'Kayleen.'Darryl menatap kuburan istrinya dan meletakkan buket bunga kesukaan istrinya di atasnya. Dia menatap sedih kuburan tersebut. Rasa rindu dirasakannya. Sudah lama dia tidak ke sana dan baru bisa menemuinya sekarang, bersama Kathleen dan sang anak tentunya. Darryl melirik Ezekiel dan meminta anaknya itu mendekat melalui gerakan tangan. "Ezekiel, ini tempat Bundamu istirahat.""Bunda di sini?" tanya Ezekiel dengan polos pada kurang di depannya. "Iya. Kamu bisa menyampaikan apa yang ingin kamu sampaikan."Ezekiel menatap lekat Darryl dan tampak berbinar senang. Hingga dia mendekat dan mulai berceloteh. "Bunda, Bunda apa kabar? Iel kangen banget sama Bunda. Sekarang Ayah ajak Iel ke sini. Iel seneng banget, Bun, akhirnya Iel bisa ketemu Bunda lagi."Darryl tersenyum diam-diam dan mendengarkan anaknya curhat. Dia senang karena Ezekiel bukan anak cengeng yang tidak menerima kematian orang tuanya. Anaknya cukup dewasa untuk tahu kalau ibunya sudah tidak bisa bersama mereka lagi.
"Apa?""Aku tidak mau menikah denganmu!" tegas Elena saat melihat Darryl terkejut oleh kata-katanya. Pria itu sepertinya tidak menyangka jika dia akan menolak. Namun jelas tidak ada alasan bagi Elena menerimanya begitu saja. Apalagi Darryl yang seenaknya berkata mereka akan menikah, tanpa meminta persetujuannya sama sekali. "Huh, kau serius? Atau ini hanya trikmu saja?" Darryl yang sudah sadar dari keterkejutannya, kini menatap penuh minat pada Elena. Dia merasa Elena sengaja menolaknya karena wanita itu hanya ingin dia memohon. Sudah pasti, Elena sedang bermain trik padanya. "Apa? Trik apa maksudmu?" Elena seketika kebingungan. Dia tidak mengerti apa maksud Darryl. "Trik untuk menarik perhatianku. Kau ingin aku memohon?""Kau gila! Aku bahkan tidak tertarik padamu!"Elena refleks menarik tangannya yang tadi digenggam Darryl. Dia menjauh dari pria itu sembari memandang aneh. Dari mana datangnya kepercayaan diri pria itu? Bagaimana bisa pria tua itu tidak sadar diri? "Jangan bermai
"Jaga dirimu dan kuharap, saat aku kembali, kau sudah menyiapkan jawabannya."Elena terdiam dan menatap gugup Darryl yang menyentuh pipinya. Dia sampai menahan napas karena ucapan pria itu yang terdengar seperti sebuah ancaman. Meski Darryl berkata begitu lembut dan tersenyum kecil. Apa pria itu berpikir bisa menekannya dengan cara seperti ini? Jika iya, maka itu adalah benar. Elena sangat tertekan sekarang, tapi bukan oleh Darryl, melainkan oleh wanita yang berdiri di sebelahnya. Kathleen. Elena bisa merasakan tubuh bagian kanannya panas. Melalui sudut mata, dia bisa melihat Kathleen tak senang dengan apa yang dilakukan Darryl padanya. Namun dia bisa apa? Elena tidak bisa menolak Darryl yang bersikap terang-terangan seperti ini. Berpamitan saat hendak melakukan perjalanan bisnis. "Elena, apa kau mendengarku?" Darryl mencoba menarik perhatian wanita itu kembali ketika melihat Elena tidak fokus. "Iya, aku dengar.""Baguslah. Jangan membuat ulah."Darryl tersenyum dan mendekatkan waj
"Ezekiel, sekarang waktunya kamu tidur."Elena menutup buku dongeng yang tadi dibacanya dan langsung menatap Ezekiel yang kini belum kunjung menutup mata. Anak itu masih menatapnya dengan wajah serius. Seolah ada sesuatu yang ingin dibicarakan. "Ezekiel?""Bentar, Tante. Boleh tidak, malam ini Tante tidur di sini? Iel tidak mau sendiri.""Apa?""Ayah 'kan tidak ada, Tante di sini saja ya? Tidur sama Iel."Wajah Ezekiel terlihat memelas. Hingga Elena yang melihatnya, tidak dapat menolak. Dia juga tidak nyaman tidur di kamar Darryl. "Baiklah, Tante tidur di sini. Kalau begitu, sekarang pejamkan matamu.""Iel belum bisa tidur, Tante." Ezekiel mengusap matanya sambil sedikit merengek. Dia menampilkan wajah memelas dan membuat Elena terkejut. "Apa? Kenapa? Kamu memikirkan apa, Ezekiel? Apa ada sesuatu yang membuatmu khawatir?" Elena mencondongkan tubuhnya dengan khawatir. "Hmm, Iel penasaran, Tante. Beneran, ya, Tante mau nikah sama Ayah?""Apa?"Elena terkejut. Dia melotot saat mendenga
"Apa ini? Kita makan apa hari ini?" tanya Kathleen yang baru melangkah masuk ke ruang makan. Dia datang terlambat dan melihat Ezekiel serta Elena tengah menata meja. Makanan pun telah siap. "Telur dan ayam bakar, apa kau menyukainya?"Elena berusaha menjawab dengan santai saat ditanya. Dia melupakan perdebatannya terakhir kali dengan Kathleen, karena di meja makan itu sudah ada Ezekiel. Bagaimana pun, dia harus menghargai Kathleen sebagai tante Ezekiel. "Sepertinya tidak ada pilihan lain. Aku terpaksa akan memakannya," jawab Kathleen sambil mendekat dan duduk di kursi biasanya. Dia berhadapan dengan Ezekiel. "Kenapa terpaksa, Tante? Makanannya enak. Apalagi Tante Elena yang buat.""Tante Elena yang buat?"Ezekiel mengangguk. "Ya, Tante yang buat. Masakan Tante Elena enak lho, Tante."Kathleen mengernyit mendengar ucapan Ezekiel. Dia melirik tajam ke arah Elena. Wanita itu rupanya telah berhasil menarik perhatian keponakannya dari makanan. "Menyiapkan makanan, seperti pelayan saja."
