“Karena Jayden dinobatkan menjadi tipe pria ideal nomor satu untuk tahun ini?” tebak Verena, memotong ucapan Valency.
“Iya! Itu!” seru Valency selagi masih sibuk dengan tugasnya. “Karena hal itu, dia dia jadi diagungkan oleh begitu banyak wanita muda. Bahkan, ada banyak dari mereka yang rela menunggu sampai malam di depan gerbang hanya untuk melihat Jayden pulang dengan mobilnya. Konyol! Dia bukan artis! Dia pria beristri!?”
“Seseorang terdengar cemburu,” goda Verena sembari melirik Valency.
“Dia suamiku, tapi para wanita itu secara terbuka menginginkannya. Bagaimana aku tidak cemburu?” Valency memutar bola matanya sesaat sebelum lanjut bekerja. Usai menarik satu garis di kertas sketsa, wanita itu menghela napas dan
Melihat sosok Eric yang muncul di sebelah Viona, raut wajah Valency seketika berubah. Masih ada sisa kemarahan dalam dirinya mengingat Eric adalah biang masalah yang menyebabkan kekacauan bagi Jayden beberapa waktu ke belakang.Dengan mata menyipit menatap tajam pada Eric, Valency membatin, ‘Apa lagi yang akan dia lakukan kali ini?!’Respon Valency yang tak bersahabat tak mendapat tanggapan apa pun dari Eric. Pria itu hanya berdiam diri di sebelah Viona, dan tak melakukan apa-apa.Melihat tidak ada tanda-tanda kegaduhan dari Eric, kening Valency pun berkerut, heran.Seolah bisa membaca isi kepala Valency, Viona tiba-tiba berujar, “Te
Melihat kepanikan Verena, Eric tidak mampu menahan diri untuk tertawa. Sedangkan Verena, wanita itu memasang wajah kebingungan.“Jangan begitu gugup, Nona Hayden,” ucap Eric seraya menegapkan tubuhnya. “Aku hanya ingin mengambil sesuatu.” Dia melambaikan sesuatu di tangan kanannya, membuat Verena merona merah.Itu … kartu namanya.Jadi, pria itu mendekat untuk mengambil kartu namanya?!“Eric Gray!” Verena memanggilnya setengah mendesis, merasa sangat kesal. Dia berusaha untuk meraih kembali kartu namanya, tapi Eric menghindarinya.“Aku akan menghubungimu lagi nanti,” kata Eric sambil mengedipkan sebelah mata, dengan satu tangan menyelipkan kartu nama tersebut ke dalam saku jasnya. Kemudian, pria itu berbalik pergi untuk meninggalkan ruangan.Melihat kepergian Eric, Verena yang masih geram hanya bisa berdiri dengan wajah merona. Dia bisa mendengar orang-orang di sekeliling berbisik, mempertanyakan hubungannya dengan Eric.Alhasil, Verena perlahan mengepalkan tangannya dan memukul meja
“Dengan langsung datang dan bertemu denganmu, Mia Gray bisa dianggap memiliki ketulusan dalam permintaan maafnya, Valency,” ucap Jayden usai mendengarkan cerita sang istri dalam kamar mereka.“Aku juga menganggapnya demikian. Itulah alasan aku masih memperlakukannya dengan hormat, bahkan setelah semua yang telah dia lakukan kepada Ibu,” ujar Valency, kepalanya bersandar di dada Jayden. “Nyonya Gray bahkan berjanji bahwa Eric tidak akan berbuat ulah lagi.” Mendengar hal itu, Jayden menyunggingkan senyuman mencemooh. “Itu berita terbaik yang kudapatkan hari ini,” ucapnya, membuat Valency tertawa kecil.“Dasar,” balas Valency. “Hanya itukah hal terpenting dari sekian banyak hal yang kuceritakan padamu?”Jayden memandang Valency dan memeluknya dari belakang. “Ya. Aku tidak ingin hewan liar berkeliaran di sekitar istriku,” jelasnya seraya mengecup pucuk kepala Valency. “Akan tetapi, apa benar Eric tidak mengatakan apa-apa atau melakukan sesuatu kepadamu siang tadi?” tanya Jayden memastika
Keesokan harinya, Valency terbangun dalam kondisi segar. Sepertinya, rasa mual kemarin malam sungguh karena asam lambungnya. Akan tetapi, sepertinya ada orang yang tidak sepemikiran dengannya. “Kenapa kamu terus memperhatikan diriku seperti itu, May?” tanya Valency yang sedang bersantai di sofa, menikmati hari liburnya. Dia tanpa sengaja menangkap sosok May terus melirik dirinya sedari tadi! “Apa ada yang salah?”Ditanya seperti itu, May agak tersentak, tapi dengan cepat menjawab dengan tenang, “Maaf membuat Anda tidak nyaman, Nyonya. Saya hanya khawatir apakah Anda sudah sungguh merasa lebih baik.”Valency tersenyum, merasa tersentuh dengan perhatian tersebut. “Sudah, sudah tidak ada masalah. Jangan khawatir. Obat lambung yang kau berikan kemarin sangat ampuh!”Mendengar itu, May tersenyum canggung, tapi kemudian memberanikan diri untuk bertanya, “Kalau boleh saya tahu, Nyonya, kapan terakhir kali Anda datang bulan?”Ditanya seperti itu, Valency agak kaget. Kenapa May bertanya seper
