"Ezekiel? Ezekiel, di mana kamu?"Elena memanggil Ezekiel beberapa kali sambil memasuki sebuah ruangan. Dia tadi tengah bermain petak umpet dengan anak itu, tapi ini sudah hampir setengah jam dia tidak berhasil menemukannya, meski sudah mencari hampir ke seluruh rumah. Elena benar-benar lelah, tapi dia tidak membiarkan Ezekiel begitu saja. Jika Darryl pulang dan melihat anaknya tidak ada, dia yang pasti akan langsung dimarahi. "Ezekiel!"Pada akhirnya, dengan penuh semangat Elena kembali memanggil Ezekiel tepat saat dia masuk. Sampai dia terkejut ketika menyadari jika ruangan itu ternyata adalah ruang perpustakaan dan Ezekiel tampak tengah duduk di sofa dengan mata tertutup. Ada sebuah buku di tangannya. Elena yang melihatnya pun sontak menghembuskan napas lega dan tersenyum. Dia berjalan mendekati Ezekiel dan duduk di sebelahnya. Membiarkan anak itu bersandar padanya, sembari mengambil buku di tangannya. "Aku mencarimu dari tadi, bagaimana bisa kau tidur di sini? Dasar kau, Ezekiel
Dua hari berlalu .... Elena merasa lebih damai di rumah itu sekarang. Tidak ada gangguan dari Darryl lagi setelah pria itu meminta maaf dengan tidak tulus sebelumnya. Darryl juga tidak makan satu meja dengannya lagi. Dua hari ini, di meja makan hanya ada dirinya dan Ezekiel saja. Bocah itu bahkan tak bertanya apa pun tentang ayahnya. Tentu saja Elena merasa nyaman, tapi dia juga penasaran karena tidak melihat batang hidung pria itu dari kemarin. Dia hanya mendengar Darryl kemarin pergi pagi-pagi sekali sebelum mereka sarapan. Apa yang sebenarnya terjadi? Elena merasa, hanya dirinya yang tidak tahu apa-apa. Dia juga tidak bisa keluar untuk melihat. Namun Emma bilang, jika gerbang keluar dijaga beberapa orang atas perintah Darryl. Apa maksudnya tindakan Darryl ini? "Tante? Tante kenapa diam saja? Kita lagi piknik 'kan? Ayo makan!"Elena tersadar dan refleks menoleh ke arah Ezekiel yang menarik-narik dressnya. Anak itu menatapnya dengan wajah yang penuh selai strawberry di bibir serta
Esok harinya. Elena berjalan-jalan menuju pintu keluar saat semua sedang sibuk dan Ezekiel sedang tidur siang. Dia ingin tahu, di mana sebenarnya lokasi rumah ini. Namun sebelum keluar, dia berjalan mendekati jendela untuk melihat apakah ada banyak orang yang berjaga atau tidak. Walau pun dia tidak mungkin bisa melihat seluruhnya. Perlahan, Elena mulai membuka tirai dan mengintip. Dia melihat ada beberapa orang pria di pelataran. Sepertinya perkataan Emma benar. Ada sekitar lima orang asing di depan rumah milik Darryl, belum termasuk dua security. Ini sungguh keterlaluan. Begitu takutkah Darryl jika dia melarikan diri sampai meminta banyak orang untuk berjaga? "Sial, aku tidak bisa melihat di mana ini dari sini, tapi aku tidak bisa keluar. Apa yang harus kulakukan?" Elena bergumam sendiri sambil terus mengamati situasi di luar. Dia begitu fokus sambil tiba-tiba, sebuah tepukan di pundaknya membuat dia terkejut bukan main. "Aakhh!""Nona pengasuh? Apa yang Anda lakukan?""Emma!" jer
"Akhirnya selesai juga ...."Elena menatap bathtub yang kini sudah dipenuhi air hangat untuk Darryl berendam. Dia juga sudah melarutkan sabun ke dalamnya. Tugasnya telah selesai dan Elena pun keluar dari sana untuk pergi. Dia berjalan menuju ke arah ranjang di mana ternyata Darryl berbaring. Mata pria itu terpejam. "Tuan? Air hangatnya sudah siap." Elena mencoba memberitahunya, tapi justru Darryl tetap menutup matanya. Tidak mungkin pria ini tertidur setelah memintanya menyiapkan air hangat? "Tuan!"Tetap tidak ada reaksi, Darryl tetap terlelap dengan tubuh terlentang. Pria itu tampak begitu damai, membuat Elena secara tak sadar mengamatinya. Menatap bagaimana Darryl tidur. Pria itu lebih tampan dan lembut saat ini. Rasanya tidak ada kesan menakutkan sama sekali sekarang. Darryl layaknya seperti seorang ayah. Elena berkedip dan menelusuri tubuh pria itu tanpa sadar. Dia sedikit tersentak dan malu saat melihat tubuh besar di hadapannya. Darryl setengah telanjang dan keringat tampak t
