Share

Bab 5

(5)

Keesokan harinya,

"Bagaimana menurutmu, Rei? Apakah masih ada yang belum masuk?" Tanya mama begitu baru saja menghempas bobot tubuh ini ke sofa. Lalu menyodorkan lembaran kertas bertulis nama-nama orang.

"Apaan ini, Ma? lagipula apa nya yang belum masuk?" tanyaku sambil memperhatikan nama yang tertulis.

"Itu daftar para tamu yang akan diundang ke acara akad nikah kalian," Jawab mama enteng.

"Daftar para tamu undangan?"

"Akad nikah?

"Iya, sayang. Pernikahanmu kan tinggal dua minggu lagi, jadi kita harus mempersiapkannya dari sekarang."

"Kan cuma ngucapin akad saja, ma. Tak perlu lah pesta mewah, akhir bulan aku sibuk dengan rapat dan laporan bulanan," tolakku sambil mencari cari alasan.

Tentu saja aku tak ingin pernikahan ini diselenggarakan meriah, setidaknya untuk sekarang, aku tak ingin orang tahu jika sebentar lagi aku akan menikah. Bagaimana nanti wibawaku jika mereka tahu istriku hanya seorang remaja yang hanya lulusan SMA. Ah, membayangkannya saja sudah membuatku pusing.

Seorang Reshwara Sastrodirjo seharusnya memiliki istri yang bisa mengimbanginya. Cantik, berkelas, berpendidikan dan juga anggun. Bukannya seorang gadis remaja berusia sembilan belas tahun yang hanya lulusan SMA.

Benar benar menyedihkan.

Aku tersenyum kecut ketika papa melihatku dengan sorot matanya yang tajam. Seakan membaca isi pikiranku.

"Luna adalah gadis yang baik, ia juga pintar dan sopan. Papa diam karena menyetujui permintaan Luna," Ucapan papa sukses membuat dahiku berkerut.

"Apa maksudnya?" Segera, aku menoleh pada mama, mencari jawaban atas pernyataan papa barusan.

"Kemarin, sebelum pulang, Luna memohon pada papa agar merahasiakan pernikahan kalian untuk sementara waktu." Raina menjawabnya.

Benarkah itu?

Mataku berbinar begitu mendengarnya, seketika hatiku bersorak gembira, riang tak terkira. Oh senangnya, aduhai! Lho kok jadi berasa lirik lagu ya? Ah Sudahlah, yang penting, gadis kecil itu telah mewakili perasaanku saat ini. Terserah bagaimana orang menilainya, yang penting status sebagai direktur utama yang masih single masih bisa kusandang.

Inilah aku, Reshwara yang tampan dan mapan, seorang bos yang diincar banyak wanita cantik. Pria yang cerdas, berpendidikan dan sukses, Itulah diriku, dan aku masih belum ingin pensiun dari semua kepopuleran ini.

Aku masih ingin menikmati hidupku. Menikmati rayuan dan sentuhan nakal para wanita-wanita cantik. Menggoda mereka dengan ketampanan dan tentunya uang yang kumiliki.

"Rei!" Mama kembali memanggilku, meminta jawabannya. Membuyarkan angan sesaatku.

"Terserah mama sajalah. Yang penting jangan banyak-banyak ngundang orang. Bila perlu cukup hanya undang Om, Tante dan Pak RT saja sebagai saksi," jawabku asal.

Mama menggeleng setelah mendengarnya. kulihat Raina mencibir, sedang papa, hanya diam.

"Memangnya kucing. Masa hanya mengundang Pak RT saja? kucing saja kalau sedang lagi kasmaran, berisiknya minta ampun!" kulihat Rania tampak menjeda kalimatnya. Tak berselang lama, suaranya terdengar kembali.

"Dasar, buaya comberan. Kalau aku jadi Luna, sudah kucincang habis kau," lanjut Raina sambil memonyongkan bibirnya.

Aneh, salahku di mana coba? Bukankah calon mantu kesayangan kalian sendiri juga meminta pernikahan ini diselenggarakan sederhana dan tanpa mengudang banyak orang?

