"Aku antara kamu pulang, ya." pinta Raka kepada Nayla.Nayla tersenyum sebelum menjawab tawaran dari Raka. "Tidak usah, terima kasih nanti merepotkan. lagi pula ini acaramu.""Ini acara ayahku, bukan aku." balas Raka kemudian."Itukan sama aja. Kamu anaknya itu artinya kamu pun harus selalu ada didekat mereka. Secara gitu ini adalah anniversary pernikahan kedua orang tuamu yang pasti tamu akan bertanya-tanya mana hasil dari pernikahannya selama 32 tahun," ujar dengan terkekeh.'kau ini, ternyata kamu bisa juga melawak. Aku kira hidup kamu itu selalu serius tidak ada bercanda-candanya.""Monoton banget dong hidupku kalau terus dibawa serius, bisa cepet tua aku." "Udah, ya aku pulang. Ini udah siang lagi pulang aku juga belum salat.""Salat di sini saja ada musola, kok. biar nanti pulang ke rumah sudah dalam keadaan selesai salat."Nayla berpikir sejenak lalu seraya melihat jam tangan di tangan kirinya , waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang lebih 30 menit. Apalagi dia mau beli
Acara sudah selesai qobla Magrib, semua tamu undangan sudah meninggalkan kediaman dokter Samuel dan kini dokter Samuel, Nyonya Maureen dan juga Raka tengah duduk bersama seraya menunggu waktu maghrib tiba.Raka tiba-tiba merasa tidak enak perasaan, saat mendapatkannya tatapan penuh intimidasi, dirinya seolah-olah sudah melakukan kesalahan besar dan hendak diadili. Raka pasrah."Mama kenapa sih kok menatap Raka sampai segitunya. Raka punya salah apa?" tanya Raka pada Nyonya Maureen."Kamu nanya Mama kenapa? kamu nggak sadar kesalahan apa yang kamu perbuat?" ungkap Nyonya Mauren dengan sengitnya.Raka menggeleng cepat, ia merasa tidak punya salah apapun sama Mama. Karena merasa seharian ini dirinya nggak melakukan apa-apa. Selain menikmati acara anniversary Mama sama Ayahnya.Nyonya Maureen menepuk keningnya, lalu ia mendesah dan melemparkan tatapan pada dokter Samuel untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.''Ayah aja yang ngomong, kalau mama yang ngomong bisa-bisa Mama meledak!""
Sekitar pukul 3 sore Nayla baru saja tiba di rumah. Kedua tangannya ringkuh dengan barang belanjaan, karena memang hari ini bertepatan dengan belanja bulanan bahan untuk memasak sudah menipis.Ia tersenyum senang saat sudah keluar dari taksi, dalam pikirannya ia sudah membayangkan jika dirinya akan memasak makanan kesukaan suaminya.Senyum itu tiba-tiba surut, saat dia masuk ke rumah sang suami sudah ada di rumah. Fery tengah berdiri seraya menatap tajam ke arah Nayla. Nayla tahu tatapan itu mengisyaratkan sebuah amarah. Apakah dia akan marah lagi kepadanya? karena dia lagi-lagi pergi tanpa se izin darinya.perasaan gusar dan Takut itu, sejenak di sembunyikan dulu oleh Nayla. Ia tidak ingin terlihat tidak bahagia saat berhadapan dengan suaminya ini. Nayla kembali tersenyum memperlihatkan deretan Gigi putihnya.'Kau sudah pulang, Mas? Padahal aku baru saja belanja, aku mau memasakkan makanan kesukaan kamu."Tidak ada jawaban selain tatapan sinis dan tajam dari Fery."Sudah makan,
Nayla terus saja menahan Fery agar tidak pergi. Tangannya memegangi lengan Fery namun Fery diam. Saat Nayla terus merancau agar tidak pergi. "Mas, aku mohon. Jangan pergi. Maafkan aku.""Kamu harus aku beri pelajaran, Nayla. Untuk sementara waktu aku tidak akan tidur bersama kamu. Sekarang aku akan tidur di kamar Santi..Sampai kapan? Entah aku tidak tahu."Fery lalu kembali hendak pergi. Ia menepis cekalan tangan Nayla di lengannya."Tidak Mas, jangan lakukan ini. Aku tidak sanggup.""Kamu pergi bersama pria lain saja sanggup. Lalu kenapa aku memutuskan pindah kamar kamu keberatan? Padahal anggap saja aku sudah mati, biar puas sekalian."Kali ini Fery murka, lebih tepatnya ia cemburu. Kenapa bisa Nayla berani tersenyum, berani tertawa bahkan berani pergi bersama pria lain tanpa izin darinya? Sebelumnya tidak pernah sekalipun Nayla berani seperti itu.Senyumnya, tawanya hanyalah untuk dirinya seorang saja. Bukan untuk di perlihatkan kepada orang lain."Mas, maafin aku. Aku janji tidak
