Sudah seperti orang gil* Elgar kesana kemari mencari Shila. Dari Jepang ke Indonesia lalu kembali ke Jepan dan kembali ke Indonesia.Pagi ini baru turun dari pesawat langsung menuju ke rumah Haidar, papa Shilla. Tujuannya untuk menanyakan kampung halaman sang istri.Namun untuk yang kesekian kalinya Elgar kembali menelan kekecewaan ketika papa mertuanya juga tidak mengetahui dimana tempat tinggal putrinya sewaktu kecil. Ayah macam apa yang bahkan tempat tinggal putrinya saja tidak tahu. Ingin sekali Elgar memarahi pria yang saat ini tengah duduk di hadapannya itu. "Selama ini Shilla tinggal bersama ibu dan neneknya. Dan kami belum pernah mengunjunginya," sahut Utari berusaha membela suaminya. Elgar melirik sinis pada ibu sambung Shilla lalu kembali fokus pada Haidar. "Sekedar alamatnya Anda juga tidak tahu?" Haidar menggeleng. Tanpa sadar Elgar mendengus kasar. Tangannya mengepal menahan kesal yang ingin sekali ia luapkan dengan cacian. Bagaimana mungkin Haidar tidak tahu
Kaget, sontak Shilla melebarkan matanya, menatap sesosok pria yang berdiri tegap di sisi kanan samping tembok dekat pintu. Pria itu menatapnya tajam. "Ke-kenapa kamu di sini?" ujarnya gagu setelah keterkejutannya mulai menghilang. "Tentu saja untuk menjemputmu," jawab Elgar dengan suara tegas dan masih menatap tajam wanita yang sudah membuatnya hampir gil* selama dua minggu terakhir. "Kamu kenal dia?" Pandangan Shilla beralih pada Kirana yang ada di depannya. "Hem..." Shilla hanya mengangguk lalu kembali mengarahkan tatapannya ke Elgar. "Tidak hanya Elgar, Shilla bahkan mengenalku." Derrick yang ada di sisi satunya menyahut sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa itu benar Shilla?" Gadis diatas kursi roda itu menarik lengan Shilla. Kaget, Shilla balik bertanya. "Apa? " "Kamu mengenal Alex?" "Dia?" Shilla menunjuk Derrick, Kirana pun langsung mengangguk. "Kenal. Kenapa?" "Dia saudara sepupuku, anaknya Tante Reina." 'Loh? Jadi dia...." Ah....
"Apa yang dikatakan wanita itu?" Masih dengan mendekap tubuh istrinya Elgar mulai membahas masalah diantara mereka. Terdengar Shilla menghela nafas. Ada rasa sesak setiap kali teringat kejadian yang membuatnya mendapat tatapan sinis rekan-rekan kerjanya karena dianggap pelakor. "Dia mengatakan aku merebutmu." Jawabnya datar. Elgar mengeram, menahan amarah yang bergemuruh di dadanya. Beraninya Olivia mengarang cerita bohong. "Kamu tahu itu tidak benar, kan? Hubungan kami sudah berakhir delapan tahun yang lalu.," "Iya." Posisi Shilla yang membelakangi Elgar membuat pria itu tak bisa melihat ekspresi sang istri. "Dan kamu tahu kan alasannya?" Elgar sedikit mengangkat kepalanya penasaran dengan ekspresi istrinya yang sejak tadi terdengar datar-datar saja. "Iya." Refleksi sang pria menghembuskan nafas lega. "Syukurlah," ucapnya. "Lalu kenapa kamu pergi?" tanya Elgar menciumi punggung dan pudak polos Shilla. Tubuh Shilla pun menggeliat, merasa geli saat kulit mulus
Sampai lima belas menit Elgar belum kembali. Shilla menghela nafas, beberapa kali tangannya menyentuh mangkok berisi bubur yang ada di depannya. "Sudah mulai dingin," gumamnya lirih dan kembali menghela nafas. "Kenapa lama sekali?" Tatapannya terkunci pada daun pintu yang tertutup rapat. Teringat keberadaan seorang pria di balik pintu yang menghalangi keluar tiba-tiba ingatan Shilla tertarik pada kejadian dua minggu lalu. "Elgar tak sebaik yang kamu pikirkan. Ada banyak hal buruk yang sudah pria itu lakukan dan kamu pasti tidak akan menduganya. Elgar itu iblis dan kamu akan menyesal jika tetap bersamanya." Shilla menutup matanya suara itu terus terngiang di pikirannya. Shilla tak menduga jika ternyata wanita itu mengikuti Shilla dari depan gedung penelitian sampai di depan apartemen. "Maaf aku melakukan ini. Tapi ini satu-satunya cara yang bisa kulakukan. Jadi, pergilah sejauh mungkin atau kamu akan menyesalinya." Shilla cukup terkejut saat wanita yang sudah dengan
