semua ini," ucapku langsung pada intinya.

"Satu lagi, aku ingin memiliki kamar sendiri," tegasku. Sebenarnya tak ada niat apa-apa, hanya saja, aku malas tidur satu ranjang dengannya jika mengingat bagaimana 'liarnya' ia ketika tidur. Aku tak mau sekujur tubuhku remuk begitu bangun tidur karena posisi tidurnya yang bisa berubah sewaktu-waktu bahkan kakinya tanpa ragu menendang wajah tampanku ini.

Luna nampak begitu terkejut mendengar apa yang baru saja kuucapkan, Namun, itu hanya sesaat, beberapa detik kemudian, dengan cepat ia menguasai diri. Seakan tidak mendengar apa apa.

Penguasaan diri yang cukup baik. Ah, kenapa aku jadi memujinya.

"Baik, jika itu keinginan Mas Rei. Tapi, aku juga punya syarat."

"Apa itu, katakan?"

"Aku minta izin untuk ke kampus."

"Ke kampus?" Aku bertanya sambil menyipitkan mata. Untuk apa gadis kecil ini ke kampus?

"Iya, aku izin keluar rumah setiap hari untuk kuliah."

"Hanya itu saja?"

"Iya Mas."

"Baiklah, silakan. Aku tak tahu jika kau ternyata kuliah." Ada nada mengejek terdengar dalam kalimat yang kuucapkan.

"Apa aku bisa memilih kamarku sekarang?"

"Tentu saja. Kata papa, rumah ini punya empat kamar selain dua kamar pembantu di belakang. Kau pilih saja kamar manapun yang kau mau." aku memperbolehkan ia memilih lebih dulu. Lagipula, aku yakin pasti kamar di lantai dua ada yang cocok untukku.

"Aku mau kamar yang ada di lantai dua saja, mas."

"Silakan."

Luna membawa kopernya menaiki tangga, aku membiarkan ia membawa kopernya sendiri, aku yakin itu cukup berat dan melelahkan untuknya. Jujur, aku cukup terkejut mendengar pernyataannya tadi, ternyata gadis ini seorang mahasiswi.

Rasanya kesal, mengingat tidak ada seorang pun yang memberitahu tentang latar belakang pendidikannya padaku sebelumnya.

Sebenarnya, apa lagi yang belum kuketahui dari seorang Luna?

****

"Iya, Luna kuliah di universitas Xxxx, kenapa, kau baru tahu? Dasar! suami apaan kau mas, pendidikan istrimu sendiri saja kau tidak tahu," ejek Raina, begitu aku menelponnya untuk menanyakan soal latar belakang pendidikan Luna.

Yah, para reader sekarang ikutan menghujat. Suami apaan? pendidikan istri sendiri saja tidak tahu. Hei, aku tidak tertarik untuk mengetahuinya, lagipula, salah sendiri mengapa papa dan mama tidak mengatakannya padaku. Jadi wajar dong, jika aku tidak tahu dan menganggapnya sebagai gadis biasa yang cuma lulusan SMA?

Tak mudah untuk bisa menjadi mahasiswa di universitas yang tadi disebutkan Raina, keren juga nih si Luna bisa kuliah di salah satu kampus terbaik negeri ini. Tak menyangka, sungguh ini benar benar suatu kejutan.

Pagi ini, aku masih duduk diam di kamar. Menatap layar ponselku. Ucapan Raina masih terngiang di telinga. Sebenarnya apa lagi yang tidak kuketahui tentang Luna?

Kulirik sudah hampir pu-kul tujuh pagi, kurasa sudah waktunya aku berangkat ke kantor. Meskipun sebenarnya papa masih memberiku cuti hingga tiga hari ke depan.

Ketukan pintu terdengar, diikuti oleh Suara Luna yang memanggil namaku. Kuseret langkah menuju pintu, lalu membukanya.

"Mas, mau sarapan bareng, nggak?"

"Memang sarapan dengan apa?" Tanyaku datar.

"Nasi goreng."

"Sandwich ada?" Tanyaku.

"Tidak ada. Di dapur hanya ada beras dan telur. Jadi ku buat saja nasi goreng,"Jawab Luna pelan.

"Kau makan saja sendiri."

" ... dan ya, selanjutnya, kau tak perlu repot-repot mengurus keperluanku. Aku bisa mengurus diriku sendiri."

Wajah Luna tampak kecewa mendengar perkataanku barusan. Terserah, aku tak begitu peduli. Lagipula, aku yakin masakannya tidak enak. Maaf, tapi lidahku terbiasa dengan makanan buatan chef atau koki.

"Baiklah, maaf menganggu," Suara Luna terdengar gemetar.

Luna membalikkan badannya, melangkah menjauhiku, ada rasa bersalah dalam diri tapi, aku juga tak mau menyiksa diri dengan menikmati masakannya yang kuyakini tidak enak itu.

Ah, kenapa jadi runyam begini. Harusnya gadis itu tahu, seorang Reshwara yang tampan dan mapan, memiliki selera makanan yang enak dan berkelas. Setidaknya, ia bisa menyajikan Sandwich atau roti panggang.

Mungkin sesekali aku harus mengajarinya.

Dengan perut kosong, aku berjalan keluar menuju mobilku. Kulihat Luna sedang berdiri di dekat pagar dengan membawa sebuah tas di punggungnya dan tentunya sepatu kets berwarna putih yang membuatnya terlihat berbeda.

Ia segera membuang muka dan berpura pura tak melihatku ketika tak sengaja pandangan mata kami bertemu. Mau kemana dia sepagi ini, apakah ke kampus? Benakku kini mulai bertanya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status