"Aku tidak percaya ini. Apa aku bisa mempercayainya?"Marcell menatap alamat yang diterimanya dan gedung di depan matanya. Dia tidak langsung masuk dan memilih untuk menghubungi nomor yang tertera di kartu nama di tangannya. Butuh beberapa waktu sampai akhirnya panggilannya diangkat. "Kathleen, aku sampai. Di mana kau sekarang? Turunlah.""Ah, kau Marcell? Cepat sekali. Sebentar lagi, tunggu saja.""Lima menit, jika tidak, aku akan pulang.""Tidak sabaran."Panggilan diakhiri oleh Kathleen dengan cepat saat Marcell bahkan belum sempat membalasnya. Dia berdecak kesal dan mengumpat. Marcell tidak senang dengan sikap arogan wanita itu, tapi dia butuh informasi penting tentang Elena. Setelah pertemuannya kemarin malam dan fakta yang diungkap wanita itu, dia tidak bisa diam saja. Jika itu benar, dia harus membawa Elena segera. Marcell bertahan di luar gedung dan menunggu Kathleen, sampai setelah lima menit, wanita itu keluar. Matanya yang sedang memerhatikan pintu masuk, dapat dengan muda
Malam harinya. Hubungan Elena dan Darryl semakin lengket. Elena tidak bisa berhenti tersenyum di kamarnya. Dia masih mengingat pernyataan cinta pria itu. Elena tidak bisa mempercayainya, tapi dia juga tidak bisa tidak merasa senang. Apa yang diucapkan Darryl terus terngiang di kepalanya. "Tidak-tidak, ini bukan saatnya aku begini. Dia pasti tidak tahu apa yang diucapkannya." Elena bergumam sambil menampar wajahnya. Dia menggelengkan kepalanya berulang kali. Menyingkirkan semua apa yang dikatakannya. Sampai setelah tenang, Elena kini bangkit dari ranjang dan berjalan menuju keluar kamar. Dia hendak makan malam.Elena berjalan dengan tenang seperti biasa sembari melihat ke kamar Ezekiel. Dia memeriksanya, tapi kemudian menyadari kamar itu kosong. Sepertinya Ezekiel telah berada di lantai bawah. Elena yang semangat, langsung turun. Dia tentu saja senang karena berpikir, kali ini makan malamnya akan lebih menyenangkan tanpa Kathleen. Walau dia masih kesal karena wanita itu membuatnya ter
'Aku mencintaimu, Elena.'Elena diam. Dia duduk sambil menyantap makan malamnya tanpa bersuara sedikit pun. Tampak air matanya sudah dihapus. Tangannya sedikit gemetar saat dia menyuapkan makanan ke dalam mulutnya dan sialnya, itu menjadi perhatian bagi Ezekiel. Anak kecil itu menyadari sikap aneh Elena yang kembali setelah katanya mau menjemput sang ayah. "Tante, kok diam saja? Tante tidak kenapa-kenapa? Kenapa Ayah juga belum datang?"Elena menggeleng dan tersenyum lemah. Dia menahan air matanya agar tidak tumpah. "Tidak, makanlah, Sayang. Ayahmu akan segera datang, tunggu saja."Ezekiel mengangguk dan menyantap makan malamnya dengan tenang, tapi perhatiannya tidak luput dari perhatian Elena. Hingga tak lama mereka menikmati makan malam, pintu ruang makan terbuka dan menampilkan Darryl serta Kathleen yang berjalan santai bersama. Perhatian Elena dan Ezekiel seketika teralihkan. Ezekiel tampak biasa saja, berbeda dengan Elena yang tampak terkejut dan langsung memerhatikan penampila
Keesokan harinya. "Aku akan kembali dalam tiga hari. Diamlah di rumah seperti biasa."Cup. Elena diam ketika Darryl mengecup keningnya dan berpamitan untuk melakukan perjalanan bisnis. Ada masalah urgent yang begitu mendadak sampai hari ini, Darryl harus pergi ke luar kota. Elena tidak tahu apakah ini berhubungan dengan perusahaan milik Darryl atau hal lain. Dia tidak pernah tahu. Namun ini mungkin waktu yang pas untuk menenangkan hatinya yang kacau akibat kejadian semalam. "Ya, hati-hati.""Hmm." Darryl tersenyum, lalu perhatiannya tertuju pada Ezekiel. "Kamu jaga Tante. Jangan nakal.""Kapan Iel nakal? Iel selalu baik kok."Darryl menggeleng saat mendengar jawaban anaknya. Dia kemudian berbalik dan hendak melangkah masuk ke dalam mobilnya, tapi sebelum itu terjadi, suara teriakan terdengar. Seseorang dari dalam rumah muncul. "Kak Darryl, tunggu! Aku membawakan bekal untuk Kakak! Kakak harus makan, Kakak belum sempat sarapan." Kathleen berlari dari dalam rumah dan mendekati Darryl
