Bab 109Sakha dan Rizky mengangguk paham. SAKHA merasa sedikit lega setelah mendengar penjelasan dokter. "Sebaiknya, orang-orang yang di dekat pasien membantu pemulihannya agar kondisi jiwanya stabil. Jangan memaksanya mengingat jika pasien sendiri tidak mengingikannya. Coba beri stimulus pelan-pelan hingga pasien merasa nyaman dan aman." "Baik, Dok. Terima kasih." Baik Sakha dan Rizky kembali ke ruang rawat Ratih. Namun, sebelum sahabat Ratih itu pulang, Sakha berbicara empat mata pada laki-laki itu. Di tempat lain, Rahma mengurungkan niatnya menaiki bus menuju Jakarta. Ia justru pergi ke alun-alun kota di wilayah Sukabumi. Rahma sangat bersyukur bisa menikmati hiruk pikuk dan lalu lalang kendaraan di alun-alun. Meski sebenarnya tujuan ke tempat itu adalah untuk membuktikan kebenaran masa lalu suaminya. "Ah, balita mungil itu paling bisa membuatku rindu." Di alun-alun, Rahma mencoba menenangkan diri sebelum kembali ke ibukota. Ia dilanda kebingungan jika sampai di Jakarta. Ia b
Bab 110 Tutup MulutSeiring waktu berjalan, laju bus yang terkadang cepat juga melambat membuat kantuk pun menyerang. Rahma bisa terlelap di perjalanan. Senja menampakkan keindahannya di batas cakrawala. Rahma akhirnya sampai di ibukota. Suasana bising kembali menyapa ketenangan hidup yang sesaat ia dapatkan di pedesaan. Memilih mendatangi rumah sakit tempat Sherly bekerja, Rahma tidak ingin diketahui keberadaannya. "Hai, muka kamu kok kusut gitu, Ma. Aku agak sibuk hari ini. Ada banyak pasien. Ada lima belas menit buat istirahat. Ayo ke ruangku!" Rahma mengulas senyum setelah berhasil bertemu sahabatnya. Ia merasa beban pikirannya akan terhempas setelah bertemu Sherly. "Apa kamu baik-baik saja?" Sherly mulai menanyakan terkait tes DNA yang diterima Rahma beberapa hari yang lalu. Rahma tidak menjawab justru isak tangis yang terdengar menyayat. Menyadari sahabatnya tidak sedang baik, Sherly memberinya waktu supaya tenang. Tak lama berselang, Rahma menceritakan beban pikirannya sa
Bab 111Rahma terlelap di sofa dengan sehela selimut menutup tubuhnya. Ia menonton berita di TV sampai-sampai layar TV yang justru menontonnya tertidur di sofa. Pagi-pagi sebelum Subuh, Rahma terbangun. Ia menggeliat dan terkejut saat tubuhnya oleng hingga membentur karpet di ruang tamu. "Astaghfirullah, kenapa aku bisa tertidur di sini." Gegas Rahma menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Ia tidak mau melewatkan waktu sepertiga malamnya untuk melangitkan doa. Waktu sepertiga malam merupakan salah satu waktu yang mustajab untuk doa diijabahi. Sebab itu, Rahma memanfaatkan waktu terbaik itu. Pagi hari sarapan sudah tersedia. Ia membuat dua omelet telur dengan daun bawang dan tomat cincang. Sedikit taburan lada membuat aromanya menusuk hidung hingga perutnya meronta-ronta. Tak lama kemudian bel apartemen berbunyi, ternyata Sherly baru saja tiba. Wajah lelahnya jelas terlihat di bagiaj kantung mata yang sedikit menggelap. "Aku mengantuk sekali. Aku ingin tidur seharian," racaunya
Bab 112"Aargh." "Ada apa? Kenapa berisik? Aku masih mengantuk, Sayang. Aku baru sampai beberapa jam yang lalu." "Mas Sakha tolong aku! Lepasin!" Rahma meneriakkan nama suaminya. Ia masih mengamuk dengan mata terpejam, berharap apa yang menimpanya pagi buta ini adalah mimpi. Bahkan alarm subuh pun belum berbunyi. Gegas ia membenahi selimutnya, karena hanya pakaian tipis yang melekat di tubuh. "Sherly ada shift malam, kenapa kamu pulang sekarang? Bukankah dia bilang suaminya pulang akhir pekan?" Rahma meraba tepi ranjang ingin menjauhkan diri dari makhluk Adam itu. Namun yang terjadi justru pinggangnya ditarik hingga ia terkunci dalam sebuah pelukan. "Kamu mau aku tidur dengan wanita lain?" "Hah. Kenapa suaranya berubah seperti suara Mas Sakha. Apa karena aku terlalu ketakutan jadi terngiang suaranya. Tidak, tidak. Aku mau pergi. Mas Sakha tolong aku!" "Ya Allah, Rahma! Ini suamimu, Sakha. Kamu kenapa sih? Aku benar-benar lelah. Biarkan aku memejamkan mata sejenak. Bangunkan ak
