Pagi ini serasa Dejavu, kembali aku mendapatkan kejutan seperti kemarin pagi. Baru saja aku menuruni tangga teras rumah dan pria itu sudah berdiri di depan pagar. Kemarin pagi Papa datang dan berakhir keributan sampai membuat beberapa tetangga datang. Dan pagi ini, pria itu kembali muncul, entah apalagi yang akan terjadi setelah ini. Tapi, aku tak heran, melihat kemunculannya di sini. Seperti yang aku tahu dia laki-laki keras kepala dan sangat egois sudah pasti tidak akan menyerah begitu saja. Dan itu membuatku semakin yakin dia gak memiliki hati nurani. Jika benar dia sudah menyadari kesalahannya, harusnya merasa bersalah dan menuruti keinginanku untuk menjauh. Bukan malah terus muncul dan menyiksaku dengan membuatku teringat peristiwa itu. Itu sudah menunjukkan betapa egoisnya seorang Elgar Khalandra Romanov. Astaghfirullah..... Kuhela nafas panjang, menguatkan hati dan mulai melangkah maju. Jika bukan karena ada barang datang dan Reza tak ada di tempat, aku pasti suda
Selesai mengecek jumlah barang aku membawa Raka ke sebuah restoran cepat saji tak jauh dari apotik. Tak enak juga membiarkannya pulang begitu saja apalagi dia juga membawakan tutupan Nathan. "Maaf, di sini pinggiran kota jadi, tak ada kafe atau resti mahal." Merasa tak enak juga mengajaknya makan di restoran yang menunya kebanyakan favorit anak-anak. "Nggak papa. Asyik juga makan sambil menikmati pemandangan keluarga kevil.yang bahagia. Berasa dikasih kode." Raka mengedipkan sebelah matanya lalu tertawa renyah. Kode? "Astaga......" Aku menggelengkan kepalaku. Raka memang sedikit konyol. Raka adalah saudara sepupu Nathan tapi sifatnya berbeda dengan Nathan. Pria ini lebih ramah dan humoris ketimbang Nathan. "Duduklah, biarkan aku pesankan." Aku berjalan menuju meja pemesanan. "Dua paket ayam goreng," Aku mengambil uang dari dalam tas. "Pakai ini saja, Mbak. Bisa kan?" Belum sempat aku membayar Raka sudah berdiri sambil menyodorkan kartu ATMnya. "Bukannya
Pov Elgar Aku hanya bisa memandang punggung rapuh itu berjalan menjauh dan menghilang di tikungan jalan. Dadaku terasa sesak melihat sorot kebencian dimata Shilla. Aku tidak pernah membayangkan Shilla akan berubah begitu dingin. Dia juga sangat angkuh. Sama sekali tidak seperti Shilla yang aku kenal dulu. Meski pendiam tapi Shilla sangat hangat dan ramah. Begitu besar rasa kecewa dan marahnya padaku sampai merubah wanita baik hati menjadi sosok dingin yang tak tersentuh. Berita kematian Mommy pun tak membuatnya iba dan bersimpati. Justru dia terkesan cuek dan tak peduli. Bahkan dia tanpa ragu menginjak-injak pemberian Mommy. Benarkah itu murni karena kebenciannya padaku? Ataukah ada hal lain? Dari sikapnya seolah Shilla juga membenci Mommy. Tidak, itu tidak mungkin. Shilla dan Mommy sangat dekat. Dan setahuku Shilla tak tahu tentang alasan perpisahan orang tuanya. "Mister..." Putra menepuk lengan kiriku. Aku tersentak, reflek mengangkat satu alisku. Dengan dagunya
Setelah berbicara dengan Budhe aku bergegas menyusul Shilla. Kupikir istriku itu kan ke apotik miliknya. Namun ternyata dari foto yang Gerald kirim istriku sedang bersama pria di sebuh restoran. "Nona di dalam bersama seorang pria."Putra mengatakan jari telunjuknya ke sebuah Restoran cepat saji. "Sedang apa mereka?" tanyaku dengan pandangan tak lepas dari kedua mahluk yang berjenis kelamin berbeda itu. "Dari laporan Gerald, pria itu sedang berusaha menggoda Nona Shilla. Sepertinya dia menaruh hati pada Nona Shilla." Tanganku mengepal, menahan amarah yang sedang bergemuruh dalam dadaku. Hampir saja kupukul kaca jendela mobil untuk melampiaskan rasa panas yang menjalar di dada ini. "Mister tenang saja, dari pantauan Gerald Nona Shilla seperti enggan menanggapi pria itu. Nona bahkan tidak meladeni ataupun tertawa dengan lelucon yang pria itu buat." Sedikit lega, setidaknya Shilla masih sadar dengan statusnya yang masih istriku. "Maaf Mister, apakah tidak sebaiknya ki
