"Apa ini? Kita makan apa hari ini?" tanya Kathleen yang baru melangkah masuk ke ruang makan. Dia datang terlambat dan melihat Ezekiel serta Elena tengah menata meja. Makanan pun telah siap. "Telur dan ayam bakar, apa kau menyukainya?"Elena berusaha menjawab dengan santai saat ditanya. Dia melupakan perdebatannya terakhir kali dengan Kathleen, karena di meja makan itu sudah ada Ezekiel. Bagaimana pun, dia harus menghargai Kathleen sebagai tante Ezekiel. "Sepertinya tidak ada pilihan lain. Aku terpaksa akan memakannya," jawab Kathleen sambil mendekat dan duduk di kursi biasanya. Dia berhadapan dengan Ezekiel. "Kenapa terpaksa, Tante? Makanannya enak. Apalagi Tante Elena yang buat.""Tante Elena yang buat?"Ezekiel mengangguk. "Ya, Tante yang buat. Masakan Tante Elena enak lho, Tante."Kathleen mengernyit mendengar ucapan Ezekiel. Dia melirik tajam ke arah Elena. Wanita itu rupanya telah berhasil menarik perhatian keponakannya dari makanan. "Menyiapkan makanan, seperti pelayan saja."
"Emma, apa kamu melihat Ezekiel dan Kathleen? Kenapa mereka tidak ada di mana pun?"Elena berjalan mendekat ke arah Emma yang saat ini tengah menyapu di ruang tengah. Dia baru saja keluar dari kamar setelah mengobati lukanya dan memikirkan semua perkataan Kathleen sebelumnya. "Nona! Oh, tadi Tuan Muda sama Nona Kathleen pergi keluar. Katanya mau jalan-jalan.""Apa? Jalan-jalan?""Iya, mereka pergi ke pusat kota."Elena terkejut mendengarnya. Dia tidak tahu itu dan entah mengapa dia merasa sedikit kecewa. Memikirkan Ezekiel dekat dengan Kathleen, dia merasa gelisah. Meski dia juga tidak memiliki hak untuk marah. Bagaimana pun, Kathleen tetaplah tante dari Ezekiel. "Begitu, ya, lalu kapan mereka akan kembali? Apa mereka mengatakannya?""Kalau itu, maaf, saya kurang tahu, Non.""Baiklah, terima kasih, Bi."Elena tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Namun yang pasti, dia melangkah pergi dari ruang tengah menuju ke arah perpustakaan. Tempat yang biasa dia jadikan tempatnya unt
Tiga hari kemudian. Elena menatap serius Ezekiel dan Kathleen yang saat ini sedang bersenda gurau di taman dari kejauhan. Entah bagaimana bisa, keduanya menjadi sangat dekat. Ezekiel pun terlihat nyaman dengan Kathleen, tidak seperti biasanya. Sedangkan waktunya dengan Ezekiel menjadi sedikit. Elena juga mendapat beberapa kali perlakuan kasar dari Kathleen, yang sayangnya tidak bisa dia ceritakan pada siapa pun, karena wanita itu selalu bertindak seolah-olah tidak tahu apa-apa. Dia juga tidak pernah punya bukti. Elena merasa lelah secara batin. Dia masih ingin hidup, tapi hidupnya seolah terkekang oleh sesuatu yang tak terlihat. Dia terikat. Sepertinya, dia juga mulai terikat dengan Ezekiel. Elena merasakan rasa sayang dan iri yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Dia iri melihat kedekatan Ezekiel bersama Kathleen saat biasanya anak itu hanya dekat dengannya."Tidak, aku tidak boleh merasa seperti ini." Elena meyakinkan dirinya dan menggeleng keras. Dia berusaha mengalihkan perhatia
"Kak, bagaimana dengan pekerjaanmu? Apa semuanya berjalan lancar?"Kathleen melangkah masuk ke ruang kerja Darryl setelah mengetuk pintu sebelumnya. Dia menghampiri kakak iparnya sambil tersenyum ramah. Namun sialnya, di ruangan itu tidak hanya ada Darryl saja, ada Elena yang juga duduk di sebelahnya. Kathleen refleks mengamati penampilan wanita itu dan menyadari penampilan Elena sedikit berantakan. Raut wajahnya berubah kesal saat dirinya menebak apa yang dilakukan keduanya sebelum dia datang. "Semuanya baik-baik saja, Kathleen. Tidak ada yang tidak bisa kuatasi. Ada apa?"Kathleen tersenyum dan duduk di hadapan Darryl serta Elena. Dia menyilangkan kedua kakinya sambil berpangku tangan. "Aku ingin bicara soal kehadiranku di sini. Kak, sepertinya aku lebih nyaman di sini, Kakak tidak masalah 'kan aku tinggal lebih lama?""Kau ingin tinggal lebih lama? Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu?" Darryl mengernyit bingung, tapi wajahnya tetap santai seperti biasa. Dia hanya agak terkejut deng
