Bab 65 Kabar buruk Hari masih gelap gulita tapi Herni tergerak untuk bangun. Kakinya yang mulai kena rematik dipaksanya untuk berjalan membelah dingin menuju sungai, tak jauh dari tempat tinggalnya. Dibawanya ember dan pakaian kotor serta ember kecil tempat sabun untuk dipakainya nanti. Sebenarnya di tempat kosnya ada kamar mandi bersama, tapi dia enggan menggunakannya. Kamar mandinya jorok, bau pesing, kadang malah ada kotoran yang mengambang belum disiram. Hal itu membuatnya mual. Maka jika ada yang menyuruhnya untuk bersih – bersih rumah atau menyetrika, Herni selalu meminta ijin pada tuan rumahnya untuk mandi sebelum dia pulang ke kos. “Andaikan saja Ibra tidak neko – neko, mungkin hidupku tidak berakhir di sini,” keluh Herni sambil terus berjalan. UPS Langkah Herni terhenti karena kakinya menginjak sesuatu. Wanita berjongkok dan memeriksa apa yang diinjaknya barusan. Matanya terbelalak mengetahui barusan yang dia injak adalah sesosok tubuh. Posisinya tertelungkup. Herni
Bab 66 Denial “Hah… Kakak saya kena AIDS?” Ajeng nyaris tidak percaya dengan pendengarannya. “Betul. Kakakmu juga pecandu narkoba. Alangkah baiknya jika dia direhabilitasi, supaya bisa maksimal mengobati AIDS-nya.” Seluruh otot di tubuh Ajeng serasa lepas. Ia lemas sekali hingga penjelasan Dokter hanya lewat begitu saja di kepalanya. Dia terlalu syok dengan beban berat yang harus ia pikul. Beban berat memukul dada Ajeng. Pupus sudah harapannya untuk melihat kakaknya kembali segar seperti semula. “Terima kasih, Dok.” Hanya itu yang dapat ia katakan, sembari menerima hasil laboratorium. Ajeng berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan kepala menunduk. Langkahnya seperti tidak menjejak tanah. Pikirannya terlalu kalut, hingga membuatnya tak mampu mengangkat kepalanya tegak. Di depan kamar perawatan Ibra, gadis itu melihat Leong menunggu dengan muka yang sulit ditebak. “Ajeng apa kamu menangis?” tanya Leong perhatian, saat menyadari mata gadis itu sembab. Ajeng menunduk, dan hany
Bab 67 Hari yang membingungkan “Bu, saya barusan meeriman DM dari tamu pelanggan Hotel Natya kamar 101, dia meminta Ibu sendiri yang mengantarkan bunganya,” kata Tanto, setibanya Bening di Joli Flower. Pagi itu Bening tiba tepat jam 7 pagi karena hari ini ada banyak pesanan dari Andini. Sahabat sekaligus adik iparnya kini membuat Wedding Organizer. Wanita itu lalu memandang Tanto dengan tatapan serius. “Oh, ya? Diantar ke mana? Apakah tetap di Hotel Natya?” “Tidak, Bu, Sekarang pesanan bunganya diantarkan ke Jalan Pemuda no. 9X, mulai besok tiap jam 7 pagi.” “Hmmm begitu, ya?” Jalan Pemuda tidak terlalu jauh dari Joli Flower, jaraknya mungkin sekitar 1 kilo dari Joli Flower. “Apa kamu pernah bertemu dengan pelanggan itu?” tanya Bening lagi. “Belum Selama ini, bunganya saya taruh di Resepsionis. Sesuai dengan permintaannya.” Bening menganggukkan kepalanya. Walaupun permintaannya tidak biasa tapi dia menyanggupinya. “Apa Ibu Tita ada memesan bunga lagi?” Tiba – tiba dia teringat
Bab 68 Terpesona Jam menunjukkan pukul 6.55 pagi, ketika Bening tiba di depan rumah berwarna putih, dengan pintu pagar kayu dan berdinding batu kali yang tersusun rapi. Kemudian di belakang dinding batu itu berjejer rapi tanaman heliconia yang tumbuh sumbur. Sementara di tengah – tengah halaman tampak bunga kamboja tiga warna, memamerkan keindahannya. Bening memencet bel, dan seorang satpam keluar membukakan pintu. Selamat pagi, Bu.” Sapa lelaki dari Timur itu ramah. “Selamat pagi, Pak, saya mau mengantarkan bunga.” “Silahkan langsung masuk ke dalam, Bu. Sudah ditunggu sama Bapak.” Kening Bening bertaut, tapi dia tidak membantah dan mengikuti perintah satpam tersebut masuk ke dalam rumah. Rumahnya sangat nyaman, tidak begitu luas dan sangat sejuk. Menariknya ada sungai kecil, dengan batu – batu sungai yang bermuara di kolam dengan air terjun mini dan tumbuhan pakis – pakisan yang tumbuh subur secara vertical. Tampak ikan – ikan kecil warna warni saling berkejaran. Pemandanga