"Kamu harus menikah dengan putra dari rekan bisnis saya, Ashilla." Aku tertegun. Enteng sekali pria itu berbicara, wajahnya bahkan hanya mendongak sebentar lalu kembali menunduk menikmati makan siangnya. Segitu tak tahu malunya dia. "Kamu bersedia kan?" Aku masih bergeming. Kutatap dalam pria yang terlihat begitu menikmati makanannya itu. "Langsung saja, intinya perusahaan sedang mengalami krisis dan butuh dana yang besar untuk bisa bertahan." Lagi, Haidar Raziqin, berbicara tanpa sedikitpun merasa sungkan atau tak enak hati. Pria yang darahnya mengalir dalam darahku tapi tak pernah mengakuiku sebagai putrinya--mendadak langsung memerintah. Di sisi lain, Utari, nyonya rumah ini menatapku sebentar lalu melenggang pergi setelah meletakkan segelas jus jeruk dan piring kosong di atas meja tepat di sebelah suaminya. "Jadi, saya harus menikahinya agar perusahaan mendapat suntikan dana?" Pria tua di hadapanku itu mengangguk. Reflek ujung bibirku tertarik sinis. Baru kemarin d
"Dari mana saja kamu?" Nathan berdiri di lobby kantor saat aku baru sampai. Sepertinya sengaja menungguku. Ya, tadi aku pergi tanpa pamit. Begitu mendapat telpon dari tante Utari yang memintaku datang, tanpa pikir panjang aku langsung pergi. Aku pikir mereka menyesal karena kemarin telah mengusirku. Tapi ternyata.......mereka hanya ingin memanfaatkan aku saja. Bod*h sekali aku jika mau menuruti permintaan pria yang tidak pernah menganggapku sebagai putrinya itu. "Ck, ditanya malah ngelamun." Pria berkulit bersih itu berdecak kesal sembari menjentikkan jarinya di depan wajahku membuatku sedikit tersentak. "Ketemu sama teman sebentar," jawabku lalu lanjut melangkah. "Sudah kubilang jangan pergi sendirian. Apa lagi tidak pamit kayak tadi." Kami berjalan beriringan sambil sesekali menyapa rekan kerja yang tak sengaja berpapasan. "Dan lihat itu jam di pergelangan tanganmu, kamu telat." Nathan terus mengomel. Aku telat setengah jam, setelah dari rumah Papa aku memilih untuk men
"Tanya alamat," jawabku asal. "Mana ada orang nanya alamat di gedung penelitian?" Aku hanya mengangkat bahuku, lalu kembali sibuk dengan layar ponselku. "Malam ini aku akan pulang ke rumahku. Nathan dan Mbak Miranda juga pulang ke rumah orang tua mereka. Kamu gak papa sendirian?" Aku menoleh, "Iya, nanti aku akan ke rumah Natalia. Makasih sudah mengkhawatirkan aku." "Bagus kalau kamu tahu. Jadi, jangan sampai tidak mengangkat telpon." "Siap," jawabku. Aku tak pernah berhenti bersyukur mendapatkan kesempatan bertemu orang-orang baik seperti mereka bertiga. Ardi sudah seperti saudara kembar yang selalu tahu dan faham perubahan moodku. Nathan lebih ke seorang kakak yang selalu perhatian dan siap menjagaku. Dan Mbak Mirna dibalik ketegasannya ada kasih seorang ibu yang perhatian. Terima kasih Tuhan.... diantara kepahitan dan penderita masih Engkau selipkan orang-orang baik di perjalan hidupku. Sampai di rumah aku segera membersihkan diri sebelum bersantai. Hanya saja, baru kelu
Kupejamkan mataku sebentar sebelum meminta Pak sopir untuk merubah arah tujuan. Berbagai bayangan buruk membayang di pelupuk mata. Rasa bersalah dan ketakutan muncul bersamaan. Tanpa bisa kucegah tangan dan kakiku mulai gemetaran. Dadaku terasa sesak kembali teringat peristiwa tiga tahun lalu. "Jangan...... Jangan lagi Ya Allah.... Hamba mohon jangan jadikan hamba penyebab kematian orang yang hamba kasihi lagi." Aku terus merapalkan doa-doa dalam hati, merayu sang maha kuasa berharap ketakutanku tidak akan pernah terjadi. [Ardi] Tak sengaja kulihat kontak pria itu di ponsel. Ingin sekali aku menghubunginya namun aku urungkan. Saat ini, dia pasti sedang menghabiskan waktu bersama orang-orang terkasihnya sebelum tinggal berjauhan untuk waktu yang lama. 'Tidak, aku tidak bisa mengganggunya,' batinku. Tidak Ardi, Nathan juga tidak Mbak Miranda. Aku bertekad untuk menghadapinya sendiri. Jadi, dengan langkah sedikit berlari aku menuju ruang ICU tempat pria yang menjadi alasan