Sudah nyaris seminggu, Laureta dan Kian berada di London. Mereka menghabiskan waktu lebih banyak berdua daripada bersama dengan keluarga mereka.Sebenarnya konsep awalnya, Kian ingin supaya ia bisa bersama seluruh keluarganya. Marisa sampai harus repot-repot memikirkan tentang rencana liburan ini. Nyatanya, Kian lebih senang memisahkan diri. Ia seperti yang memiliki acara sendiri di luar dari keluarganya.Laureta ikut saja ke mana pun Kian membawanya. Hingga satu hari, Marisa mengajak Kian untuk bertemu dengan rekan bisnis yang baru bisa ditemui hari itu. Sebenarnya Kian sudah mengajaknya untuk ikut, tapi ini adalah urusan bisnis. Jadi, Laureta memilih untuk tidak ikut ke sana.“Kamu yakin? Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu tidak ikut denganku?” tanya Kian.“Tidak apa-apa. Aku bisa berjalan-jalan di sekitar sini atau diam saja di hotel,” ujar Laureta santai. Namun, Kian menautkan alisnya, tidak setuju. “Tenang saja, aku akan baik-baik saja, Kian.”“Kamu yakin?”“Iya. Kamu pergilah
Erwin tertawa ringan. Ia tampak santai dan tidak ada beban sama sekali. Suara tawanya terdengar renyah dan natural. Seketika Laureta teringat akan masa-masa indahnya dulu berdua dengan Erwin.Laureta bersyukur karena semua kenangan itu diputar di kepalanya dan hanya ia sendiri yang bisa melihatnya. Ia tidak tahu, apa yang ada di dalam pikiran Erwin. Ia tidak berharap jika Erwin memikirkan hal yang sama seperti dirinya.“Kamu masih sama seperti Laureta yang aku kenal,” ujar Erwin. “Kamu selalu saja mengancam dengan menggunakan ototmu. Apa kamu juga selalu seperti itu pada Om Kian?”Laureta menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Aku mana berani mengancamnya. Kamu pasti lebih mengenalnya daripada aku.”Erwin meminum eggnog-nya dan kemudian mengernyitkan wajahnya. Sedari tadi, Laureta belum sempat mencoba minumannya. Jadi, ia pun ikut mencoba dan ternyata rasanya enak. Ada rasa alkohol yang cukup kuat menyengat tenggorokannya, tapi masih bisa ia terima.Badannya jadi terasa lebih hangat d
Tahun baru berlalu. Seharusnya mereka merayakannya di London, tapi sayangnya Marisa ada urusan lain. Jadi, mereka merayakannya di rumah keluarga Aleandro. Laureta bahkan merasa nyaman untuk berada di rumah yang sudah ia anggap seperti rumahnya sendiri itu.Ia mengirim makanan untuk ibunya dan sejumlah uang untuk ibunya berbelanja. Namun, mereka tidak bertemu muka. Laureta memilih untuk menghindari ibunya. Kian tidak boleh sampai tahu jika ibunya tinggal di rumah itu.Laureta sedang berbaring di kamarnya seorang diri karena merasa tidak enak badan. Selain karena perubahan udara yang cukup drastis antara London dan Bandung, ia pun merasakan sakit kepala yang berkepanjangan.Jika ia tidur agak lama, tubuhnya merasa lebih baik. Namun, baru saja ia beraktifitas sebentar, rasanya ia sudah kelelahan.Kian sedang pergi ke kantor dan mereka baru akan bertemu nanti sore. Tak ada yang menemaninya di saat ia sedang tidak enak badan. Ia ingin meminta pertolongan siapa lagi pun ia tak tahu.Tiba-ti
Laureta kembali muntah, tapi tidak sebanyak sebelumnya. Ia mual sekali dan pusing dengan bau sup krim itu. Ia kembali mencuci mulut dan wajahnya. Ia juga mencuci tangannya dengan sabun sampai benar-benar wangi. Ia menghirup aroma teh hijau di tangannya yang sangat wangi dan membuatnya tenang.“Ta, kamu baik-baik saja?” tanya Reksi dari depan pintu kamar mandi.Laureta membuka pintu dan menatap sahabatnya dengan air mata yang menetes di pipinya. “Aku muntah lagi.”Reksi memegang dahi Laureta sambil menatap langit-langit dengan wajah serius. "Badanmu tidak demam, malah justru dingin. Apa kamu ingin aku antar ke dokter?"Laureta menggelengkan kepalanya. "Tidak, Reks. Aku tidak mau ke dokter. Aku mohon." Ia merengek seperti anak kecil dan tiba-tiba saja air matanya menetes ke pipi."Ya ampun. Kenapa kamu jadi menangis?" Reksi tampak bingung. Ia membawa Laureta menuju ke kasur. "Kamu istirahat saja ya. Jangan turun dari kasur."Ketika Reksi hendak membuka mulut untuk bicara, tiba-tiba pint
