"Bagaimana perkembangan Silvia, Nak?" tanya ibu sembari meletakkan sepiring pisang goreng di atas meja di depanku. Beliau segera mengambil tempat duduk di sampingku.Aku sudah menceritakan semua runtut Kejadian tadi malam. Mulai dari menelpon Aiza saat menanyakan yang jualan buah hingga peristiwa pingsannya Silvia. Dan berakhir dengan pengusiran yang aku alami. Aku bukan tidak ingin menunggui Silvia. Aku sebenarnya tidak mau meninggalkan wanita itu sendirian. Namun, aku tidak punya pilihan lain selain harus meninggalkan rumah Aiza. Aku benar-benar meninggalkan rumah Aiza pukul satu dini hari. Setelah kaca mobilku digedor-gedor oleh warga atas suruhan bapaknya Satria.Mereka mengusirku secara rame-rame. Bahkan ada yang mengancam akan memecahkan kaca mobil bila aku tidak segera pergi dari lingkungan mereka. Bukan aku takut akan ancaman mereka. Namun, aku tidak mau menjerumuskan diri begitu saja. Aku tidak tahu apa yang dikatakan bapaknya Satria, sehingga orang-orang itu datang dan me
"Bu. Lebih baik kita berangkat sekarang saja," ucapku pelan di dekat telinga ibu. Aku yakin sikap lelaki itu pun tak akan jauh dari suaminya.Ibu menyenggol tanganku sambil menggelengkan kepalanya kuat. Tanda tak setuju dengan pikiranku."Terserah kalian. Kalau mau menunggu si situ. Saya sedang banyak pekerjaan." Wanita yang mengenakan gamis kembang-kembang itu tidak berniat memasukkan kami ke dalam rumahnya. Padahal dia sudah berhasil membuka kunci pintu. Buktinya dia main masuk rumah tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Kenapa dia jadi tidak memiliki adab begitu? Aku benar-benar heran dengan perubahan sikap bi Baidah. Kenapa jadi seperti orang asing begitu.Sudah satu jam berlalu dari kami berdiri di depan rumah bi Baidah. Menunggu paman Gozali. Aku pun sudah mulai gusar. Jangan-jangan benar apa yang dikatakan istrinya. Paman sedang banyak kerjaan. "Bu. Kita berangkat sekarang saja, ya?" Aku membujuk beliau."Sabar sebentar saja. Kita tidak boleh jalan sendiri. Harus ada pihak kel
"Bu." Suaraku tertahan di kerongkongan. Bu malah mengulum senyum ketika menatapku. Apa ada yang lucu dari ekspresiku? Aku mengerutkan kening. "Kok ibu malah tersenyum?" "Sepertinya kamu menanggapi serius ucapan ibu, Nak." Ibu mengelus pundakku."Maksudnya, Ibu tadi hanya bercanda?" Aku menerka. Cinta pertamaku mengangguk. "Ibu sukses membuat Bian jantungan." Aku menepuk-nepuk dada. Ibu malah tertawa bahagia melihat rautku."Tidak ada alasan ibu untuk menolak perempuan itu. Ibu pasti akan menerima Silvia kembali setelah dia resmi bercerai dengan suaminya. Namun, ibu mohon jangan pernah sakiti dia lagi." Aku bernapas lega. Sebelum ibu meminta aku telah berjanji di dalam hati. Jika diberi kesempatan untuk hidup bersama Silvia maka tidak akan pernah aku sia-siakan hidupnya. Obrolan kami berhenti ketika paman Gozali kembali ke mobil."Sudah siap, Paman?"Lelaki itu mengangguk. Aku pun mulai melajukan kuda besi kesayangan.Hening. Tidak ada obrolan yang kami bahas. Kami larut dalam la
Aiza mengangguk tanda paham dengan pertanyaan itu. Kemudian dia menatap lekat wajah kami satu persatu."Setelah saya kasih tau. Tolong nanti jangan ada yang mengungkapkan ini pada keluarga Satria. Bawa saja Silvia pergi dari rumah itu dengan alasan yang lainnya. Anggap kalian tidak mengetahui ini. Jangan sampai mereka tahu kalau saya telah memberitahukan masalah ini." Aku menatap ibu dan paman secara bergantian. Mereka pun mengangguk. "Sebenarnya ada apa, Nak?" Ibu mewakili kami berdua."Sebenarnya begini. Satria memiliki kakak perempuan yang saat ini sedang lumpuh. Selama ini tinggal di Riau. Dalam waktu dekat ini suaminya akan mengembalikan ke sini. Lelaki itu tak sanggup lagi mengurusnya. Kebetulan dia juga tak memiliki anak." "Aku paham. Mereka ingin menjadikan Silvia sebagai perawat gratisan begitu?" Aku langsung menebak pokok permasalahannya. Aiza mengangguk.Ibu beristighfar berkali-kali. Mungkin berusaha menetralkan hatinya yang mulai emosi. Paman Gozali mengatupkan bibirny
