Aku mendongak setelah mendengar suara orang terjatuh. Aku kira itu Silvia atau Satria. Ternyata Putri yang tersungkur di belakang bapaknya. Putri terjatuh di kala bapaknya melangsungkan ijab kabul. Semua orang terlihat panik. Ada wanita setengah baya yang menjerit histeris melihat gadis kecil itu tergolek tak berdaya di lantai. Mungkin itu neneknya Putri. Ijab kabul pun tertunda. Eh, entah tertunda atau malah batal sekalian? Ah, entahlah. Namun, hatiku sedikit lega dengan kejadian ini. Bukan karena aku tidak mempunyai rasa perikemanusiaan yang berbahagia di atas sakitnya Putri, bukan. Hanya saja aku senang pernikahan ini tidak jadi dilaksanakan. Waraskah aku yang berbahagia di atas deritanya Silvia? Ah, entahlah. Aku melayangkan pandangan ke arah wanita yang sedang menangis sembari mengolesi minyak kayu putih pada hidung anak perempuan itu. Kesedihan jelas terpancar dari wajah ayu itu.Apa yang kamu tangisi Silvia? Gagalnya pernikahan kalian? Atau kondisi anak perempuan itu? Aku
"Mungkin bahagianya Silvia ada pada Satria." Bi Baidah menyahut ucapan lelaki yang mengenakan kemeja batik di sampingku."Nak Abian sudah menikah kembali?" Spontan aku menoleh ke arah paman Gozali."Belum ketemu jodohnya, Paman?" Aku tersenyum getir tatkala tangan kekar yang kian berkerut itu menepuk pundakku."Semoga lekas ketemu jodohnya." Paman Gozali mendoakan aku. "Aamiin." Taukah kau paman, wanita yang aku inginkan adalah keponakanmu!"Kalau sudah menikah jangan lupa bahagiakan istrinya!" Suara perempuan dari kursi tengah kembali terdengar.Sepertinya dia tahu banyak tentang hubungan kami dulu."Paman sempat kaget saat kalian memutuskan bercerai. Sampai saat ini paman tidak tahu apa alasan kalian berpisah?" Apa artinyapaman masih mengharapkan aku bersama Silvia kembali? Namun, sayang kesempatan itu sepertinya sudah tertutup."Sudahlah, Pak. Nggak usah dibahas lagi. Toh, dipertahankan pun Silvia tidak bahagia sama sekali dengan Abian. Memang lebih baik mereka berpisah. Tidak sal
Silvia menyudahi dzikir dan berdoanya. Aku sengaja menunggunya di luar masjid rumah sakit. Kami sama-sama habis melaksanakan salat Dzuhur."Anakmu sakit apa, Via?" tanyaku saat perempuan di depanku mulai mengenakan sandalnya. Aku sengaja menyebut anakmu agar dia merasa nyaman. Toh, cepat atau lambat pasti akan menjadi anak sambungnya juga.Padahal, aku berharap akan memberikannya anak kandung. Namun, takdir berkata lain. Mungkin dia akan memiliki anak dari orang lain. Bukan dari aku."Kanker otak," jawabnya dengan wajah sedih. Aku mematung beberapa saat. Mencoba mencerna ucapan Silvia. Kanker otak? Anak sekecil itu sudah harus merasakan penyakit yang mematikan. "Apa itu alasan kuat kamu menerima Satria, Via?" Ingin aku bertanya demikian. Namun, rasanya tidak etis dalam kondisi yang seperti ini. "Innalillahi. Semoga cepat diangkat penyakitnya oleh Allah." Hanya itu kata yang mampu keluar dari bibirku."Terima kasih doanya." Silvia sudah mulai melangkah meninggalkan masjid. "Silvia
"Silvia telah resmi menjadi istri Satria?" Paman Gozali bercerita setelah kami saling sapa dan berbasa-basi sebentar.Aku tahu ini pasti akan terjadi. Mereka akan tetap menikah. Namun, hatiku tetap saja merasakan sakit. Bibirku kelu untuk berucap. Kata-kataku tertahan di kerongkongan. Aku tidak bisa menjawab atau merespon cerita paman Gozali."Jujur paman kecewa tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Semua ini kehendak Silvia." Suara lelaki yang menjadi walinya Silvia itu terdengar berat. Seperti ada beban dalam dadanya."Allah telah menjodohkan mereka, Paman. Sekuat apa pun kita menolak tetap kuasa Tuhan di atas segalanya." Aku tidak tahu sebenarnya sedang berbicara apa? Yang aku tahu itu adalah cara untuk mengobati luka sendiri.Kalau memang pernikahan itu bisa membawa kebahagiaan untuk Silvia aku bisa apa? Bukankah mencintai itu tidak harus memiliki? Aku akan mencoba untuk mengikhlaskannya. Bukan menyerah, bukan. Aku akan tetap mencintai Silvia dalam diam. Akan kusebut namanya di