"Jadi, apa kamu paham, Ezekiel?""Paham, Bu guru Siena." Ezekiel mengangguk antusias dan membaca tulisan di buku itu, saat Siena memintanya untuk membaca secara keseluruhan buku tersebut. Ezekiel melakukannya dengan agak terbata-bata dan sesekali dibantu Siena. Mereka berdua sibuk belajar. Lain halnya dengan satu orang lagi yang duduk tak jauh dari mereka. Elena. Kegiatan belajar mengajar Ezekiel dan Siena tidak mampu mengganggu Elena yang kini tampak melamun. Wajahnya murung dan terlihat seperti banyak pikiran. Elena terus merasa gelisah dan dadanya sesak sejak tadi pagi. Bukan karena penyakit, tapi karena Kathleen memberitahu sesuatu yang terus menghantuinya sepanjang hari ini. Ya, Elena melamun karena satu orang dan itu Kathleen. Wanita yang mengucapkan sesuatu yang mengganggunya sampai membuat dia kepikiran. Elena tidak bisa bertanya lebih jelas karena Kathleen sudah dengan cepat berangkat. Dia ingin tahu lebih lanjut dan bertanya apa maksud wanita itu sebenarnya. "Elena? Kamu
"Kesatria gagah itu akhirnya berhasil menyelamatkan tanah airnya dari para penjajah dan dinobatkan sebagai pahlawan. Selesai."Elena menutup buku dongeng yang dibacakan olehnya, yang isinya bercerita tentang kesatria sejati. Seri dongeng yang Ezekiel sukai, yaitu tentang kepahlawanan. "Ini sudah malam, sekarang saatnya kamu tidur, Ezekiel.""Hmm, Tante mau pergi sekarang?"Ezekiel yang merasakan sentuhan ringan tangan Elena di kepalanya, refleks menegang tangan itu dan menatapnya tidak rela. Dia tidak mau ditinggalkan. "Bisakah Tante tidur sama Iel? Ayah 'kan sedang tidak ada. Mau, ya? Iel mau tidur sama Tante.""Eh, tidur sama Tante?" Elena berkedip. Dia sedikit terkejut dengan permintaan dari Ezekiel. "Tapi, kamu sudah besar.""Tante, Iel mohon."Elena terdiam sesaat ketika melihat tatapan memelas dari Ezekiel. Dia tidak bisa menolaknya jika anak itu meminta. Namun, dia juga tidak bisa tidur malam ini. "Baiklah, Tante akan tidur di sini."Setelah pertimbangan singkat, Elena akhirnya
"Kejar wanita itu!"Suara teriakan menggelegar di antara banyaknya pepohonan terdengar. Dua pria dewasa mengejar seorang wanita yang berlari ketakutan di jalan setapak dengan wajah panik. Wanita yang dikejar itu adalah Elena. Dia terengah-engah kelelahan saat kakinya terus berlari tanpa arah. Bagaimana ini bisa terjadi? Elena sendiri tidak tahu. Dia hampir mencapai jalan raya ketika dua pria tiba-tiba mengejarnya. Membuatnya mau tak mau berlari ke arah lain, yang membuat Elena sendiri pusing ke mana dirinya. Gelapnya malam, menambah parah keadaan. Elena kesulitan mencari letak jalan utama. Beberapa kali dirinya bahkan harus merasakan sakit ketika kakinya tergores ranting kayu. Ketika dia menoleh, dia pun melihat jaraknya dengan dua pria itu semakin dekat. "TIDAK! TOLONG!" Elena berusaha berteriak keras, berharap ada seseorang yang mendengarnya, tapi dia tahu itu mustahil. Kawasan di sekitar rumah Darryl sangatlah sepi. Hanya ada pepohonan. Jauh dari pemukiman penduduk. Itu membuat E
Keesokan harinya. "Tante? Tante! Tante Elena!"Suara teriakan terdengar menggema di rumah besar bak istana itu, saat Ezekiel yang baru bangun tidur langsung turun dan mencari-cari Elena. Wajahnya tampak panik ketika dia tidak mendapati kehadiran Elena di sampingnya dan tidak ditemukannya di kamar sang ayah. Tentu saja, tujuan selanjutnya adalah ruang tengah di lantai bawah. Namun sekali lagi, Ezekiel tidak mendapati kehadiran Elena di sana. Dia berusaha tidak panik dan berjalan ke arah dapur, yang dipikirnya ada Elena di sana. Sayangnya, di sana hanya ada Emma. Tanpa basa-basi, Ezekiel langsung menarik rok Ema. "Bi, Bibi lihat Tante Elena tidak?""Eh, Tuan Muda." Emma menoleh dan refleks terkejut saat melihat Ezekiel memegangi roknya. Dia juga melihat wajah cemasnya. "Tante Elena? Tidak, sepertinya belum bangun. Dari tadi Bibi sendiri.""Belum bangun? Tidak mungkin, Bi. Tante tidak ada di kamar." Ezekiel melepaskan genggaman tangannya dan menatap Emma dengan wajah pucat. Matanya be