"Apa itu akan menjadi masalah yang besar, Arsen?" tanya Airina. "Tidak, Jorge hanyalah benalu di perusahaan. Jangan dipikirkan," peringat Arsen. Lelaki itu terlihat sangat tenang meski pun melawan seorang keluarga Dassault. "Dengan adanya Aiden, kamu pasti akan lebih aman. Sebagai istri tuan muda Pinault, kamu pasti menjadi sasaran banyak orang jahat," jelas Arsen. Airina hanya mengangguk, "Tetapi aku belum terbiasa dengan adanya Aiden. Biasanya hanya Aron yang datang tiba-tiba atas perintahmu." Usap Arsen pada kepala Airina, "Dengarkan aku, sekarang Aron dan Aiden akan menjadi bodyguard dan sopir pribadimu. Aku ingin kamu aman, jika keluar tanpa aku," ucap Arsen lirih. Tatapan mata yang intens itu membuat Airina merasa diratukan. Bodyguard dan sopir pribadi, Apa boleh ia bermimpi akan menjadi istri sungguhan untuk Arsen? "Terima kasih, Arsen. Sebenarnya tidak perlu berlebihan, aku hanya membutuhkan Aron. Jika suatu saat aku ingin pergi," tutur Airina. "Hust, biarkan. Ini tida
"Arsen ... kamu?" Airina mendongak dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Maaf aku kembali ke mobil saja," pamit Airina. "Airina, sebentar. Maafkan aku, tadi aku tidak sengaja membentakmu. aku-" Tanpa mendengar penjelasan Arsen sampai selesai, Airina berjalan meninggalkan lelaki itu. "Arghh! bodoh!" pekik Arsen. "Semua ini gara-gara laki-laki sialan itu!" umpatnya. Arsen berlari mengejar Airina, sedangkan wanita itu terlihat mengusap air matanya sepanjang langkah. "Airina, maafkan aku!" ucap Arsen berulang. "Airina, tolong berhenti dulu!" ujar Arsen. Airina masih tetap berjalan dengan terburu-buru, tanpa melihat sedikit ke belakang. "Airin, dengarkan aku sebentar!" Arsen menarik lengan Airina terpaksa, membuat wanita itu berbalik memeluk tubuhnya. Airina mendongakkan kepalanya, tangannya memukul dada bidang Arsen. "Kamu kira aku siapa asal dibentak, hah!" gerutu Airina. "Apa kamu lupa?!" tanya Airina kesal. Lelaki itu menyentuh ujung hidung Airina dengan jari telunjuknya
"I-iya, Anda siapa?" tanya Airina. "Aku teman Gemma Dassault," jawabnya. Airina terhenyak mendengar jawaban itu, ia tidak lagi ingin bicara. Rasa takutnya akan di sekap di ruangan gelap masih tersisa. "Eh, Nona. Jangan menjauh seperti itu, aku tidak akan melakukan apa pun padamu," ucapnya. "Tidak, aku memang kurang nyaman duduk tanpa jarak dengan orang asing," ujar Airina. Matanya menelisik ke atas sampai bawah, melihat wanita itu hanya tersenyum tipis. "Dih!" pekik Airina. "Ada urusan apa?" tanya Airina. "Tidak ada, aku hanya ingin tahu siapa sebenarnya yang mengambil Arsen dari Gemma," jelas wanita itu. "Ternyata Gemma memang kalah cantik, kamu juga terlihat lebih pandai. Apa tebakanku benar?" tanya wanita itu menebak. "Siapa kau?!" teriak Arsen. Lelaki itu berjalan dengan cepat, dua tangannya membawa cone ice cream. Tatapannya tajam menatap wanita yang kini berbicara dengan Airina. "Ada urusan apa, Anda?" tanya Arsen dengan mengangkat dagunya. "Saya hanya mengajaknya m
"Ini?" tanya Airina. Arsen menunjuk tepat pada jantungnya. Dengan ibu jari dan jari telunjuk seperti sarangheo versi korea, Arsen mengulas senyum tipis di wajahnya. Airina hanya diam dan terpaku, salah tingkah! Matanya membelalak lebar, dengan senyum yang sempat ia tahan. "Kenapa? kok diam," tanya Arsen. "Memangnya kamu tidak bisa membuat jantungku berdebar?" Lelaki itu tidak segan melempar pertanyaan yang membuat Airina semakin salah tingkah. "Diam, Arsen! Aku tidak suka kamu bertingkah seperti ini," gerutu Airina. Wanita itu hanya menarik selimutnya sampai batas kepala, menelangkup ke dalam selimut dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya. 'Aku bisa gila!' batinnya. "Arsen, apa kamu tidak ingin keluar dari kamarku?" tanya Airina. Ditariknya selimut yang kini membungkus istrinya dengan satu tangan. Menampakkan wajah Airina yang memerah layaknya kepiting rebus. "Lihatlah, apa kamu sadar kalau ini kamarku?" todong Arsen. "Loh, baiklah aku akan pergi ke kamarku!" Tanpa r