Bab 69 Pengontrak tampanSelama hampir 4 minggu, tiap weekend Bening jarang di rumah. Dia sering bolak – balik ke Jakarta untuk mengajar kelas ekslusive, Ibu – Ibu pejabat. Kadang dia mengajak Evan bersama Mama dan papanya, supaya tidak terlalu merasa bersalah.Weekend ini Bening berada di rumah, dan terkejut saat melihat dua paviliun telah jadi. Posisinya berada di halaman depan, letaknya di bagian timur dan barat rumah.Paviliun itu bentuknya mengadaptasi rumah Betawi dengan teras manis. Dihiasi kursi kayu dan aneka bunga milik Mamanya.“Paviliunnya bagus,” puji Bening tulus, saat mereka sarapan pagi.Iswati senang dengan pujian Bening. “Ya harus bagus dong. Biar penyewanya senang dan setara dengan harga sewanya.” Iswati menyuapkan sesendok cereal ke mulut Evan. “Besok, Mama dan Papa akan ke Surabaya selama 3 hari,” kata Iswati. “Rencananya Mama mau mengajak Evan dan Mba Atun. Apa kamu gak apa – apa sendirian di rumah?” ““Gak apa – apa sih, Bening bisa meminta Elang dan Andini untu
Bab 70 I am so in love with you I am so in love with you that there isn’t anything else. “Jangan bercanda, ini sama sekali tidak lucu?” kata Bening. Kama tersenyum tipis. “Siapa yang bercanda. Aku punya bukti. Asistenku Aditya telah membayar paviliun 2 selama 6 bulan ke depan.” Dia memberikan screenshoot bukti pembayaran pada Bening. Kaki Bening terasa tertancap di tanah. Pantesa“Gila! Apa kamu sadar yang kamu lakukan? Kamu punya rumah bagus dibandingkan di sini.” Dia tidak habis pikir dengan pemikiran Kama. “Yes, aku memang tergila – gila denganmu sampai hilang akal, Be, dan mengejarmu di sini.” Kama menyisir rambutnya ke belakang. Gerakan lamban itu membuat hati Bening berdesir. “Ngomong – ngomong apa kamu tidak mau menyuruhku duduk seperti lelaki itu?” Kama melihat sinis pada Robert yang duduk dengan menopang satu kakinya. Bening terbungkam. Suka tidak suka, Kama adalah penyewa paviliun dan dia harus membuatnya nyaman. “Silahkan duduk.” Dia mendahului berjalan ke teras, di
Bab 71 I am Jealous, BebMama belum bisa pulang, Be. Budemu syok dan penyakit jantungnya kambuh, setelah suami Wulan kabur sebelum akad nikah. Mama sama Indri gantian jagain budemu. Mungkin 5 hari lagi kami pulang. Kamu tidak apa – apa kan? Tanya Iswati melalui video call.Kan masih ada anak – anak Bude, Ma. Suaminya juga ada? Bening mengerutkan dahi, mengingat Mama akan memperpanjang masa liburannya.Mereka tidak bisa diandelin. Bisanya cuma ngomong saja. Gak ada yang mau gantiin popok budemu. Kalau Mama dan bulikmu Indri tidak mikirin budemu. Mama sudah pulang. Tapi Mama gak bisa, Be, melihat bulikmu Indri wira – wiri ke rumah sakit ngurusin Bude dan anak – anaknya yang manja itu. Suara Iswati terdengar sewot.Bening tertunduk. Ia tahu, keluarga budenya memang kaya raya, sayangnya mereka tidak punya pembantu, dan selama ini budenya yang mengerjakan semua pekerjaan rumah. Sedangngkan anak – anaknya dimanja.. Apa Evan baik – baik saja, Ma? Bening kangen. Dia mengalihkan percakapan.Be
Bab 72 Gara – gara ularSemenjak Kama tahu Robert berniat mendekati Bening. Badai melanda hati Kama. Tiap hari lelaki itu uring – uringan. Mukanya masam dan tegang.“Apa kamu sudah mendapatkan info tentang Robert?” tanya Kama pada Adit dengan gusar.“Belum Pak,” jawab Adit. Wajahnya menunduk dan siap menerima semprotan dari Kama.“Kenapa lama sekali? Apa kendalanya?” tuntut Kama tak sabar. Akhir – akhir ini ia kurang bisa menahan emosinya. “Bukankah kamu sudah memiliki fotonya?”“Betul, Pak. Sayangnya informasi mengenai Robert sangat minim. Kami perlu waktu untuk melacaknya.”“Apakah kamu sudah meminta orang kepercayaan kita untuk mengikutinya?” Mata Kama menyelisik.“Sudah Pak. Mereka update memberikan informasi berikut foto – foto.” Adit mempertegas informasinya dengan memberikan beberapa lembar kertas berisi foto – foto Robert.Kama memperhatikan foto – foto itu dengan seksama. Robert terlihat berkeliling ke Mall, terus ke Joli Flower, kemudian nongkrong di coffee shop sampai sore,