Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Elgar memutuskan untuk memakamkan ibunya di tempat yang sama deng sang papa. Bagaimanapun Roda adalah jodoh yang diberikan Tuhan untuk Leonard. Terlepas bagaimana caranya mereka menikah. Sarah adalah jodoh Leonard. Lagi pula menurut cerita Bik Saroh yang mengetahui cerita sebenarnya, mengatakan jika kisah antara Leonard dan Muthia sudah berakhir. "Bik, apa Bik Saroh tahu seperti apa cerita sebenarnya?" tanya Elgar setelah selesai memakamkan ibundanya. Bik Saroh mengangguk. Sebelum ikut Roda ke Jerman, Bik saroh adalah pembantu di rumah orang tua Rosa. Keluarga Rosa adalah keluarga terpandang dan cukup kaya. Dalam keluarga Rosa perjodohan masih dilakukan. Dan Karena Rosa menolak dijodohkan orang tua Rosa pun mencoret Rosa dari kartu keluarga. "Tuan makanlah dulu, setelahnya saya akan ceritakan semuanya." Elgar menurut, pria itu pun menyantap hidangan yang disiapkan oleh Bibiknya itu. Bagaimanapun tubuhnya butuh asupan nutrisi. Dia masih m
"Kamu tega, Kak. Shilla itu teman aku." Kirana menatap kesal kakak sepupunya. Dia tidak menyangka jika sang Kakak sepupu yang sangat dia sayangi itu bisa menipunya sedemikian rupa. Entah apa yang Elgar janjikan sampai pria itu tega bekerja sama memanfaatkan rasa iba Kirana. "Ck..... jangan berlebihan. Elgar tidak sekejam yang kamu pikirkan. Dia hanya..... Ahh kamu gak akan ngerti." "Iya, aku nggak ngerti. Dulu Kak Derrick sendiri yang cerita tentang keburukan Elgar tapi sekarang malah membelanya." Derrick menghela nafas, pria itu berkacak pinggang sambil kepalanya menengadah, bingung harus berkata apa lagi. "Sudahlah tidak perlu dibahas lagi. Kamu istirahatlah aku akan pergi. Pasienku sudah menunggu." Derrick berbalik namun baru satu langkah ucapan Kirana kembali menahannya. " Shilla juga pasien Kakak, apa kakak tidak merasa bersalah sudah membahayakan nyawanya?" "Astaga....." Derrick meraup wajahnya frustasi. Sepertinya ini tidak akan mudah. Pria itu pun kembali me
"Brengs*k!!!!" Bugh..... "Mr, tolong tenang." Putra berusaha menarik mundur Elgar yang baru saja menghadiahiku bogem mentah pada Ario. "Lepas!!! Saya tidak akan tenang saat istriku dihina." Elgar berulang kali menepis tangan Putra. Hatinya makin kesal saat melihat senyum sinis Ario sesaat setelah dipikulnya. "Ck..... Shilla, kenapa kamu mesti bawa-bawa aku?" gerutu Ario mengusap sudut buburnya yang berdarah. . "Astaga.... kamu gak papa?" Sang wanita membantu Ario bangun. "Biar aku panggil polisi," ujar wanita itu hendak pergi namu ditahan oleh Ario. "Tidak perlu." Malas berurusan dengan kepolisian yang akhirnya hanya akan membuat masalah bertambah ruwet. "Kamu masuk saja." Ario meminta wanita berambut panjang itu masuk. "Dia benar, panggil polisi kesini! Sekalian aku akan melaporkan kamu atas kasus penculikan." "Penculikan? Memangnya siapa yang aku culik? Shilla?" Ario terkekeh. "Bertemu dengannya saja tidak pernah bagaimana aku menculiknya." Elgar memicingka
Disisi lain, di sebuah kota kecil Shilla berusaha menata kembali hidupnya yang sempat hancur. Di rumah peninggalan sang nenek, Shilla tinggal. Dia tak sendiri, tepat di samping rumahnya adalah rumah sepupu dari ibunya. Pov Shilla. "Shilla," Aku menoleh, Budhe Siti berdiri di teras rumahnya. "Ya, Budhe." Jawabku masih dengan memegang gayung yang aku gunakan untuk menyiram bunga-bunga dan tanaman hias yang berjajar di pinggir teras rumah. "Ada paket untuk kamu dari Raisa." Aku menyipitkan mata ke arah tangan Budhe yang memegang sebuah benda berwarna hitam. Aku pun meletakkan gayung ke dalam timba kemudian berjalan menuju rumah Budhe Siti yang berjarak lima meter. "Kemarin Rizal pulang dari Jakarta jam sepuluh malam. Mau ke rumahmu, takut kamu sudah tidur." Jelas Budhe sambil mengulurkan paket yang dia maksud. Aku pun mengikutinya duduk di kursi teras. "Terus tadi pagi keburu buka apotik soalnya ada barang yang datang." Lanjutnya. "Iya gak papa Budhe." Kupaksa bib