"Emma, apa kamu melihat Ezekiel dan Kathleen? Kenapa mereka tidak ada di mana pun?"Elena berjalan mendekat ke arah Emma yang saat ini tengah menyapu di ruang tengah. Dia baru saja keluar dari kamar setelah mengobati lukanya dan memikirkan semua perkataan Kathleen sebelumnya. "Nona! Oh, tadi Tuan Muda sama Nona Kathleen pergi keluar. Katanya mau jalan-jalan.""Apa? Jalan-jalan?""Iya, mereka pergi ke pusat kota."Elena terkejut mendengarnya. Dia tidak tahu itu dan entah mengapa dia merasa sedikit kecewa. Memikirkan Ezekiel dekat dengan Kathleen, dia merasa gelisah. Meski dia juga tidak memiliki hak untuk marah. Bagaimana pun, Kathleen tetaplah tante dari Ezekiel. "Begitu, ya, lalu kapan mereka akan kembali? Apa mereka mengatakannya?""Kalau itu, maaf, saya kurang tahu, Non.""Baiklah, terima kasih, Bi."Elena tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Namun yang pasti, dia melangkah pergi dari ruang tengah menuju ke arah perpustakaan. Tempat yang biasa dia jadikan tempatnya unt
Tiga hari kemudian. Elena menatap serius Ezekiel dan Kathleen yang saat ini sedang bersenda gurau di taman dari kejauhan. Entah bagaimana bisa, keduanya menjadi sangat dekat. Ezekiel pun terlihat nyaman dengan Kathleen, tidak seperti biasanya. Sedangkan waktunya dengan Ezekiel menjadi sedikit. Elena juga mendapat beberapa kali perlakuan kasar dari Kathleen, yang sayangnya tidak bisa dia ceritakan pada siapa pun, karena wanita itu selalu bertindak seolah-olah tidak tahu apa-apa. Dia juga tidak pernah punya bukti. Elena merasa lelah secara batin. Dia masih ingin hidup, tapi hidupnya seolah terkekang oleh sesuatu yang tak terlihat. Dia terikat. Sepertinya, dia juga mulai terikat dengan Ezekiel. Elena merasakan rasa sayang dan iri yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Dia iri melihat kedekatan Ezekiel bersama Kathleen saat biasanya anak itu hanya dekat dengannya."Tidak, aku tidak boleh merasa seperti ini." Elena meyakinkan dirinya dan menggeleng keras. Dia berusaha mengalihkan perhatia
"Kak, bagaimana dengan pekerjaanmu? Apa semuanya berjalan lancar?"Kathleen melangkah masuk ke ruang kerja Darryl setelah mengetuk pintu sebelumnya. Dia menghampiri kakak iparnya sambil tersenyum ramah. Namun sialnya, di ruangan itu tidak hanya ada Darryl saja, ada Elena yang juga duduk di sebelahnya. Kathleen refleks mengamati penampilan wanita itu dan menyadari penampilan Elena sedikit berantakan. Raut wajahnya berubah kesal saat dirinya menebak apa yang dilakukan keduanya sebelum dia datang. "Semuanya baik-baik saja, Kathleen. Tidak ada yang tidak bisa kuatasi. Ada apa?"Kathleen tersenyum dan duduk di hadapan Darryl serta Elena. Dia menyilangkan kedua kakinya sambil berpangku tangan. "Aku ingin bicara soal kehadiranku di sini. Kak, sepertinya aku lebih nyaman di sini, Kakak tidak masalah 'kan aku tinggal lebih lama?""Kau ingin tinggal lebih lama? Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu?" Darryl mengernyit bingung, tapi wajahnya tetap santai seperti biasa. Dia hanya agak terkejut deng