Ucapan Alex membuat Rosa beranjak dan menggebrak meja. Dia menatap Alex tak terima. “Tidak bisa seperti itu, Ayah!” protesnya. Sambil menunjuk Felix, dia berkata, “Dia sudah membuat masalah begitu besar dan hampir membuat keluarga Spencer hancur berantakan! Bagaimana bisa kita membiarkannya begitu saja?!” Dengan nada tegas, Alex menyela, “Tenangkan dirimu, Rosa.” Ucapan itu membuat Rosa menggertakkan gigi. Namun, dia akhirnya kembali duduk dan membuang pandangan sambil melipat tangan di dada. Angela yang duduk di sebelah Rosa mengusap lengan sang ibu dan berujar, “Ma, tenanglah ….” Diamnya Rosa bukan berarti dia serta merta menerima Felix sebagai anak tirinya, hanya saja dia masih menghargai Alex sebagai tetua Spencer dan pemimpin keluarga ini. Melihat Rosa sudah mulai tenang dan tak lagi melanjutkan protesnya, Alex pun kembali bersuara. “Walau memang benar Felix telah melakukan kesalahan besar, tapi fakta tidak bisa diubah jika darah Spencer mengalir dalam dirinya,” ucapnya. “De
Tak lama dokter pun datang dan memeriksa Valency. Orang-orang menunggu di luar kamar dengan khawatir. Tak terkecuali Rosa, dia yang memiliki rasa bersalah kepada Valency dan sudah menerimanya sebagai menantu tentu ikut khawatir dan panik. Dokter pun keluar dari kamar. Berbeda dengan orang-orang yang menunggu di luar dengan wajah pucat, panik, serta khawatir, dokter berkacamata itu justru keluar dari ruangan tersebut dengan wajah berseri. Jayden langsung menghampiri dan menodong dengan pertanyaan, “Dokter, ada apa dengan istriku? Dia baik-baik saja ‘kan?”Dokter itu melempar senyum. “Tuan Spencer, istri Anda baik-baik saja.” Semua orang bernapas lega mendengarnya. Rosa pun bertanya, “Apa Dokter sudah benar-benar memastikannya?”“Tidak apa-apa, Nyonya Spencer, menantu Anda hanya kelelahan. Mual dan lemas sangat wajar dialami pada trimester pertama.” Cleo dan Rosa yang sangat familier dengan istilah tersebut tentu saja kaget dan wajah mereka seketika berbinar. Alex dan Albert yang j
Kalimat Rosa membuat kening Albert berkerut. “Apa maksudmu …?” Rosa menghela napas, tatapannya kembali pada foto pernikahan mereka. Bukannya menjawab pertanyaan Albert, Rosa justru berujar, “Melihat Jayden yang begitu bahagia dan memeluk Valency serta terharu atas kehamilannya … aku jadi teringat pada awal pernikahan kita.” Sebuah senyuman pahit terlukis di bibirnya. “Ketika melahirkan Richard, dulu kita pun sama bahagianya seperti mereka.” Albert terdiam. Dia pun jadi teringat momen kelahiran Richard, anak pertama mereka. Di awal pernikahan, Albert merasa hidupnya sempurna. Sebelum akhirnya … pernikahan mereka berantakan dan ibu Felix kembali ke kehidupan Albert. Rosa menunduk sambil memilin jari jemarinya. “Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, sejak kapan aku mulai melakukan kesalahan sampai pernikahan kita bisa kacau. “Apa mungkin karena aku berubah sikap karena reputasi sebagai nyonya keluarga Spencer? Atau aku yang terlalu sibuk mementingkan diriku sendiri sampai tak menya
“Lency!” Teriakkan nyaring dari seseorang membuat Valency seketika menoleh. Di ambang pintu kamar, sosok Jennita muncul dengan balutan kemeja kasual serta jeans berwarna senada, wanita itu melambaikan tangan ke arah Valency dengan wajah berbinar. Jennita berlari kecil menghampiri Valency yang sedang duduk menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Kemudian, muncullah sosok Christian yang mengekor di belakangnya. Valency tersenyum menyambut kedatangannya sahabatnya itu. “Padahal, aku meneleponmu baru beberapa jam yang lalu, Jen, tapi kamu langsung datang.”Beberapa hari setelah pulang dari kediaman Spencer, Valency baru mengabari Jennita mengenai kehamilannya. Tentu saja, sebagai penggemar fanatik Jayden, Jennita langsung heboh begitu mendengar kabar baik tersebut. “Lency! Kenapa baru memberitahuku?!” sentak Jennita. Meski bibirnya tampak cemberut, tapi binar di wajahnya tak terelakkan. “Apa kamu tidak tahu betapa senangnya aku karena akan menjadi seorang bibi?!” “Jen ….” Valency