Reksi berhenti berjalan. Ia menoleh sambil menatap Laureta. “Aku juga tidak tahu, Ta. Aku merasa kalau aku bisa berpacaran dengan Erwin sekarang itu tidak diawali dengan cara yang baik. Aku seperti yang sudah merebut pria itu darimu walaupun sebenarnya kalian sudah resmi putus.“Aku terus menerus memikirkan tentang hal itu. Hanya saja, aku sudah lelah untuk terus berpikir berlebihan. Aku jalani saja apa yang ada. Sebenarnya, aku sadar kalau di hatinya tidak ada aku. Dia hanya mencintaimu, Ta. Dia memang tidak bisa berpindah ke lain hati.”Laureta menggelengkan kepalanya. “Reksi, semua ini hanya akan menyakitimu. Aku bukannya menyuruhmu untuk putus, tapi aku akan lebih bahagia jika melihat sahabatku bersama dengan pria yang juga mencintainya. Kamu berhak untuk dicintai, Reks.”“Terima kasih, Ta. Maafkan aku atas segala yang telah aku perbuat padamu.”“Tidak apa-apa, Reks. Aku sudah ikhlas.”&ldqu
Laureta hanya bisa terbaring lemah di kursi tahap kedua. Ia meringkuk sambil memegang keresek karena khawatir muntah lagi. Hati Kian ketar-ketir sambil membawa mobilnya. Ia jadi teringat pada Adinda saat ia sakit. Semua orang pergi, hanya ada Kian yang mengurusnya. Adinda pun muntah-muntah dan badannya lemas. Tidak ada makanan yang bisa diterima oleh badannya. Kian khawatir jika Laureta mengalami hal yang sama seperti Adinda. Jadi, ia segera membawa istrinya ke rumah sakit. Ia mengebut sepanjang jalan, lalu menepi ke IGD. Ia memarkirkan mobilnya secara miring, tak peduli meski ia menghalangi mobil orang lain. Seorang satpam menghampirinya dan langsung mengambil alih. Kian mendahulukan untuk menggendong Laureta dan membawanya ke dalam IGD. Untuk ke sekian kalinya dalam waktu dekat ini, ia terus menerus ke rumah sakit. Kian sedih sekaligus khawatir. Dengan cepat para perawat mengurus Laureta. Ia mendapatkan ruangan yang lebih luas dan besar dari tempat lainnya. Badan Laureta agak de
Saat itu, udara tidak terlalu dingin seperti sebelumnya. Kian pergi ke Hyde Park dengan menggunakan taksi daring. Langkahnya terasa berat karena ia tahu jika pertemuan ini mungkin tidak akan berakhir dengan baik.Hatinya sungguh tidak tenang. Kian sempat berpikir untuk mengabaikan Helga dan memilih untuk pergi dari sini. Ia bisa berjalan kaki sampai ke hotel, sekalian ia berolahraga.Namun, Kian sudah berkata bahwa ia akan menemui wanita itu. Apa jadinya jika Helga menunggunya di sana sampai membeku? Kemarin ini, wanita itu baru saja bolak-balik rumah sakit karena hal yang sepertinya Kian terlewati. Helga belum menceritakan semuanya.Tidak seharusnya Kian masih mempedulikan wanita itu. Untuk itu, Kian membalikkan badannya dan merasa seperti orang bodoh. Sayangnya, rasa penasarannya terlalu tinggi. Sebelum ia benar-benar pergi dari sana, ia mencoba mengecek keberadaan Helga.Kian berhati-hati dengan menutup kepalanya menggunakan tudung dari jaketnya. Ia menunduk sambil melirik ke sana
Helga sedang menelepon seseorang dan berbicara dalam bahasa Inggris. Kian cukup mendengarkan bahwa Helga akan segera pergi ke apartemen temannya itu.Helga selesai menelepon dan berjalan menuju ke halte bus. Kian sengaja bersembunyi di dekat rambu lalu lintas hanya untuk memperhatikan wanita itu pergi.Tidak biasanya, Helga naik kendaraan umum. Hati Kian tidak tenang. Dengan decakan kesal di mulutnya, Kian pun terpaksa menghampiri wanita itu. Ia berhasil memegang tangan Helga sebelum wanita itu naik ke bus. Kian membuat wanita itu terkejut.Beberapa orang memperhatikan mereka seolah khawatir jika Kian adalah orang jahat. Namun, Kian pun melepaskan tangannya dan berkata, “Kamu tidak boleh naik bus sendirian.”“Memangnya kenapa? Aku sudah sering sekali naik bus, tidak masalah.”“Aku tetap akan menemanimu sampai ke apartemen dengan selamat,” ucap Kian dengan nada yang tidak bisa dibantah lagi. Diam-diam, Helga mengulum senyumnya.Mereka berdua sama-sama naik bus dan duduk bersebelahan. H