Hatiku sakit menyaksikan kekasih pujaan dalam kondisi seperti itu. Silvia kami temukan dalam keadaan pingsan. Matanya terpejam. Wanita itu pun tidak merespon dan menyahuti panggilan serta pelukan ibu."Astaghfirullah …." Ibu histeris saat meraba jidat perempuan di depannya. Spontan paman pun jongkok dan melakukan hal yang sama dengan ibu. "Ayo kita bawa ke rumah sakit." Paman segera mengangkat tubuh keponakannya. Meskipun tua, lelaki berperawakan sedang itu memiliki fisik yang kuat. Ia mampu membopong Silvia seorang diri. Terbiasa bekerja keras, sih. Aku pun berlari ke arah luar. Akan membuka kan pintu mobil. "Eh, mau pada ke mana kalian?" Istri mudanya Satria yang sedang duduk dalam ruang tamu tampak kaget dengan kami yang keluar membawa Silvia. Rupanya ia sedang menelpon."Kami mau membawa Silvia ke rumah sakit." Ibu menjawab dengan ketus sembari terus berjalan dengan langkah lebar."Mas, mereka membawa Silvia pergi!" adunya pada seseorang di sana. Aku meyakini orang tersebut S
Mata paman menyapu wajah mereka semua. Tak ada satu pun dari mereka yang menjawab. Semua bungkam. Mungkin mereka tidak menyangka masalahnya seberat itu."Maaf kami harus segera pergi." Paman pamit pada pak RT. Lelaki yang diajak bicara hanya bisa mengangguk. "Bilang sama suami kamu suruh menunggu surat dari pengadilan agama." Kini paman berbicara pada Arumi. Wanita itu hanya bisa menunduk.Aku pun segera masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Aku menoleh ke arah kursi tengah. Silvia sudah sadarkan diri. Dia memandangku dengan tatapan kosong. Ibu sedang mengelus-elus kepalanya.Keadaan Silvia benar-benar memperhatikan. Wanita yang aku kenal kuat dan hebat itu kini menjadi lemah. Sepertinya bebannya kini lebih berat lagi daripada yang aku berikan dahulu. Ah, aku jadi teringat betapa brengseknya diri ini dulu. "Sebaiknya kita rawat Silvia di rumah saya saja, Pak. Tidak menutup kemungkinan Satria akan mencarinya di rumah Bapak dalam waktu dekat ini," ucap ibu di dalam mobil
Aku menemui ibu dan Silvia terlebih dahulu. Aku memberitahu mereka dengan suara pelan, bahwa ada Satria di luar. Jangan sampai Silvia keluar saat aku berbincang dengan lelaki itu nantinya. Sebisa mungkin aku akan menyembunyikan Silvia dari lelaki pengecut model dia.Setelah menjelaskan dan mereka paham, segera aku menuju pintu depan. Sebenarnya aku sangat penasaran dari mana manusia itu tahu alamat rumah "Mau ketemu siapa?" tanyaku setelah membuka pintu. Entah mengapa hatiku tidak ingin beramah tamah dengannya. "Mau menjemput istriku," jawab Satria dengan penuh percaya diri. "Kenapa kamu yakin istrimu ada di sini? Memangnya dia ke mana?" Aku ke luar menuju teras kemudian menutup pintu depan. Aku sengaja tidak mempersilakan dia masuk ke dalam rumah."Karena aku yakin kamu yang menyembunyikan istriku." Pria yang memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana itu seolah menantangku. "Untuk apa aku menyembunyikan istrimu?Bagaimana bisa kamu kehilangan istri yang tinggal di rumahmu
"Aku memiliki video yang bisa dijadikan buktinya, Mas, Bu. Dia menampar aku waktu itu." Silvia merogoh saku androknya. Tangganya mengambil handphone. Jemarinya segera mencari galeri. Kemudian men scrollnya."Ini buktinya." Silvia mulai memutar rekaman tersebut.Di situ mataku membulat sempurna saat tangan lelaki itu mendarat sempurna di pipi Silvia. Dalam video itu, terlebih dahulu Satria memaki Silvia. Mengatakan bahwa istrinya adalah wanita murahan yang mau dibawa pergi oleh lelaki lain. Dia mengatakan tamparan itu adalah ganjaran yang pas untuk Silvia. Aku tidak tega melihat Silvia meringis sembari memegangi pipinya yang bekas tamparan Satria. Kurang ajar sekali dia memandang rendah Silvia. Seharusnya otaknya digunakan untuk mikir kenapa istri mau kabur dari rumahnya? Kurang ajar! Dia sudah berani main tangan pada Silvia. Aku mengepalkan tangan. Kalau memukul orang itu tidak ada hukumannya ingin rasanya aku menghajar Satria hingga babak belur. Sebagai balasan karena telah bera