Bab 113"Kesembuhan Ratih masih berproses. Dokter berpesan untuk tidak memaksanya mengingat sesuatu yang membuatnya trauma seperti tekanan batin. Saat ini hanya Rizky yang ia percayai. Aku sudah berpesan pada laki-laki itu untuk menjaga Ratih. Bahkan dia bersedia untuk menemani Ratih sepanjang hidupnya." "Maksud, Mas? Rizky mau menikahi Ratih." "Iya, Sayang." Rahma tidak enak hati melihat wajah suaminya tiba-tiba sendu. "Mas rela? Ratih kan cinta per...." "Stt, tidak perlu diteruskan. Saat ini dan ke depan kamulah wanita yang kucintai. Jangan pernah pergi lagi jauh dariku. Aku gak sanggup melihat wanita yang kucintai menderita, Rahma. Kalau kemarin aku terpuruk melihat Ratih yang menderita. Saat ini aku senang, dia sudah kembali hidup normal meski tidak mengingatku." "Maafkan aku, Mas! Aku janji akan berusaha mengisi kekosongan hatimu." "Ya, kamu bahkan sudah mencurinya. Kamu sudah mengambil hatiku, Rahma." "Ckk, apaan sih, Mas. Katanya mau istirahat sampai Subuh kenapa menggomb
Bab 114 Good News"Tunggu sebentar!" Tak lama kemudian, Sherly datang dengan benda pipih yang ada di tangannya. Rahma membelalak sempurna melihat benda yang disodorkan padanya. "Periksa sekarang juga!" "Hah! Kenapa dengan istriku?" "Sepertinya dia hamil." "Apa?! Hamil?!" respon keduanya kompak membuat Sherly mengulum senyum. "Makanya buruan dites! Nih alatnya." Sherly menodorkan tespek dan cawan kecil ke Rahma yang melongo. "Tapi, Sher. Aku belum siap." "Sudah, Sayang. Kita turuti saran Sherly." Sakha membujuk Rahma dengan tatapan penuh pengertian sambil mengedipkan mata. "Tapi, Mas. Kalau hasilnya tidak sesuai..." Reflek Sakha menaruh jarinya di bibir. "Sstt, apapun hasilnya, kita terima dengan ikhlas." Akhirnya Rahma mengangguk setuju. Keduanya ke kamar mandi, sedangkan Sherly menanti dengan harap cemas juga. Beberapa menit kemudian, Rahma masih tidak berani melihat hasilnya. Pun Sakha hanya meraih tespek yang diberikan Rahma lalu diserahkan ke Sherly. "Ckk." Rahma dan
Bab 115"Mbak Rahma kabur kemana aja? Mas Sakha hampir gil* tuh." "Masak, sih?" "Tanya aja sendiri. Ya udah ayo masuk! Ada yang sudah nggak sabar nungguin Mbak Rahma?" "Siapa?" "Tuh di dalam." "Mama dan Papa ya?"Arga menggelengkan kepala semakin membuat Rahma penasaran. "Siapa, Mas?" Sakha yang ditanya hanya mengedikkan bahu. Pun sudut bibirnya terangkat ke atas. Melangkah pelan dan hati-hati sambil memegang perutnya, Rahma semakin berdebar. Ada apa gerangan. "Rahma!" seru Gita dan suaminya. "Mbak Rahma." Rahma tersenyum saat melihat wajah mama dan papa mertuanya. Netranya mengarah ke samping. Hatinya semakin mengembang. Ada sosok yang dirindukannya. "Aira? Ana? Kenapa kalian bisa sampai sini?" Tak bisa dipungkiri, setitik demi setitik cairan bening mengumpul di pelupuk mata hingga akhirnya menetes membasahi pipi. Setelah menyalami mertuanya, Rahma mengambil alih gendongan Ana. Seolah tahu siapa yang menggendongnya, Aira kegirangan. "Ai, Sayang. Kamu kangen sama tante, n
Bab 116 Besan mau datangMalam telah larut, Gita masih bercengkerama dengan Ardi. Mereka mengulang cerita semasa mudanya. Keduanya berbaring di ranjang penuh cinta yang menjadi saksi setiap malam yang mereka lewati."Pa, masih ingat awal-awal kita menikah?" tanya Gita malu-malu."Ya, mama kabur kan di malam pertama?" balas Ardi sambil menoel hidung Gita."Ish, itu kan karena mama salah mengira. Mama pikir menikah sapa abinya papa.""Abi tuh setia sama umi, Ma. Nggak mungkin lah mau sama gadis ingusan seperti mama."Keduanya terbahak mengenang masa itu."Sekarang kita kelihatan tua ya, Pa," ungkap Gita."Eh siapa yang tua? Papa masih kuat lho, mau berapa ronde," balas Ardi justru mendapat cubitan di pinggangnya. Ia pun mengaduh."Apa sih, Pa?""Mama, mau berapa ronde? Papa siap melayani." Ardi semakin tergelak melihat wajah Gita yang merah merona. Usia mereka memang terpaut jauh waktu menikah dulu. Gita kini usianya kepala empat, sedangkan Ardi sudah lewat setengah abad."Kita benar-ben