Pov Elgar. Hidupku kembali berwarna sejak aku mengenal Shilla. Aku kembali merasakan rasanya tersiksa karena penasaran. Panik karena cemburu dan kesal karena rindu. Sungguh, ini seperti mendapat kesempatan hidup kembali menjadi orang yang baru. Setelah bertahun-tahun Shilla berhasil membawaku kembali memeluk Tuhan, mempercayai segala kasih sayang dan berkah-Nya. Tanpa sepengetahuan Shilla dan Mommy aku kembali memeluk agama yang sempat aku tinggalkan karena rasa kecewa. Namun kali ini berbeda, tak seperti dulu yang hanya ada di kartu indentitas. Sekarang aku benar-benar menjadi muslim yang sebenarnya. Kulakukan segala kewajibanku sebagai seorang hamba Alloh dan menjauhi laranganNya. Tiga bulan sudah kami lalui sebagai sepasang suami istri dengan penuh cinta kasih dan berkah yang melimpah. Semua pekerjaanku lancar dan Shilla sembuh dari trauma psikisnya. Hubungan Mommy dan Shilla juga sangat baik. Aku sampai heran bagaimana bisa hubungan mertua dan menantu sebaik itu. Tak
Sudah sebulan lebih aku berada di Jakarta. Untuk urusan pekerjaan sementara aku serahkan pada Putra. Saat ini prioritasku adalah menemukan istriku. Seperti yang dikatakan Devon. Aku terus mengawasi Raisa. Q membeli rumah tepat diseberang rumah sahabat istriku itu. Dari balkon kamar aku bisa melihat dengan jelas aktifitas wanita yang baru memiliki bayi itu. Sekitar satu minggu yang lalu seorang wanita seumuran Shilla datang ke rumah Raisa. Sampai sore hari wanita itu baru pergi. Dari informasi yang didapatkan Gerald, wanita itu bernama Natalia Angelina. Dia sahabat Shilla yang menjadi Dosen di salah satu universitas di kota Bogor. Kuperintahkan beberapa orang untuk mengawasinya juga. Mungkin saja Shilla menemuinya atau bahkan tinggal bersamanya di Bogor. Dua hari setelah kedatangan Natalia, nampak seorang pria mendatangi rumah Raisa. Tak lama hanya sekitar beberapa menit saja. Dari plat nomor mobilnya itu nomor luar Jakarta. Sepertinya dia kurir, terlihat saat di depan pintu R
"Mister, Anda sudah sadar?" Wajah Putra yang pertama kulihat saat aku membuka mata. Pria itu nampak sangat lega. Spontan aku menghela nafas. Seandainya wajah Shilla yang pertama kulihat, betapa bahagianya. "Anda masih ingat saya, kan? Saya Putra asisten pribadi Anda?" Putra sedikit merunduk. "Hemm." Aku mengedipkan kedua mataku sambil bergumam. "Syukurlah," ucapnya menghela nafas. "Kata dokter, Anda harus beristirahat untuk beberapa hari." "Apa kalian sudah tahu dimana rumah istri saya?" "Sudah. Nona Shilla tinggal di rumah peninggalan Neneknya di pinggiran kota." "Kamu yakin?" "Sangat yakin, Mister. Saat ini Jordi dan Gerald sedang mengawasi Nona Shilla." Dadaku terasa plong. Rasanya untuk pertama kalinya aku bisa bernafas dengan lega. "Bagus sekali," kataku menepuk lengan Putra. "Sekarang bawa aku kesana," "Hah...." Putra nampak kebingungan. Pria itu diam sejenak lalu menggaruk kepalanya yang kuyakin sama sekali tidak gatal. "Kenapa masih diam? Bantu
"Tanda tangani surat cerai ini dan ajukan ke persidangan." Duarrrrr.......... Tubuhku membeku seketika. Aku tak pernah membayangkan Shilla akan langsung menuntut berpisah dariku begitu kami bertemu. Jika tau begitu aku tidak akan menemuinya secara langsung. Asal isa melihatnya itu sudah cukup. Meski hanya memandang dari jauh aku sudah sangat bersyukur. "Shilla, tidak bisakah kita bicara dulu...." Aku kebingungan. Kuusap wajahku kasar lalu mencoba melangkah maju. Namun dengan sigap Shilla melangkah mundur. "Maaf,... tolong jangan pergi... a-aku tidak akan mendekat. Tapi, tolong dengarkan aku sebentar saja." Aku benar-benar bingung, takut salah mengambil tindakan. Namun seperti biasa Shilla terlihat tenang tapi sorot matanya, penuh penuh kebencian dan luka yang dalam. Rasanya aku tak sanggup menatap lama netra kecoklatan itu. "Ayo kita bicarakan baik-baik dulu. Aku datang bukan untuk memenuhi sumpahku. Aku mencarimu untuk meminta maaf dan memperbaiki semuanya." Aku merendahk