Meski ragu, Devon pun mengikuti wanita yang baru ditemuinya itu. "Katakan dimana Shilla?" Tanya Devon pada wanita yang sedang menyesap kopi pesanannya. Bukannya menjawab wanita yang tangan kanannya memakai gip itu tersenyum tipis. Devon menghela nafas. Berusaha memupuk kesabaran dalam dadanya. Sudah lebih dari 30 menit mereka duduk berhadapan di sebuah kafe namun tak kunjung sang wanita berbicara. "Jika tak ada yang ingin kamu katakan, aku akan pergi." Lelah Devon pun bangkit. "Tunggu," ucap wanita. Menekan egonya, Devon kembali duduk. Jika saja dia punya cara lain menemukan Shilla mungkin sudah sejak tadi Devon pergi. Sayangnya hanya wanita ini satu-satunya harapan untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan Shilla. "Dimana dia?" Sebuah senyum tipis muncul dari bibir sang wanita. "Sabarlah sedikit, biarkan aku memperkenalkan diri..... Namaku Veronica, aku mantan rekan kerja Shilla. Kami cukup akrab sebelumnya," ungkap wanita itu dengan tatapan dingin seolah menyi
"Siapa yang mengirim pesan?" Elgar yang tadinya sibuk dengan layar ponselnya kini menatap datar Shilla. "Bukan siapa-siapa kok," jawab Shilla memaksa tersenyum. Satu alis Elgar terangkat. "Boleh lihat?" "Buat apa? Ini cuma pesan random dari teman kuliahku dulu." Shilla memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Kamu sendiri sedang kirim pesan sama siapa? Kayaknya serius banget." Shilla mencoba mengalihkan pembicaraan. "Coba lihat, lagi kerja apa main game?" Giliran Elgar yang salah tingkah. Pria itu segera menutup aplikasi pesan di ponselnya. "Hanya membalas pesan Mommy. Dia khawatir karena mendengar kamu dipecat dari tempat kerja." Shilla mengerutkan dahinya. "Mommy tahu dari siapa?" "Gak usah dipikirkan. Aku sudah jelasin semuanya. Sekarang Mommy sudah tenang." "Oh...." Shilla mengangguk. **** Menjelang sore mereka sampai di mansion keluarga Romanov. Mommy Rosa menyambut keduanya dengan suka cita bercampur haru. Wanita paruh baya itu sangat bahagia akhirnya putra
Elgar begegas pulang setelah mendapat laporan dari Bodyguard yang ditugasi menjaga Shilla. Dengan langkah lebar Elgar me aiki tangga menuju lantai dua. Baru mencapai setengahnya, panggilan dari mommy-nya membuat langkah lebar pria itu terhenti. "Kamu sudah pulang?" Mommy-nya berjalan dari arah dapur. "Iya," jawab Elgar menoleh sebentar lalu melanjutkan langkahnya. "Shilla sedang tidur." Beritahu Mommy Rosa dan Sang putra pun kembali menghentikan langkahnya. Tidur? "Dia baik-baik saja kan?" Ada kepanikan di nada suaranya meski raut wajahnya terlihat datar. "Dia baik-baik saja. Dia hanya merasa lelah dan sedikit pusing." Elgar mengerutkan dahinya. Pusing? Tadi pagi Istrinya itu baik-baik saja. "Pusing kenapa?" "Sini sebentar," Mommy Rosa melambaikan tangannya. Meski enggan Elgar pun kembali turun dan mengikuti Mommy-nya, duduk sofa ruang tengah. "Mommy tahu kamu pulang karena mengkhawatirkan Shilla. Tapi jangan khawatir, Shilla gak papa." Mommy Rosa mengelus pundak p
Pov Shilla. Sudah tiga bulan berlalu sejak aku pindah ke Frankfurt. Semua berjalan dengan sangat baik seolah semesta merestui pernikahanku dan Elgar. Setiap hari kami lalui dengan bahagia. Elgar sangat perhatian dan sabar. Meski kadang terpisah jarak selama beberapa hari karena Elgar harus mengurus bisnisnya do negara lain, tapu pria itu tak pernah lupa mengirim pesan dan videocall untuk sekedar berbagi kabar dan mengingatkan makan. Rasanya aku patut bersuka cita dan mengucap syukur sebanyak mungkin atas keberkahan keluarga baru yang Tuhan berikan padaku. Rasanya semua kepedihan yang sebelumnya aku rasakan kini terbayar sudah. Kadang aku merasa ini tak nyata. Aku yang sejak kecil hidup sebagai anak yatim dan miskin kini bisa hidup nyaman di mansion mewah bersama keluarga yang aku cintai. Hidupku terasa begitu sempurna. Nyatakah ini? Berkali-kali aku bertanya pada diriku sendiri. Rasanya aku masih tak percaya. Setiap detik rasa syukur dan bahagia membuatku ingin sellau ter