"Apa? Marcell berulah lagi? Usir dia, jangan biarkan dia mendekati tempat itu."Suara tegas Darryl terdengar dan mengganggu Elena yang sedang tertidur lelap awalnya. Hingga akhirnya, dia harus bangun saat mendengar nama kakak sepupunya disebut. Elena menoleh dan menyesuaikan pandangannya sambil melirik Darryl yang tengah berdiri di dekat jendela dalam posisi memunggunginya."Jangan. Cukup patahkan kakinya dan buat dia tidak bisa berjalan. Belum waktunya membunuhnya. Biarkan dia tetap hidup."Deg. "A-apa? Darryl, apa yang kau katakan?" Elena yang tengah berbaring, sontak terduduk dengan cepat. Dia melotot dan menatap Darryl yang masih dalam posisi memunggunginya. Dia sudah benar-benar tidak mengantuk lagi setelah mendengar percakapan telepon Darryl. Hingga karena suaranya, pria itu pun mematikan panggilannya dan menoleh. Raut wajahnya tampak tenang. Tak ada sama sekali ekspresi terkejut."Kenapa kau bangun lebih cepat? Kau lapar? Ini masih belum terlambat untuk makan siang—""Siapa ya
"Ezekiel, sudah waktunya berhenti berenang, ayo mandi sekarang!"Elena menegur Ezekiel yang kini sedang berenang bersama dengan Darryl di halaman belakang. Entah bagaimana ini terjadi, tapi Elena tidak bisa tidak menatap ayah dan anak yang sedang sibuk bermain air. Padahal dia sedang kesal dengan Darryl, tapi pria itu malah bermain dengan anaknya, di mana dia juga ada di sana. Tentu saja, Kathleen juga ada di sisi lainnya dan tengah memandangi Darryl. "Nanti, Tante, Iel masih mau berenang sama Ayah.""Tapi ini sudah sore, Ezekiel. Nanti kamu bisa sakit.""Jangan khawatir, aku akan menjaganya," ucap Darryl yang tahu kekhawatiran Elena. Dia sedang sibuk pamer tubuhnya pada wanita itu sembari mengajari Ezekiel berenang. "Iya, Elena, Kak Darryl akan menjaganya. Dia bukan Ayah yang buruk yang akan menyakiti anaknya sendiri. Dia tahu apa yang dia lakukan."Elena menatap tajam Kathleen yang menimpali perkataan Darryl, tapi terkesan seperti dia meragukan Darryl dalam mengurus anak. Wajah dan
Hari ini Elena bangun paling terlambat. Dia puas menangis hingga tertidur di pelukan Darryl kemarin sore. Elena bahkan tidak ingat soal Ezekiel atau pun Kathleen. Perasaannya kacau kemarin dan sekarang, matanya tampak sembab. Saat Elena menatap cermin, dia menatap penampilannya kacau. Dia sepertinya benar-benar menangis dalam pelukan Darryl. Sangat memalukan. "Sial, dia pasti puas melihat kelemahanku," gumamnya sambil mendesah. Elena menepuk kepalanya dan mencoba menarik napas kasar. Jika mengingat yang semalam, dia merasa sangat malu. Walau Darryl memang tidak menghakiminya. Elena juga sekarang begitu bingung dan tak berani menunjukkan batang hidungnya. Dia malu jika harus berhadapan dengan Darryl atau pun Ezekiel. Kejadian kemarin saja sudah cukup membuat kehebohan. Elena hanya bisa tertunduk pasrah di depan cermin sampai suara ketukan pintu menyadarkannya. Tok-tok-tok."Tante? Tante, Iel boleh masuk?""Ezekiel?" Mata Elena membulat saat mendengar suara khas anak kecil yang dia a
Satu minggu kemudian. Janji Darryl benar-benar telah ditepati, mereka keluar dari rumah itu, tapi apa yang dilihatnya sekarang? Elena dibuat tercengang ketika penutup mata yang dipasang Darryl sepanjang perjalanan dilepas, dan dirinya diperlihatkan tempat yang mereka kunjungi. Namun sayangnya, dia tidak bisa mempercayai apa yang ada di hadapannya sekarang. "Kau serius, kita ke sini?""Kenapa? Kau suka 'kan?"Elena menatap Darryl tak percaya. Suka? Villa besar yang tampak berada di tengah hutan. Darryl bertanya apa dia suka? Tempat ini jelas tidak beda jauh dari rumah pria itu. Apanya yang liburan sebelum menikah? Ini hanya sangkar baru untuknya. Tempat dengan nuansa yang sama dan mereka akan menginap beberapa hari di sini. Bahkan tembok yang mengelilingi villa ini sangat tinggi. Seolah mencegah perampok atau pun orang yang berniat kabur. "Darryl, kau pasti bercanda! Ini tidak ada bedanya dengan di rumah. Tembok tinggi dan gerbang. Villa besar, lalu hutan. Kenapa kau tidak membawaku