"Assalamu'alaikum... " Terdengar suara salam dari depan rumah. Masih pukul tujuh pagi, siapa yang bertamu sepagi ini? Mungkin tetangga sebelah ada perlu. Aku yang baru selesai bersiap-siap segera menuju pintu depan. Buru-buru kubuka pintu dan..... Aku tertegun beberapa saat setelah melihat siapa yang datang. "Assalamu'alaikum," Kompak mereka mengucap salam. "Wa'alaikum salam," jawabku. "Hai Kak Shilla," sapa gadis berumur 12 tahun melambaikan tangannya. "Hai Safira," Aku berjalan mendekati ketiga tamu yang entah untuk apa tujuannya datang kesini. Aku tak berniat mengajak masuk, kupersilahkan saja mereka duduk di kursi teras. "Maaf, mungkin kami datang terlalu pagi." Ujar Tante Utari dengan wajah yang dihiasi senyuman. Ya.... tamu hari ini adalah keluarga kecil Papa. Tuan Haidar beserta istri dan anaknya. "Tidak papa. Akan kuambilkan minum," kataku lalu beranjak masuk. Mengambil tiga botol minuman dan setoples kue kering bikinan budhe Siti. "Sila
Pagi ini serasa Dejavu, kembali aku mendapatkan kejutan seperti kemarin pagi. Baru saja aku menuruni tangga teras rumah dan pria itu sudah berdiri di depan pagar. Kemarin pagi Papa datang dan berakhir keributan sampai membuat beberapa tetangga datang. Dan pagi ini, pria itu kembali muncul, entah apalagi yang akan terjadi setelah ini. Tapi, aku tak heran, melihat kemunculannya di sini. Seperti yang aku tahu dia laki-laki keras kepala dan sangat egois sudah pasti tidak akan menyerah begitu saja. Dan itu membuatku semakin yakin dia gak memiliki hati nurani. Jika benar dia sudah menyadari kesalahannya, harusnya merasa bersalah dan menuruti keinginanku untuk menjauh. Bukan malah terus muncul dan menyiksaku dengan membuatku teringat peristiwa itu. Itu sudah menunjukkan betapa egoisnya seorang Elgar Khalandra Romanov. Astaghfirullah..... Kuhela nafas panjang, menguatkan hati dan mulai melangkah maju. Jika bukan karena ada barang datang dan Reza tak ada di tempat, aku pasti sudah be
"Kamu harus menikah dengan putra dari rekan bisnis saya, Ashilla." Aku tertegun. Enteng sekali pria itu berbicara, wajahnya bahkan hanya mendongak sebentar lalu kembali menunduk menikmati makan siangnya. Segitu tak tahu malunya dia. "Kamu bersedia kan?" Aku masih bergeming. Kutatap dalam pria yang terlihat begitu menikmati makanannya itu. "Langsung saja, intinya perusahaan sedang mengalami krisis dan butuh dana yang besar untuk bisa bertahan." Lagi, Haidar Raziqin, berbicara tanpa sedikitpun merasa sungkan atau tak enak hati. Pria yang darahnya mengalir dalam darahku tapi tak pernah mengakuiku sebagai putrinya--mendadak langsung memerintah. Di sisi lain, Utari, nyonya rumah ini menatapku sebentar lalu melenggang pergi setelah meletakkan segelas jus jeruk dan piring kosong di atas meja tepat di sebelah suaminya. "Jadi, saya harus menikahinya agar perusahaan mendapat suntikan dana?" Pria tua di hadapanku itu mengangguk. Reflek ujung bibirku tertarik sinis. Baru kemarin d
"Dari mana saja kamu?" Nathan berdiri di lobby kantor saat aku baru sampai. Sepertinya sengaja menungguku. Ya, tadi aku pergi tanpa pamit. Begitu mendapat telpon dari tante Utari yang memintaku datang, tanpa pikir panjang aku langsung pergi. Aku pikir mereka menyesal karena kemarin telah mengusirku. Tapi ternyata.......mereka hanya ingin memanfaatkan aku saja. Bod*h sekali aku jika mau menuruti permintaan pria yang tidak pernah menganggapku sebagai putrinya itu. "Ck, ditanya malah ngelamun." Pria berkulit bersih itu berdecak kesal sembari menjentikkan jarinya di depan wajahku membuatku sedikit tersentak. "Ketemu sama teman sebentar," jawabku lalu lanjut melangkah. "Sudah kubilang jangan pergi sendirian. Apa lagi tidak pamit kayak tadi." Kami berjalan beriringan sambil sesekali menyapa rekan kerja yang tak sengaja berpapasan. "Dan lihat itu jam di pergelangan tanganmu, kamu telat." Nathan terus mengomel. Aku telat setengah jam, setelah dari rumah Papa aku memilih untuk men