***

Pernikahan kami akhirnya digelar juga. Dengan satu tarikan nafas, akhirnya gadis dengan bola mata indah itu kuhalalkan, untuk beberapa saat tadi, aku sempat terpesona ketika melihat penampilan yang begitu berbeda dalam balutan kebaya pengantinnya.

"Cantik," tanpa sadar bibirku memujinya.

Acara akad nikah kami di selenggarakan di sebuah hotel berbintang, dengan Pak Sigit, paman Luna sebagai wali nikahnya. Kulihat mereka semua nampak terharu kala aku selesai mengucap ikrar janji pernikahan ini.

"Bagaimana para saksi?

Sah.

Sah.

Sahhhh!

Sebuah kata yang pendek namun mendatangkan tanggung jawab yang besar di teriakkan beberapa orang membuatku tersenyum kecut. Dengan begini, Luna telah resmi menjadi istriku secara hukum dan agama.

Tak banyak yang hadir, hanya sekitar seratus orang saja. Selain kerabat dekat, aku hampir mengenal semua tamu yang datang. Kulihat ada beberapa orang direktur dan manager, serta beberapa klien dan kolega bisnis yang turut hadir menyaksikan acara sakral tadi.

"Cie, pengantin baru, jangan lupa nanti malem, minum obat kuat yang sudah kusiapkan di kamar," bisik Raina di telingaku setelah acara pengucapan akad nikah ini selesai.

"Berisik kau! aku tak butuh!" Aku mendengkus kesal.

"Ye, niatku baik. Jangan sampai 'senjata kebanggaanmu' itu loyo pas malam pertama kalian. Kasihan Luna kalau dia tidak puas."

"Pergi dari sini!" usirku sambil membuka lebar kedua kelopak mata.

"Ye, dia marah!"

"Rasakan, emang enak! Buaya comberan akhirnya ketemu pawang," ejek adikku itu sambil berlari.

Heran, entah mengapa aku bisa punya adik seperti dirinya. Selalu saja ucapannya membuatku kesal. Apa tadi katanya? obat kuat. Emang aku selemah itu hingga harus minum obat semacam itu segala.

Konyol dan tak masuk akal.

Eh, tapi kan aku sendiri memang belum pernah mencobanya, memang banyak sih para gadis yang memberi kode untuk mengajakku berkencan satu malam dengan mereka, meski begitu, begini-begini imanku masih kuat. Kata Pak ustadz perbuatan itu berdosa.

Aku sungguh heran, memangnya wanita saja yang bisa mempertahankan mahkotanya, 'senjata' milikku ini juga masih dalam status bersegel. Lagipula, seorang Reshwara yang tampan dan mapan, tak akan bisa ditaklukkan dan mudah diajak untuk begituan. Ini menyangkut harga diri dan nama baik.

Apa kata orang-orang jika para wanita itu dengan mudah menaklukkanku dan gampangnya menikmati guyuran benihku di rahimnya?

Enak saja, calon anakku nanti harus dari gadis yang cerdas, berkelas dan juga bisa menjunjung tinggi harga dirinya, bukan para wanita yang dengan gampangnya merentangkan kedua paha atau menurunkan blouse agar belahan dadanya bisa terlihat dengan mudah. Sungguh, sama sekali tak masuk dalam daftar kriteria calon istriku.

Ah, apa sih yang sedang kupikirkan ini. Raina emang sialan! Gara-gara ucapannya, pikiranku jadi berkelana kemana-mana. Kenapa pula dia harus memikirkan tentang malam pertama kami, lagipula tak ada yang perlu kucemaskan karena kejantanan milikku ini akan bekerja dengan baik.

Tapi, kurasa tak ada salahnya jika aku sedikit mencari informasi tentang bagaimana seorang pria melepas kejantanannya. iya kan? bagaimana pun juga, ini juga pengalaman pertama untukku.

Tuh kan jadi kepikiran terus, memang dasar Raina sialan!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status