Dua hati mulai mengikis jarak, mencari kemesraan. Sean ingin lebih aktif menciptakan kehangatan sebagai ungkapan cinta. Sedang Emily pelan menerima perlakuan lembut Sean."Aku ingin Axel segera memanggilku papa. Bantu jelaskan pada anak itu. Akh, dia sensitif sekali dan selalu waspada. Apalagi soal kamu, Sayang. Pertimbangannya sangat rumit dan jeli. Tidak mau percaya begitu saja." Sean masih memegang tangan Emily."Aku pasti akan bantu, dia juga akan mengerti. Axel anak pintar, jadi akan paham. Mungkin kamu bisa menyertakan bukti atau saksi."Sean mulai berpikir. "Victor? Aku akan menariknya nanti malam. Aku tidak mau ada keraguan sedikit pun di hati anakku."Emily tersenyum menatap Sean. Wanita terus menatap lekat."Ada apa, Emily? Apa aku semakin tampan?" Sean menoleh dan menjawil hidung istrinya."Semakin tua!" Emily terkikik kecil sambil menoleh ke arah jendela mobil."Hish! Istriku bilang aku sudah tua? Kita buktikan nanti seperti apa suaminya yang dibilang tua ini!" Sean terkek
Axel duduk tak tenang di kursi belakang. Dia bingung ingin menghubungi ibunya atau David.Tadi Axel meletakkan tablet pada tasnya. Dia segera mencari kontak David.[Kapan Om akan menemuiku? Terjadi banyak keanehan dan aku takut Mama sudah dicuci otaknya sama pria aneh itu. Bagaimana bisa Mama jadi baik dan sering tersenyum pada pria itu? Mama tidak marah saat pria itu menyuruhku memanggil 'papa'. Tapi Om tenang saja, aku tetap waspada.] Send.Axel menanti balasan David.[Nanti kita akan bertemu. Kita akan bahas dengan teliti.] Pesan balasan David disertai emogi tersenyum.Axel membelalak melihat emogi itu. [Om, aku serius! Pria itu dan Mama sangat aneh. Bahkan, mama aku temukan sedang ada di pangkuan pria itu. Kira-kira, apa rencana pria itu?][Akan jelas setelah kita bertemu. Tenanglah, itu bukan masalah berat. Belajarlah dengan baik. Kamu harus lebih pintar lagi untuk melawan pria itu.]Axel menghempas tablet-nya kerena kesal pada tanggapan David. "Sepertinya, semua orang telah dip
Di sebuah restoran mewah. Di mana hanya ada mereka di sana sebagai tamu VVIP. Seharusnya, untuk makan di restoran itu harus mengantri satu bulan, tapi Sean bisa membuat reservasi selama dua puluh empat jam. Demi membuat moment istimewa.Kini mereka duduk mengintari meja bundar lebar. Emily dan Axel duduk di dua sisi Sean. Axel sempat menolak, tapi ibunya memaksa agar tenang. Jadi anak itu menurut meski kesal."Restoran Mama lebih rame dari restoran ini. Lihat, hanya ada kita saja. Bagunannya memang sangat mewah, tapi jika tidak ada pelanggan untuk apa?" Axel menebar pandangan ke segala penjuru dengan terus menggeleng."Kepintaranmu belum sampai tahap ini, Axel. Meski cuma kita aja yang makan di sini, tapi keuntungan mereka sudah melebihi restoran Mamamu seharian," jelas Dayana.Axel melebarkan mata. "Ma, aku akan buatkan restoran seperti ini besok." Anak itu bersemangat."Papa sudah siapkan semuanya. Restoran mewah untuk Mamamu," sahut Sean."Apa bisa segera dimulai? Aku sudah sangat
"Aku juga harus tahu soal kasus Emily. Ingat, meski Emily sudah memberimu kesempatan, tapi aku tetap akan mengawasimu! Aku dan David adalah orang yang wajib tahu soal Emily." Dayana menaikkan alisnya."Kalian boleh membahasnya lain kali. Silahkan datang ke kantorku nanti. Karena kalian memang berhak tahu. Aku tidak akan menutupinya dari kalian," ucap Sean pada David dan Dayana. Dia melirik Axel. Sang ayah itu tidak mau dada anaknya bergejolak jika tahu alur kasus kecelakaan. Bisa jadi, dengan sifat Axel yang over protektif pada ibunya, akan bertindak ceroboh dan gegabah saat mengetahui beberapa terduga."Kami paham." David paham maksud Sean Sean tersenyum menatap anaknya. "Hey, kenapa diam saja? Apa makanan restoran ini tidak sesuai seleramu? Hem ... papa tahu. Makanan terenak memang masakan Mamamu. Favorit papa adalah buatan istriku. Tapi, kamu tidak boleh pulang dengan perut kosong. Mau papa suapi?" Axel diam menatap sorot mata teduh ayahnya. Dia ingin menangis karena lidahnya san