Santi terduduk lesu di atas kloset seraya memegangi benda pipih berwarna biru putih itu. Ia tidak percaya jika apa yang ia khawatirkan jadi kenyataan.Harusnya ia senang karena benda pipih itu menunjukkan dua garis merah yang artinya saat ini dirinya tengah hamil. Namun masalahnya sudah satu bulan terakhir ini ia sama sekali belum pernah disentuh oleh Fery. Itu artinya bayi yang ada dalam kandungannya bukanlah bayi Fery melainkan milik Morgan. Ia ingat betul karena secara sukarela sudah menyerahkan tubuhnya pada sang mantan kekasih. Lalu sekarang dia harus seperti apa? Ia berpikir keras.“Bodoh! Bodoh! Kalau sudah seperti ini gimana? Gak mungkin kan kalau bilang aku Hamil sama Mas Fery. Bisa-bisa aku langsung ditertawai atau yang lebih parah lagi aku bisa diusir. Pokoknya aku harus cari cara bagaimana agar mas Fery kembali menyentuhku. Biar saat aku bilang hamil dia percaya.”Di tengah-tengah angannya itu. Tiba-tiba Santi mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Buru-buru Santi menyem
Nayla nelangsa karena ia tidak bisa tidur bersama Fery. Biasanya ia selalu tidur memeluk Fery. Sekarang? Ia hanya bisa memeluk guling dengan perasaan tak bisa diungkapkan. Kedua matanya memang terpejam namun sebenarnya ia belum tidur. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya terus saja tertuju pada Fery. Kenapa semakin ke sini, hubungan dengan Fery justru semakin jauh saja. Sudah tidak ada keharmonisan, tidak ada lagi ketenangan. Yang ada hanyalah pertengkaran dan demi pertengkaran yang terjadi.Nayla langsung terbangun saat perutnya kembali merasa sakit. Ia secepatnya mengambil obat yang ia simpan di bawah bantal. Setiap rasa sakit itu menyerang ia akan memakan tiga butir obat secara bersamaan.Biasanya setelah meminum obat, maka selang beberapa menit ia akan merasa lebih baikkan. Namun entah kenapa rasa sakitnya tidak mau mereda. “Astagfirulah, ya Allah sakit.” Nayla meringkuk menahan rasa sakit diperut. Ia menekannya berharap rasa sakitnya bisa mereda namun, dugaannya
Bi Sri dan Neti begitu panik saat melihat Nayla tak sadarkan diri di lantai. Dengan keadaan bibir membiru kedinginan. Bahkan seluruh tubuhnya pun terasa dingin. Tubuh Nayla di pangku oleh Bi Sri dan Neti dan membaringkan di atas kasur. Keduanya berusaha untuk memberikan rasa hangat di tubuh Nayla.“Bi , ini gimana? Apa kita telepon Tuan?” Neti panik ia takut Nayla kenapa-napa.“Iya, Net. Kita hubungi Tuan. Kita kasih tahu keadaan Nyonya.”“Ya udah, Neti telepon dulu Tuan.” “Iya, cepat Net. Lari, ya. Biar Nyonya segera ditangani.” “Iya, Bi.” Neti langsung berlari menuju bawah. Ia hendak menelpon Fery menggunakan telepon rumah.Melihat Neti berlari dengan wajah cemas membuat Siska yang melihatnya langsung saja menghentikan langkah Neti.“Hai, Ada apa? Kenapa berlari seperti itu?” tanya Siska pada Neti.Neti pun menepi dengan kepala yang ditundukan. Ia ragu untuk mengatakan ap yang sebenarnya terjadi.“Anu... Itu nyonya....”“Apa? Yang jelas dong kalau ngomong!” sentak Siska
Usai sarapan bubur yang dibuatkan oleh Bi Sri untuk Nayla habis, Ia pun hendak mengirim pesan kepada Raka, ia ingin menanyakan kenapa obatnya sama sekali tidak bereaksi apapun disaat rasa sakit perut bagian bawahnya kambuh.Setelah satu pesan tadi yang ia kirim ke nomor Raka terkirim, tiba-tiba datang Bi Sri dan Netty. mereka berdua masih saja mengkhawatirkan keadaan Nayla.Nayla tersenyum saat keduanya datang, Lalu melambaikan tangan meminta keduanya untuk mendekat dan duduk di sebelahnya. "Ada apa Bi, Bety? udah ya kalian jangan terlalu khawatir, saya udah baik-baik saja kok," ucap Nayla dia tahu bagaimana perasaan Bi Sri dan juga Neti. karena memang Hanya mereka berdua lah yang sekarang peka terhadap dirinya."Apa nyonya serius sudah mendingan? Entah kenapa bibi jadi khawatir dengan keadaan nyonya, apalagi tahu sekarang Tuan tidak lagi di kamar sini." ucap Bi Sri yang sangat mengkhawatirkannya.Nayla menepuk bahu Bi Sri dan juga Neti secara bersamaan, menggunakan tangan ka