"Kesatria gagah itu akhirnya berhasil menyelamatkan tanah airnya dari para penjajah dan dinobatkan sebagai pahlawan. Selesai."Elena menutup buku dongeng yang dibacakan olehnya, yang isinya bercerita tentang kesatria sejati. Seri dongeng yang Ezekiel sukai, yaitu tentang kepahlawanan. "Ini sudah malam, sekarang saatnya kamu tidur, Ezekiel.""Hmm, Tante mau pergi sekarang?"Ezekiel yang merasakan sentuhan ringan tangan Elena di kepalanya, refleks menegang tangan itu dan menatapnya tidak rela. Dia tidak mau ditinggalkan. "Bisakah Tante tidur sama Iel? Ayah 'kan sedang tidak ada. Mau, ya? Iel mau tidur sama Tante.""Eh, tidur sama Tante?" Elena berkedip. Dia sedikit terkejut dengan permintaan dari Ezekiel. "Tapi, kamu sudah besar.""Tante, Iel mohon."Elena terdiam sesaat ketika melihat tatapan memelas dari Ezekiel. Dia tidak bisa menolaknya jika anak itu meminta. Namun, dia juga tidak bisa tidur malam ini. "Baiklah, Tante akan tidur di sini."Setelah pertimbangan singkat, Elena akhirnya
"Kejar wanita itu!"Suara teriakan menggelegar di antara banyaknya pepohonan terdengar. Dua pria dewasa mengejar seorang wanita yang berlari ketakutan di jalan setapak dengan wajah panik. Wanita yang dikejar itu adalah Elena. Dia terengah-engah kelelahan saat kakinya terus berlari tanpa arah. Bagaimana ini bisa terjadi? Elena sendiri tidak tahu. Dia hampir mencapai jalan raya ketika dua pria tiba-tiba mengejarnya. Membuatnya mau tak mau berlari ke arah lain, yang membuat Elena sendiri pusing ke mana dirinya. Gelapnya malam, menambah parah keadaan. Elena kesulitan mencari letak jalan utama. Beberapa kali dirinya bahkan harus merasakan sakit ketika kakinya tergores ranting kayu. Ketika dia menoleh, dia pun melihat jaraknya dengan dua pria itu semakin dekat. "TIDAK! TOLONG!" Elena berusaha berteriak keras, berharap ada seseorang yang mendengarnya, tapi dia tahu itu mustahil. Kawasan di sekitar rumah Darryl sangatlah sepi. Hanya ada pepohonan. Jauh dari pemukiman penduduk. Itu membuat E
Keesokan harinya. "Tante? Tante! Tante Elena!"Suara teriakan terdengar menggema di rumah besar bak istana itu, saat Ezekiel yang baru bangun tidur langsung turun dan mencari-cari Elena. Wajahnya tampak panik ketika dia tidak mendapati kehadiran Elena di sampingnya dan tidak ditemukannya di kamar sang ayah. Tentu saja, tujuan selanjutnya adalah ruang tengah di lantai bawah. Namun sekali lagi, Ezekiel tidak mendapati kehadiran Elena di sana. Dia berusaha tidak panik dan berjalan ke arah dapur, yang dipikirnya ada Elena di sana. Sayangnya, di sana hanya ada Emma. Tanpa basa-basi, Ezekiel langsung menarik rok Ema. "Bi, Bibi lihat Tante Elena tidak?""Eh, Tuan Muda." Emma menoleh dan refleks terkejut saat melihat Ezekiel memegangi roknya. Dia juga melihat wajah cemasnya. "Tante Elena? Tidak, sepertinya belum bangun. Dari tadi Bibi sendiri.""Belum bangun? Tidak mungkin, Bi. Tante tidak ada di kamar." Ezekiel melepaskan genggaman tangannya dan menatap Emma dengan wajah pucat. Matanya be
"Makan dan minumlah, Elena."Marcell menyodorkan sepiring makanan dan gelas minum di meja, tepat di depan mata Elena. Lalu dirinya ikut bergabung dan duduk tepat di sebelahnya dengan makanan yang sama. Marcell sesekali mengamati ekspresi wajah Elena yang pagi ini terlihat seperti banyak pikiran. Lalu perhatiannya tertuju pada lengan Elena yang terluka dan sudah dibalut olehnya. Tanpa sadar, Marcell menyentuh lengan Elena dan membuat wanita itu tersentak kaget. "Maafkan aku. Apa lukanya masih sakit?""Tidak, Kak, aku sudah baik-baik saja. Ini tidak sakit.""Sungguh? Aku sangat mengkhawatirkanmu, Elena. Kau terlihat pucat." Marcell mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Elena dengan lembut. Dia menunjukkan kekhawatirannya. Elena membiarkannya dan hanya tersenyum. "Terima kasih, tapi aku baik-baik saja.""Baiklah, makanlah dulu kalau begitu. Kita akan bicara setelah ini."Elena hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Dia juga langsung menyantap sarapan paginya dalam keheningan. Sama sep