Pov Elgar. Hidupku kembali berwarna sejak aku mengenal Shilla. Aku kembali merasakan rasanya tersiksa karena penasaran. Panik karena cemburu dan kesal karena rindu. Sungguh, ini seperti mendapat kesempatan hidup kembali menjadi orang yang baru. Setelah bertahun-tahun Shilla berhasil membawaku kembali memeluk Tuhan, mempercayai segala kasih sayang dan berkah-Nya. Tanpa sepengetahuan Shilla dan Mommy aku kembali memeluk agama yang sempat aku tinggalkan karena rasa kecewa. Namun kali ini berbeda, tak seperti dulu yang hanya ada di kartu indentitas. Sekarang aku benar-benar menjadi muslim yang sebenarnya. Kulakukan segala kewajibanku sebagai seorang hamba Alloh dan menjauhi laranganNya. Tiga bulan sudah kami lalui sebagai sepasang suami istri dengan penuh cinta kasih dan berkah yang melimpah. Semua pekerjaanku lancar dan Shilla sembuh dari trauma psikisnya. Hubungan Mommy dan Shilla juga sangat baik. Aku sampai heran bagaimana bisa hubungan mertua dan menantu sebaik itu. Tak
Sudah sebulan lebih aku berada di Jakarta. Untuk urusan pekerjaan sementara aku serahkan pada Putra. Saat ini prioritasku adalah menemukan istriku. Seperti yang dikatakan Devon. Aku terus mengawasi Raisa. Q membeli rumah tepat diseberang rumah sahabat istriku itu. Dari balkon kamar aku bisa melihat dengan jelas aktifitas wanita yang baru memiliki bayi itu. Sekitar satu minggu yang lalu seorang wanita seumuran Shilla datang ke rumah Raisa. Sampai sore hari wanita itu baru pergi. Dari informasi yang didapatkan Gerald, wanita itu bernama Natalia Angelina. Dia sahabat Shilla yang menjadi Dosen di salah satu universitas di kota Bogor. Kuperintahkan beberapa orang untuk mengawasinya juga. Mungkin saja Shilla menemuinya atau bahkan tinggal bersamanya di Bogor. Dua hari setelah kedatangan Natalia, nampak seorang pria mendatangi rumah Raisa. Tak lama hanya sekitar beberapa menit saja. Dari plat nomor mobilnya itu nomor luar Jakarta. Sepertinya dia kurir, terlihat saat di depan pintu R
"Mister, Anda sudah sadar?" Wajah Putra yang pertama kulihat saat aku membuka mata. Pria itu nampak sangat lega. Spontan aku menghela nafas. Seandainya wajah Shilla yang pertama kulihat, betapa bahagianya. "Anda masih ingat saya, kan? Saya Putra asisten pribadi Anda?" Putra sedikit merunduk. "Hemm." Aku mengedipkan kedua mataku sambil bergumam. "Syukurlah," ucapnya menghela nafas. "Kata dokter, Anda harus beristirahat untuk beberapa hari." "Apa kalian sudah tahu dimana rumah istri saya?" "Sudah. Nona Shilla tinggal di rumah peninggalan Neneknya di pinggiran kota." "Kamu yakin?" "Sangat yakin, Mister. Saat ini Jordi dan Gerald sedang mengawasi Nona Shilla." Dadaku terasa plong. Rasanya untuk pertama kalinya aku bisa bernafas dengan lega. "Bagus sekali," kataku menepuk lengan Putra. "Sekarang bawa aku kesana," "Hah...." Putra nampak kebingungan. Pria itu diam sejenak lalu menggaruk kepalanya yang kuyakin sama sekali tidak gatal. "Kenapa masih diam? Bantu
"Tanda tangani surat cerai ini dan ajukan ke persidangan." Duarrrrr.......... Tubuhku membeku seketika. Aku tak pernah membayangkan Shilla akan langsung menuntut berpisah dariku begitu kami bertemu. Jika tau begitu aku tidak akan menemuinya secara langsung. Asal isa melihatnya itu sudah cukup. Meski hanya memandang dari jauh aku sudah sangat bersyukur. "Shilla, tidak bisakah kita bicara dulu...." Aku kebingungan. Kuusap wajahku kasar lalu mencoba melangkah maju. Namun dengan sigap Shilla melangkah mundur. "Maaf,... tolong jangan pergi... a-aku tidak akan mendekat. Tapi, tolong dengarkan aku sebentar saja." Aku benar-benar bingung, takut salah mengambil tindakan. Namun seperti biasa Shilla terlihat tenang tapi sorot matanya, penuh penuh kebencian dan luka yang dalam. Rasanya aku tak sanggup menatap lama netra kecoklatan itu. "Ayo kita bicarakan baik-baik dulu. Aku datang bukan untuk memenuhi sumpahku. Aku mencarimu untuk meminta maaf dan memperbaiki semuanya." Aku merendahk