Tok-tok-tok. "Ayah, ini Iel."Suara ketukan pintu disertai suara Ezekiel terdengar di baliknya. Mengalihkan perhatian Darryl untuk sejenak dari kesibukannya. Dia meletakkan kertas yang tengah diperiksanya ke meja dan menyingkirkan kacamatanya, sebelum kemudian menyahut, "Masuklah."Pintu berderit pelan dan terbuka. Ezekiel muncul dengan wajah tenangnya dan melangkah masuk, dia berjalan mendekati Darryl yang tengah duduk di sofa. Lalu dengan tenangnya, duduk berhadapan dengan sang ayah. "Kamu sedikit terlambat, Ayah kira kamu tidak akan ke sini." Darryl berdiri dan berjalan mendekati meja kerjanya untuk mengambil sesuatu yang akan diberikan pada anaknya. "Iel tadi tenangin Tante dulu. Kasihan, Tante malu gara-gara Iel."Darryl mendengkus dan menyunggingkan senyum tipis. "Kamu menikmatinya. Bermain-main dengannya sepertinya menyenangkan."Ezekiel tampak sangat tenang dengan ucapan ayahnya. Pun saat sang ayah itu memberikannya sebuah paper bag. Dia hanya mengintip barang di dalamnya t
"Jadi pria yang membuat kekacauan itu adalah sepupunya?"Darryl terdiam dan mendengarkan dengan saksama laporan dari orangnya melalui telepon. Ini benar-benar hal yang tak terduga dan juga menarik. Pria itu memiliki nyali yang besar untuk bertemu dengannya. "Baiklah, untuk sekarang abaikan saja dia, tapi jika datang kembali ke tempatku, pastikan untuk tidak mengalihkan pandanganmu."Panggilan berakhir. Darryl mematikan panggilan tersebut dan menyimpan ponselnya kembali di meja yang tak jauh dari sana. Sementara dirinya yang baru saja selesai melakukan gym dan melatih ototnya, langsung mengambil air minumnya. Darryl duduk di kursi sambil mengusap keringatnya di wajahnya. Dia menatap alat-alat berat miliknya yang selalu digunakan untuk latihan setiap akhir pekan. Di sana Darryl berniat istirahat sebentar, tapi sayangnya suara tawa cukup keras mengganggunya. Membuat Darryl refleks mengalihkan pandangannya ke arah jendela yang menghadap langsung ke taman. Hingga terlihatlah, suara itu te
Tiga hari berlalu, Elena mulai sedikit senang setelah mendengar kabar Darryl tentang sepupunya. Bagaimana pun, sekeras apa pun dia memikirkan cara untuk melarikan diri, dia masih belum mendapatkannya. Kemarin saja, dirinya hampir ketahuan saat hendak mengintip ke luar tembok dengan menggunakan tangga darurat. Hanya Marcell harapannya, walau dia juga tidak boleh menyerah di sini. "Elena, sepertinya kamu terlihat senang hari ini. Berbeda dari yang terakhir kali." Sebuah suara menegurnya. Elena yang sedang tersenyum sendiri memikirkan Marcell, seketika menoleh dan menatap Siena. Guru Ezekiel. Dua kali pertemuan mereka sebelumnya, telah membuat mereka menjadi sedikit lebih dekat. "Benarkah?""Iya, apa Tuan Darryl melakukan sesuatu?""Tidak, bukan itu." Elena menatap ragu wanita itu. Dia tidak tahu sejauh mana Siena tahu soal dirinya di sini, tapi dia perlu hati-hati. "Aku hanya sedang senang saja.""Kupikir Tuan Darryl melakukan sesuatu. Sebenarnya aku sangat terkejut saat melihatmu di
"Apa Anda kalah lagi?"Seorang pria mendekat dan tersenyum ke arahnya, tepat saat Marcell kalah berjudi. Layar permainan di depan Marcell menunjukkan kekalahannya. Namun yang jelas, kekalahan itu disengaja olehnya. Marcell telah menghabiskan sekitar dua juta uangnya untuk ini. Dia juga tentu tidak akan menyia-nyiakan uangnya yang lenyap begitu saja. Bibirnya tersenyum lembut membalas pertanyaan tersebut. "Ya, seperti yang kau lihat. Aku tidak beruntung hari ini. Uangku habis.""Malam masih panjang, apakah Anda akan menyerah secepat ini?"Marcell tersenyum dan mengedikkan kedua bahunya. "Sayang sekali, aku juga ingin memainkan permainan lain, tapi tidak ada lagi yang bisa dipertaruhkan.""Anda ingin mencoba permainan lain? Mungkin saya bisa membantu."Tertangkap. Marcell berusaha menyembunyikan senyum puasnya mendengar ucapan pria yang berada dekat dengannya. Dia tidak tahu apakah pria itu tahu dia pernah datang dan membuat kekacauan atau tidak. Namun yang jelas, ini adalah kesempata