"Sejak kamu memelukku semalam," jawab Arsen bohong. "Hah?" beo Airina. Saat ini Airina hanya bisa diam menahan malu, memeluk Arsen lebih dulu saat tertidur. "Tidak perlu kaget, aku bisa memaklumi itu dan aku senang," jelas Arsen. "Iya, maaf. Sepertinya aku saat tidur suka melakukan hal-hal di luar nalar," jelas Airina. "Hahaha, tidak apa-apa, Airina. Apa agendamu hari ini?" tanya Arsen. Airina hanya diam, seperti sedang berpikir dengan jadwal pekerjaannya. "Aku ada pekerjaan, jadi aku harus ke butik hari ini," jawab Airina. Ia beranjak dari ranjang Arsen, melangkah ke luar kamar tanpa pamit. Arsen hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Dasar wanita!" gumamnya. **** "Arsen," panggil Airina."Ada apa?" tanya Arsen. Airina hanya menggeleng, kini keduanya berjalan beriringan menuju mobil. "Pagi ini kamu sangat cantik," bisik Arsen. "Hahaha, biasa aja," elak Airina. Arsen menarik beberapa helai rambut Airina ke belakang telinga, "Sempurna!" ucapnya. Deg! Jantungnya berdetak
"Tuan Muda, mengapa Anda begitu emosi? Saya minta maaf, mari kita mulai meeting kali ini," ucap Gilbert. Arsen hanya menolehkan kepalanya sejenak, menatap wajah polos Airina. "Maaf, sepertinya kerjasama kali ini dibatalkan, silakan Anda pergi!" tegas Arsen. "Tu-tuan muda, mengapa Anda membatalkan kerjasama secara sepihak?" tanya Gilbert tergagap. "Bekerjasama dengan orang yang suka merendahkan orang lain tidak akan menguntungkan bagiku. Jadi pergilah!" tegas Arsen. Raut wajah Gilbert terlihat emosi, matanya menatap nyalang ke Airina. "Tuan Arsen, jangan sesekali membatalkan kerjasama seperti ini. Tuan Pinault saja tidak pernah melakukan seperti ini, apalagi hanya karena seorang wanita," ujarnya dengan meledek. "Maksud Anda apa? wanita yang Anda hina adalah istriku. Sekarang begini, jika istrimu dihina oleh kolegamu, apa kau akan diam saja, Tuan Gilbert?" Dengan urat wajah yang sudah menonjol ke permukaan, Arsen menatap nyalang ke arah lelaki paruh baya itu. "Saya pamit, Tuan
"Ibu, tidak perlu bahas itu ya, aku tidak mungkin melakukan apa pun yang merugikan. Jadi, berita itu jelas bohong, aku baik-baik saja ibu. Jangan khawatir," pinta Airina. Amelia tersenyum, kalimat yang menenangkan batinnya yang sempat shock. "Terima kasih, Nak. Hati-hati ya," ucap Amelia. Wanita paruh baya itu mengantar anak sulungnya sampai ke gerbang. Di sambut dua laki-laki bertubuh kekar dengan jas hitamnya. "Kami pamit, Ibu. Terima kasih," pamit Airina. Airina memasuki mobil Bentley, matanya masih menggulir ke arah Amelia yang belum beranjak dari tempat berdirinya. "Aku sangat menyayangimu, Ibu. Huh, ternyata seberat ini setelah menikah," gumam Airina. "Nona, Tuan muda sempat meminta untuk membawa nona muda ke Jozy resto," ucap Aron. "Ya, ikuti apa kata Arsen saja, Aron." Airina merebahkan tubuhnya pada sandaran kursi, matanya menatap kosong ke jalanan kota Macherie. "Nona, nona!" panggil Aron berulang. "Ada apa?" tanya Airina. "Kita sudah tiba, silakan turun, Nona,"
"Maksud Anda apa?" pekik Arsen. Airina yang menjadi korban memegang pipi kanannya, satu tamparan dari seorang pengunjung itu membuat merah pipinya. "Maaf, saya tidak mengganggu, Anda. Atas dasar apa Anda melakukan ini?" tanya Airina. "Kamu itu sombong, suamimu juga!" hardiknya."Sudah, kita pergi saja, Arsen. Waktu kita terlalu berharga untuk ada di sini sia-sia," Ucap Airina dengan menantang. Dua pengunjung itu semakin naik pitam, kesabarannya yang sangat tipis. "Apa nona baik-baik saja?" tanya Aiden dan Aron kompak. "Iya, ini dikompres akan reda. Ayo pulang," ajaknya. "Arsen, apa kamu masih ada pekerjaan?" tanya Airina. Arsen sedikit diam dengan berpikir panjang. Semenit berikutnya dia menoleh. "Tidak ada, apa kamu mau kita langsung pulang ke apartemen?" Arsen berbalik bertanya pada wanita di sampingnya. "Iya, aku ingin istirahat di rumah saja. Tetapi kalau kamu masih ada pekerjaan, biar Aron yang mengantarku pulang," tuturnya."Aron, langsung pulang saja!" titah Arsen.