Di rumah Darryl, Ezekiel siang ini masih menangis di kamarnya setelah kepergian Elena. Dia tidak mau keluar meski dibujuk Emma maupun Kathleen. Ayahnya sudah dihubungi dan berkata akan segera pulang, tapi itu tidak membuat Ezekiel langsung tenang. Dia tetap berbaring di ranjang sambil memegang foto ibunya. "Bunda, Tante Elena sudah pergi. Tante Elena meninggalkan Iel. Gimana ini, Bunda? Iel sedih sekali. Iel mau Tante Elena," ucapnya pada foto Kayleen yang berada dalam pigura. Air matanya tampak menetes. Menangisi dirinya yang kehilangan sosok Elena. "Iel kesepian."Ezekiel terus menangis sampai hidungnya terlihat memerah. Namun tentu dia tidak akan menyerah. Dia akan meminta ayahnya untuk mencari Elena dan membawanya kembali. Ezekiel tidak peduli bagaimana caranya. Sampai setelah puas menangis, Ezekiel mendengar ketukan di pintu kamarnya. "Tuan Muda, ini sudah waktunya makan siang. Ayo turun, Tuan Muda. Anda tidak boleh mengurung diri terus."Itu adalah suara Emma. Ezekiel mengusap
"Sepertinya Elena tidak mau menikah denganmu, Kak," ucap Kathleen pada Darryl yang kini membaca surat yang ditinggalkan Elena untuk Ezekiel. Mereka saat ini sedang duduk di ruang tengah dengan raut wajah Darryl yang begitu kusut. Kathleen tersenyum saat menyadari pria itu marah. Dia puas. "Bagaimana dia bisa melarikan diri?" Tanya Darryl sambil meremas kertas di tangannya, lalu dia menatap Emma yang kini berdiri di depannya. "Kau ... bagaimana bisa kau membiarkannya keluar? Bukankah aku sudah memberikan kunci rumah ini padamu?""Maafkan saya, Tuan, saya tidak tahu bagaimana Nona Elena pergi. Saya juga sudah mengunci semua pintunya." Emma tertunduk penuh rasa takut. Dia merasa tidak nyaman dan khawatir akan dihukum. Emma sendiri bingung bagaimana caranya Elena melarikan diri. Sampai akhirnya dia teringat sesuatu dan refleks melirik Kathleen. "Tapi, Tuan, sebenarnya kuncinya itu ....""Kenapa kuncinya?""Anu, Tuan, semalam Nona Kathleen sempat meminjam kunci dari saya. ""Apa?" Darryl
"Elena, keluarlah, ini sudah waktunya makan siang. Kau tidak boleh diam di kamar tanpa makan."Marcell mengetuk pintu kamar Elena dengan agak keras. Dia membawa nampan berisi makan siang untuk wanita itu. Menantikan jawabannya. Sampai beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu kamar dibuka dan terlihatlah Elena. "Kak Marcell.""Aku membawakan makan siang untukmu. Bolehkah aku masuk?"Elena hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Perasaannya masih begitu buruk. Elena juga merasa agak pusing, hingga saat masuk kembali, dia duduk di pinggir ranjang. Menatap Marcell yang meletakkannya meja di depannya dengan makanannya. "Makanlah, kau tidak keluar dari tadi.""Hmm, terima kasih." Elena mengangguk dan mengambil makanan yang dibawakan oleh Marcell. Dia langsung menyantapnya. "Tapi, Kak, Kakak tidak perlu melakukan ini. Aku tidak mau merepotkan.""Apanya yang merepotkan? Aku ini Kakak sepupumu dan aku sangat mengkhawatirkanmu."Elena tersenyum. "Aku baik-baik saja. Kak Marcell jangan khaw
Pagi hari berikutnya. Elena yang mengawali hari keduanya bersama Marcell, pagi ini tiba-tiba membuat kegaduhan ketika dia muntah-muntah di kamar mandi. Suaranya yang cukup keras, terdengar oleh Marcell yang memiliki kamar tepat di sebelah Elena. Hingga tanpa basa-basi, pria itu dengan cepat langsung menuju pintu kamar Elena dan mengetuknya. "Elena? Elena kau tidak apa-apa? Bolehkah aku masuk?"Elena yang berada di kamar mandi, bisa mendengar ketukan pintu dan suara Marcell. Namun karena Elena masih terus muntah-muntah, dia jadi mengabaikan semua itu. Elena berusaha menenangkan diri dan memegang wastafel. Tubuhnya terasa lemas dan dia muntah tanpa sebab. Tidur paginya juga terganggu karena ini. Elena yakin, ini bukan keracunan makanan, karena dia bahkan belum makan sedikit pun dan hanya cairan yang keluar. Apa yang terjadi dengannya? Tok-tok-tok. "Elena? Kau mendengarku? Buka pintunya atau aku akan mendobraknya sekarang."Suara Marcell terdengar semakin cemas saat Elena tidak kunj