Hatiku memanas. Bukan karena cemburu melihat Arumi bergelayut manja pada pria itu, bukan. Hatiku sudah mati rasa untuk sekedar cemburu pada Satria. Aku marah karena Satria membentakku di depan umum. Sehingga banyak mata memandang ke arah kami. Malu. Itu yang aku rasakan saat ini. Merasa menjadi istri yang tidak dihargai oleh suaminya. Aku menutup mata sejenak berusaha meredam gemuruh di dalam dada. Tak peduli pada mereka berdua yang sedang menyimpan barang-barang di jok belakang. Bagasi sudah penuh dengan barang bawaan Arumi.Sebelum mampir ke sini, aku diminta ibu mertua menemani Satria menjemput mantan istrinya — ibunya Putri. Dari Pontianak. Kami menjemput di bandara Lampung."Silvia." Aku yang sedang mematung di samping mobil segera menoleh ke arah asal suara."Mas Abian." Aku menyapanya dengan suara lirih. Aku terpaku di tempat. Bukan karena apa-apa. Aku hanya merasa malu dengan pria yang pernah menjadi suamiku itu. Aku yakin dia mendengar bentakan Satria yang cukup keras tadi
"Tapi kamu jangan mengatakan apa pun sesampainya di rumah. Aku tidak mau semua orang yang rewang tahu masalah ini." Suara Satria lemah. Seolah pria itu sedang memohon padaku. Aku tidak menjawab ucapan Satria. Tidak perlu dijawab. "Mas, apa kamu akan mempertahankan wanita itu? Bukankah tugas dia sudah selesai. Bukankah kamu sering bilang meski dia istrimu tapi tidak lebih dari sekedar baby sitter untuk Putri?" Tatapan Arumi membidik wajah Satria, meski hanya dari samping. Aku sakit hati mendengar ucapan Arumi? Tidak sama sekali. Sudah kebas hati ini. Tanpa bicara pun sikap Satria sangat kentara. Menganggap aku hanya pengasuh anaknya. Selama enam bulan perkawinan, Satria tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai seorangsuami. Sikapnya tidak semanis ucapannya saat melamar aku di depan paman dan bibi. Sangat bertentangan. Putri lah yang membuatku kuat menjalani pernikahan ini. Dokter telah menjatuhkan vonis jatah umur gadis kecil itu. Sebagai ibu sambungnya aku tidak ingin membuatn
"Neng, sini. Kok malah bengong di situ?" Mamah memperhatikan aku yang sedang diam terpaku di depan pintu kamar Putri.Aku mengangguk pelan, saat tangan perempuan itu menepuk karpet di sisinya. Gegas, aku berjalan ke arah mereka. Aku mengambil tempat di depan kedua mertua yang sedang duduk di atas karpet."Mah, Pak, ada yang mau saya bicarakan." Aku menjeda ucapan sembari menatap kedua mertua secara bergantian.Bapak mengernyitkan dahinya. Mamah membalas tatapanku dengan penuh tanda tanya."Ada apa, Neng? Kelihatannya serius sekali." Lelaki berbaju koko putih itu mengamati mimik wajahku. Aku menarik napas dalam-dalam dan membuangnya pelan-pelan.Mereka memanggilku dengan sebutan Neng. Aku pun menyebut ibu mertua Mamah. Mertuaku orang Sunda. "Neng, ada masalah apa?" Kini perempuan setengah baya menatapku dengan lembut.Aku masih terdiam, menyusun kalimat yang tepat untuk disampaikan. Ibu mertua tahu aku sedang tidak baik-baik saja. Lekas, perempuan itu menggenggam tanganku dengan penu
Aku memberontak. Satria marah tangannya menarik paksa tubuhku yang lepas dari pelukannya. "Semakin kamu memberontak, aku semakin semangat mengagahi kamu. Aku tidak akan melepaskan kamu sebelum mendapatkan tubuhmu." Dia menatapku dengan buas. Aku semakin takut dengan sikapnya. Mau teriak tapi itu suamiku sendiri.Satria mulai melepas bajunya. Aku menutup mata. "Serahkan tubuhmu malam ini, maka aku akan melepaskanmu begitu saja besok pagi." Suaranya semakin dekat di telingaku. Aku merinding mendengarnya. Bukan karena menikmati, bukan. Tetapi, merasa ngeri kalau dia benar-benar melakukannya padaku. Aku tak Sudi.Namun, bagaimana caranya aku bisa lolos dari serangannya kalau pintu saja dia kunci. Otakku benar-benar membeku. ***** Tatapan Satria bagai mata elang yang siap memangsa lawannya.Tubuhku merosot. Aku hanya bisa menangis dalam takut.Aku menundukkan kepala saat tangan itu mulai membelai rambutku. Lelaki yang baru ditinggal anaknya itu telah jongkok, mensejajarkan diri dengan