Sean berdiri menatap Emily dengan satu tangannya menekan kunci otomatis.Sangat manis. Emily melipat bibirnya dengan senyum sipu. Dia menunduk tak berani menatap Sean. Tangannya terus meremas di bawah.Sean terus mendekat hingga kini berdiri saling berhadapan. "Kamu masih malu padaku? Aku suamimu, bukan pacarmu." Sean menyapu rambut Emily.Emily memegang dua sisi kemeja Sean dan menggerak-gerakkan pelan. Dia terus tersenyum."Sayang, Emily sayang." Sean memegang dagu Emily dan menaikkan agar menatapnya.Emily tersenyum, dia menatap malu wajah Sean. Seperti Emily saat dulu digoda Sean. "Hem .... Kenapa kamu seperti ini? A-aku mau mandi dulu. Siapa yang mau mandi duluan?""Bisakah aku mengulang malam pertama kita? Aku ingin ...." Sean tidak mau merusak suasana dengan cerita kelam.Raut wajah Emily seketika berbeda, tapi tetap ada senyum tipis. Ingatan malam pertama dengan tangis kepiluan. Malam pengakuan Sean akan skema menipu hatinya terulas kembali, tapi Emily tepis sekuatnya.Sean m
"Tuan Benny membuat tim khusus dalam rencana nona Felisha. Mereka mengambil beberapa orang setianya dari markas. Tanpa memberitahu Anda, Bos. Apa Tuan Benny mulai ragu pada Anda? Bahkan skema serangan pada Sean tidak meminta dari Anda," jelas tangan kanan Blade.Di roof top markasnya. Blade menikmati taburan bintang dengan minuman penghilang kesadaran. Pria itu menghembus nafas panjang."Biarkan saja. Aku akan lihat sejauh mana mereka akan berhasil! Tetap awasi pergerakan tim itu. Jangan sampai kita kalah langkah!" Blade menyesap minumannya."Baik, saya tetap akan berada di belakang Anda. Apa pun yang terjadi. Meski anak buah kita hanya sebagian yang bisa dipercaya.""Bertahanlah. Mungkin tidak akan lama lagi." Blade menatap tajam satu titik bintang. Bibirnya tersenyum tipis, seolah miris menatap dirinya sendiri."Saya tidak berani bertanya, kenapa Anda berbuat sejauh ini. Resiko sangat besar, bahkan nyawa Anda bisa berada di ujung tombak."Blade terkekeh. "Siapa yang mau menawar nyawa
Di sekolah Axel.'Mereka datang lagi. Jika anaknya seperti itu, maka ayahnya pasti sangat payah! Untung papaku keren. Heh, bukan gaya kami!' batin Axel saat melihat anak orang kaya mendekat."Axel, kata papaku kamu belum bilang sama papamu kalau aku berteman denganmu."Axel tersenyum miring. "Aku nggak butuh teman sepertimu. Cari saja teman yang lain. Papaku menyuruh untuk belajar di tempat ini, bukan cari anak buah! Lagian, bodyguard-ku udah banyak!"Anak itu mengepal kuat, dia disuruh sang ayah untuk mendekati anak pengusaha hebat itu."Axel, aku punya mainan baru. Ini edisi terbatas. Aku memesannya lumayan lama, tapi kamu boleh memilikinya." Anak lain mendekat dengan cara lain.Axel menghela nafas panjang. Dia berdiri dengan dua tangan masuk saku. "Sehebat itukah papaku, sampai kalian yang masih kecil terkagum? Dengar, kalau kalian tertarik dengan papaku, datang padanya dan minta uang yang banyak. Tapi, jika ingin berteman denganku? Sayang sekali aku nggak tertarik!" Anak itu pergi
"Sangat kebetulan!"Blade menaruh pisau di salah satu tangannya. Motor itu melaju sangat kencang. Dia mengarahkan pisau di bahu Sean sambil sedikit menyerempet. Dengan posisi lutut Blade agak terbuka, mendorong menendang kuat kaki Sean. Tampak terpental, tapi bukan karena terserempet."Argh!" pekik Sean."Papa!" teriak Axel. Anak itu berlari."Sean!" Emily langsung berlari.Sean terpental tidak jauh. Dia terguling di pinggir jalan. Rungu Sean tetap fokus pada seruan kebanggaan anaknya, tapi matanya tajam menatap motor yang melesat jauh.'Blade! Apa ini?' batin Sean. Dia memegang bahunya yang mengucur darah."Siapkan mobil!" teriak Dario.Dalam lajuan mobil. Sean duduk di belakang. Dua sisinya ada Axel dan Emily yang menangis cemas."Sean, Mana aja yang sakit? Tangan, kaki? Mana lagi?" Emily menekan bahu Sean yang mengalirkan darah.Sean mengecup kening istrinya. "Jangan menangis."Sean kini menatap Axel. "Papa baik-baik saja. Lihat, hanya luka kecil.""Pa. Maafin Axel. Ini salahku. Ha